134


Zilla mendorong tubuh Kana sekuat mungkin hingga kedua kaki wanita tersebut terserat. Sedangkan Kana, ia berusaha keras menahan tubuhnya. Deja vu.

Di sisi lain, Ona dan Lana justru melipat kedua tangannya di depan dada menatap kelakuan kedua temannya tersebut. “Mau sampe kapan kaya gini lo berdua, hah?” tanya Ona dengan nada malas—lelah melihat kelakuan keduanya. Lantas Kana menunjuk ke Zilla, berusaha untuk menyalahkan temannya tersebut. “Zilla duluan tuh, Na. Bukan gue!”

Lana menggelengkan kepalanya. “Udah sih, orang ini cuman mau ngasih ide ke Galen doang. Lo kenapa takut banget sama tuh orang?” Kana dan Zilla sontak berdecak dan mendengus. “Liat aja nanti juga lo nge-down, Lan, ketemu sama sih Galer.”

Anjing, Kana! Berapa kali harus bilang sih namanya Galen pake n, bukan pake r!”

Kana tertawa keras. “Maaf. Abisnya mukanya mir—”

“Diem lo!” bentak Lana membuat Kana langsung terdiam dan menyipitkan kedua matanya menatap Zilla kesal.

Keempatnya berjalan menuju tempat Galen dengan Lana yang berada di depan ketiganya. Lana menatap Galen yang duduk membelakanginya, lalu tatapannya beralih pada kedua teman Galen yang Lana tahu salah satunya adalah teman Zilla. “Galen?” panggil Lana membuat Galen menoleh ke arahnya, lalu menatap Zilla, Ona dan Kana yang berada di belakang wanita tersebut.

“Woi, Darel!” teriak Zilla dengan senyum lebarnya saat melihat temannya berada di sana. Sedangkan Darel tersenyum kecil lalu berbisik pada Hatzel, “Zel, siap-siap. Nih orang berisik banget kalo ngomong.”

“Sekarang gue tau kenapa Galen minta kita temenin dia,” ujar Hatzel saat Zilla duduk di samping Darel dengan senyum lebarnya.

“Jadi, kenapa?” tanya Galen saat semua wanita tersebut telah mendudukkan tubuhnya. “Buset, to the point banget ya nih orang,” sungut Kana langsung mendapatkan pukulan dari Ona.

“Kita mau bantuin, Kath.” Galen menaikkan alisnya heran. “Bantuin dia biar lo dapet restu dari Neneknya Kath.” Galen mengangguk pelan.

Lana melirik ke arah Ona seolah meminta wanita itu untuk menjelaskan rencana mereka pada pria tersebut. “Jadi gini, Gal,” ujar Ona lalu menelan ludahnya membasahi tenggorokannya yang kering. “Kath tuh setiap liburan semester pasti pulang. Kita pernah ikut dia pulang ke rumah. Nah, maksud kita itu mau ngajak lo ikut ke rumahnya Kath. Sekalian kenalan sama Neneknya Kath lebih dalem gitu loh.” Ona melirik ke arah Lana, takut dengan reaksi pria tersebut.

“Emang Neneknya bakal oke kalo gue ikut?”

Ona menggaruk tengkuknya canggung lalu menatap Lana, menyuruh wanita itu yang menjawab. “Oke. Karna ada kita semua. Kalo lo mau dan udah deal sama rencana kita ini. Gue bilang ke Kath, nanti Kath bakal bilang ke Neneknya kalo temen-temennya ini mau ikut liburan ke rumahnya.” Tatapan Lana beralih pada Hatzel dan juga Darel. “Temen lo boleh ikut juga kalo mau.”

Galen menatap Hatzel dan Darel. “Lo berdua mau ikut emang?”

“Kemana?”

“Ke rumahnya Risa.”

Hatzel mengusap dagunya tampak tengah berpikir akan ajakkan Galen. “Kalo nanti gue ikut ke sana terus ternyata Neneknya Risa lebih suka sama gue, gimana, Gal?”

Bangsat,” umpat Galen.

“Dih najis, dikira cakep kali ya,” ujar Kana dengan pelan, namun masih dapat terdengar jelas di telinga Hatzel, membuat pria itu sontak menatap Kana dengan alis yang menukik marah. “Maksud lo apa?”

Kana mendengus. “Maksudnya, lo jangan ke pedean gitu kali. Lo tuh jelek.”

“Kana!” tegur Lana menatap kembarannya tersebut marah. Ona pun memukul pundak Kana dengan kencang, membuat Kana langsung mengusap pundaknya berusaha menghilangkan rasa pedih. “Ona, lo kok mukul mulu sih, sakit anjing!”

Lana menghela nafasnya. “Jadi, lo mau atau gak kita bantu, Gal?” Pria itu menganggukkan kepalanya, merasa yakin bahwa ia juga memerlukan bantuan teman-temannya Risa.

“Oke. Kalo lo oke, gue bakal kasih tau Kath besok. Kath bakal bilang ke Neneknya.” Tatapannya beralih pada Hatzel dan juga Darel. “Berarti lo berdua ikut, ya?”

Sementara itu, Hatzel dan Darel saling bertatapan, lalu mengangguk pasrah. “Oke, makasih udah mau bantuin.”

“Dari tadi lo semua di sini tapi belom kenalan sama gue, kan? Gue Hatzel, panggil aja Azel.”

Darel mengernyitkan keningnya mendengar Hatzel memperkenalkan diri pada teman-temannya Risa. “Zel?”

“Apa?” Darel menggelengkan kepalanya. Namun, Lana mengulurkan tangannya pada Hatzel seraya berkata, “Gue Lana, ini Kana kembaran gue yang sering ngomong kasar.”

“Lana, lo kalo kenalin kembaran lo ini yang bagus-bagus aja dong!”

“Gak ada yang bagus dari diri lo, Kan.”

“Dih, bangsat! Berantem kita!” Kana bangkit lalu mencekik leher Lana, seolah lupa dimana mereka berdua berada.

Sedangkan Zilla, ia menepuk pundak Darel lalu berbisik, “Maaf ya, Rel, temen gue tuh emang kampungan gini. Suka gak liat situasi berantem mulu.” Darel tertawa keras mendengar ucapan temannya tersebut. Lain hal dengan Ona yang berusaha memisahkan kedua temannya tersebut.

Galen tidak memikirkan temannya Risa yang tengah saling menarik rambut satu sama lain itu, melainkan pikirannya melayang menuju Risa. Entah, keputusannya untuk mendapatkan restu dari Sang Nenek memang benar atau tidak. Karena hubungan kedua yang masih terpaut sebentar itu. Ia merasakan tatapan Hatzel mengarah padanya, membuat ia membalas tatapan pria tersebut.

Bibirnya bergerak seolah berkata, 'Gak apa-apa, Gal. Dicoba aja dulu. Gue ikut temenin.'

Membuat perasaan Galen sedikit merasa aman dan yakin. Merasa bahwa pilihannya benar. Jika ia tidak mencobanya sekarang, apakah ia dan Risa harus berpisah? Haruskah ia mengalah pada restu yang tidak akan ia dapatkan, dan menjauh dari Risa?