122

Risa tersenyum saat menemukan sosok Galen berdiri depan pintu kelasnya—melambaikan tangannya pada kaca pintu. Membuat Risa melayangkan sebuah senyuman kecil pada pria tersebut. Ia menoleh ke arah Ona yang menyenggol tangannya, lalu membekap mulutnya menggoda temannya tersebut. “Cieee.. Kath, pangeran lo udah nangkring aja di depan pintu.”

Risa menyembunyikan wajahnya di balik tangannya, teman-temannya memang sedang gencar menggodanya akhir-akhir ini, dan itu selalu membuat wajahnya memerah seketika. Dan, Galen yang akhir-akhir ini juga selalu menghampirinya, mengajaknya jalan, makan, bahkan selalu menghabiskan waktu berdua. Galen juga selalu menemaninya belajar. Dan Risa yang terkadang mengikuti pria tersebut latihan.

Bagi Risa, hari bersama dengan Galen terasa semakin menyenangkan, membuatnya selalu merasa sangat gembira? Entahlah, Risa tidak begitu yakin kata apa yang dapat menggambarkan perasaannya saat ini. Ia kembali melirik ke arah pintu kelasnya, Galen menunjuk ke arah ponselnya seolah memberitahu Risa bahwa ia mengirimkan pesan pada wanita tersebut.

Dengan perlahan, Risa menyentuh layar ponselnya dan menemukan notif dari pria tersebut bertuliskan, 'semangat, Risa. Gue tunggu di depan ya'. Lantas, ia kembali mengangkat kepalanya dan langsung bertemu dengan Galen yang tersenyum padanya. Kakinya bergetar seolah tidak sabar untuk menunggu waktu, biasanya Risa paling kesal jika waktu kelasnya hanya tersisa sepuluh menit karena ia tidak ingin cepat mengakhiri kelasnya, namun sekarang ia merasa lebih kesal karena ia tidak sabar bertemu dengan Galen.

Betapa Risa sangat merindukan Galen. Padahal tadi pagi ia berangkat bersama dengan pria itu. Cinta benar membuatmu terlihat bodoh.

Ona menahan kaki Risa yang bergetar seraya berdecak padanya. “Kath, bisa diem gak? Lo mah excited mulu ketemu Galen, padahal tiap hari ketemu juga,” sungut One membuat semburat merah kembali muncul di wajahnya. “Gue kan juga jadi pengen punya pacar, Kath,” gumam Ona pelan namun masih dapat terdengar jelas di telinga Risa. Ia tersenyum mendengar keluhan temannya tersebut. Ia mengusap lengan Ona seraya berkata, “Ona, kamu kan punya banyak temen cowok, kenapa gak kamu ajak jalan aja kaya biasa?”

Ona tersenyum lebar. “Lo pinter banget sih, Kath, gue lupa kalo punya banyak cadangan. Gak jadi sedih,” balas Ona lalu menjulurkan lidahnya pada Risa, membuat keduanya sontak tertawa tanpa suara. Tanpa keduanya sadari, kelas telah berakhir membuat Risa dan juga Ona bergegas membereskan barang mereka. “Kath, lo sama Galen, kan?” Risa menganggukan kepalanya. “Kabarin ke grup ya lo kemana-kemananya nanti kaya biasa, masih takut gue kalo tiba-tiba nenek lo dateng, kita semua harus alesan apa.”

Risa mengangguk. “Iya, Ona. Makasih ya,” tuturnya sembari berjalan keluar kelas bersamaan. Ona memukul punggung Galen, tidak kencang namun cukup perih bagi Galen. Wanita itu menatap nyalang Galen. “Awas lo baliknya jangan malem-malem, kasian temen gue!” Galen tersenyum terpaksa pada Ona, lalu beralih menarik tubuh Risa dan merangkul pundak waita tersebut.

Anjir, definisi dunia milik berdua banget deh,” sungut Ona. “Kath, gue duluan ya! Jagain Kath lo, Gal, kalo gak dijagain lo gue pukul!” Ona pun meninggalkan keduanya. Sementara Galen pun merangkul bahu Risa, sedikit menurunkan tubuhnya dan menatap wajah wanita tersebut dengan senyum lebarnya. “Jadi, makan apa hari ini?”

