101
Risa berjalan mengikuti langkah kaki ke empat temannya, berbeda dengan Ona dan Lana yang berjalan disampingnya. Kedua temannya tersebut menghimpit tubuhnya agar terhindar dari dorongan orang orang. Sedangkan Kana, ia berada di belakangnya. Seolah menjaga dirinya.
Risa menatap heran saat langkahnya berhenti di sebuah pintu, terlihat seperti bukan club malam. Lana yang mengerti tatapan Risa pun berbisik, “Ini tuh namanya jalur orang dalem, Kath. Sih Zila kenal orang dalem.”
Ia mengangguk paham lalu kembali melangkahkan kakinya menuju ke dalam. Tatapannya mengedar ke arah sekitarnya dengan kening yang mengerut tidak nyaman. Tangannya bergerak menutup telonganya saat dirinya langsung disapa oleh suara besar.
Mereka semua duduk di sebuah meja yang telah Zila pesan, wanita itu menatap ke empat temannya dengan tatapan antusias. “Gue duluan, ya!” Sebelumnya mereka menjawab, Zila terlebih dahulu meninggalkan mereka semua.
Membuat Ona berdecak kesal melihat kelakuan temannya tersebut. Ia mengalihkan pandangannya pada Kana yang secara tiba-tiba ikut bangkit dengan senyum lebarnya, “Gue nyusul Zila. Bye semua!”
Lagi. Ona menggelengkan kepalanya tak percaya, begitu pun Lana. Lana mengalihkan pandangannya kepada Risa yang terlihat tidak nyaman tersebut, ia tersenyum seolah menenangkan temannya. “Kath, tempatnya kaya gini. Gak suka, kan?”
Risa menggaruk tengkuknya canggung lalu mengangguk pelan. Ia mendekatkan bibirnya menuju daun telinga Lana seraya berucap, “Kepala aku udah pusing, Lan!”
Lana tertawa mendengar ucapan Risa, berbeda dengan Ona yang menatap keduanya menelisik. Tatapannya mengatakan, gak ngajak gue?
“Lo gak pesen, Lan?”
“Lo mau, Na?” Ona mengangguk. “Kalo gitu gue pesen, lo tunggu disini jagain Kath, ya?”
“Iyalah!”
Lana meninggalkan keduanya yang duduk berdekatan tersebut, Risa yang mencari sosok Zila dan Kana membuat Ona menyentuh pundaknya, mengalihkan tatapan wanita itu. “Zila sama Kana, kalo udah kesini bakal susah dicari, Kath. Kecuali, mereka udah mabok banget, ya baru ketauan dimana.”
Risa meringis. “Kalo mereka kenapa-napa gimana, Na?”
Ona menggelengkan kepalanya. “Gak, kok. Zila sama Kana pinter jaga diri.” Risa masih tidak percaya dengan ucapan Ona membuat wanita itu menghela nafasnya. “Ini club punya om nya Zila. Pada kenal dia semua disini, Kath, jadi aman.”
“Tapi, kalian biasanya kesini?” Ona menggelengkan kepalanya. “Zila malah gak mau kesini, takut ketauan bokapnya. Tapi karna bawa lo, jadi kesini. Biar ada yang ngawasin juga.” Risa menganggukkan kepalanya bersamaan dengan Lana yang datang menatap keduanya heran.
Ketiganya memilih untuk saling bercerita satu sama lain, melupakan bahwa mereka tengah berada di keramaian orang yang tengah asik menggoyangkan pinggulnya kesana kemari—seperti Zila dan Kana.
Risa kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling club malam ini. Tatapannya mengitari seluruhnya dan mengamati satu per satu. Melihat bagaimana banyak orang yang tidak sadarkan diri membuat Risa hanya bisa terdiam. Bahkan, beberapa kali ada orang asing duduk di meja mereka. Membuat Ona langsung mengusirnya, dan juga dibantu oleh beberapa penjaga disana—kebetulan bawahan omnya Zila tersebut.
Ia meringis saat mengingat ia telah berbohong pada Galen dan mengatakan bahwa dirinya telah tidur di Apartment Lana dan Kana. Jika Galen tahu, apa yang akan pria itu lakukan padanya? Risa penasaran apakah Galen akan memarahinya? Atau, justru tidak sama sekali?
Lana tiba-tiba bangkit dan berkata, “Sumpah, gue gak tahan. Gue mau pup dulu, ya?” Ona mengernyitkan keningnya merasa jijik lalu menyuruh wanita itu untuk segera pergi.
Menyisakan Risa dan Ona yang berada di meja tersebut. “Mau kesini lagi gak, Kath?” Risa menggelengkan kepalanya.
“Gak deh, Na. Sekali ini aja. Aku gak suka deh.”
Ona menganggukkan kepalanya lalu mengulurkan tangannya—terdapat gelas kecil ditangannya. Minuman keras. “Mau coba?”
Risa kembali menggelengkan kepalanya. “Aku udah pernah coba, Na. Gak suka.”
“Kapan?”
“Pas awal ketemu Galen, aku minun alkohol dia.”
Kedua mata Ona melotot terkejut. “Pantesan ih, Kath!”
“Kenapa, Na?”
“Gak jadi.”
Dilain sisi, seorang pria menyipitkan kedua matanya menatap ke arah meja Risa, mengamati wajahnya dengan seksama hingga ia terbelalak dan mengeluarkan ponselnya buru-buru. Menghubungi satu nama yang entah akan marah atau, ia tidak tahu.
Ia kembali menatap ke arah Risa sembari jarinya mengetik di atas layar ponselnya, mengirim pesan kepada temannya, Galen.