Risa mengetuk-ngetuk dagunya seolah ia tengah memikirkan makanan apa yang cocok untuk keduanya makan sore ini—kebetulan Risa juga sangat lapar. “Aku bosen, Gal, makan ayam dari kemarin. Kamu mau makan apa? Aku mau coba makanan pilihan kamu deh,” ujar Risa, dan justru membuat Galen yang sekarang berpikir ingin membawa wanita tersebut kemana.

Sembari melangkahkan kakinya menuju mobilnya, Galen memberikan beberapa pilihan pada Risa, namun wanita itu terus menggelengkan kepalanya—tidak mau dengan yang dipilihkan oleh Galen. Memang wanita sering kali bingung dengan makanan yang pada akhirnya kembali ke pilihan awal, ayam.

Galen tersenyum kecil melihat Risa yang tersenyum tidak nyaman padanya, padahal Galen juga tidak masalahnya jika Risa secara tiba-tiba mengubah atau kembali ke pilihan awalnya. Seperti saat ini. “Galen, maaf,” gumam Risa saat keduanya justru duduk berhadapan di depan sebuah gerobak bertuliskan 'Mie Ayam'.

Galen menarik pipi Risa dan tersenyum kecil sembari mengerutkan hidungnya, ia merasa gemas melihat Risa di hadapannya saat ini. “Gak apa-apa, Ris, gue juga mau makan mie ayam, kok. Gak usah ngerasa bersalah gitu,” ucapnya dengan lembut dan semakin membuat Risa merasa tidak nyaman. Pria itu mengusap tangannya dengan lembut.

Jika begini terus, tidak mungkin kan kalau Risa tidak menyukai pria itu? Bahkan, Risa sepertinya sudah jatuh terlalu dalam pada Galen. Pada momen ini, Risa dapat melupakan Neneknya.

Ah, Neneknya.

Ia kembali teringat ucapan sang Nenek beberapa hari yang lalu, menyuruhnya untuk kembali ke rumah. Jika Neneknya menyuruhnya kembali ke rumah sebelum mengenal Galen, Risa akan pulang dengan cepat. Tapi saat ini, Risa ragu. Mengapa ia harus pulang dan harus meninggalkan kuliahnya di sini hanya karena Neneknya tidak menyukai Galen? Menurut Risa, itu adalah alasan teraneh yang dibuat oleh sang Nenek.

“Hei, kenapa ngelamun, hmm? Itu mie mekar nanti, Ris.” Ucapan Galen membuat Risa tersenyum kecil dan kembali melahap mie ayam di hadapannya. Rasa gurih mienya pun mulai tidak terasa enak di mulutnya setelah memikirkan sang Nenek.

Bisa kah Risa merasakan ini terus tanpa mengkhawatirkan sang Nenek? Bisa kah Risa tetap bersama dengan Galen dan tidak meninggalkan kuliahnya?

Ia menatap wajah Galen. Mengamati setiap sudut wajah Galen. Betapa tampannya pria tersebut, dan betapa beruntungnya Risa dipertemukan pria sepertinya. Galen mengangkat wajahnya dan menaikkan alisnya heran saat menemukan Risa yang menatapnya intens. “Kenapa, Ris? Muka gue, ada yang aneh?” Risa menggelengkan kepalanya lalu menipiskan bibir—menahan senyumnya.

Ia menundukkan kepalanya seraya bergumam, “Kamu ganteng, Galen.”

Semburat merah pun muncul di wajah pria tersebut. Ia tidak berekspetasi bahwa Risa akan mengatakan hal tersebut secara tiba-tiba padanya di saat seperti ini. Dimana mereka juga tengah berada di kerumuman orang banyak. Galen sedikit memajukan tubuhnya, lalu berbisik, “Awas, Risa, di mobil lo gak selamat sih.”

Risa semakin tersenyum lebar. Keduanya tertawa renyah disela menikmati makan sorenya. Tanpa berpikir apa yang akan terjadi pada keduanya di esok hari.