139.

Galen membuka pintu rumahnya dan mendapati tak ada satu pun orang di ruang tengah seperti biasanya. Mungkin, Hatzel telah tertidur setelah menghubunginya, atau Darel yang juga terlelap dalam mimpi. Melvin? Mungkin pria itu sedang sibuk bersama dengan kekasihnya saat ini, Galen hampir jarang melihat wajah pria itu akhir-akhir ini. Arka? Apa lagi. Galen sudah tidak pernah melihat pria itu lagi.

Galen berjalan menuju dapur, membuka lemari es dan meraih satu botol air mineral. Meneguknya hingga habis dan berjalan menuju kamarnya, namun bertepatan saat dirinya berusaha membuka pintu, Hatzel keluar dari dalam kamarnya. Keduanya saling melempar tatapan. “Baru sampe, Gal?” Galen berdeham sebagai jawaban. Ia memutuskan untuk tidak masuk ke dalam kamarnya dan mengikuti langkah Hatzel.

Pria itu duduk di ruang tengah seperti biasanya, menyalakan televisi dan menaikkan kedua kakinya ke atas meja. Tipikal Hatzel saat tidak ada orang di sekitarnya. “Gak duduk, Gal?”

Galen menarik nafasnya, dan mendudukkan tubuhnya di samping pria itu. Ia tahu kemana ini akan berjalan. Hatzel akan membicarakan tentang Risa dengannya.

“Jadi?”

“Jadi?” ulang Galen mengikuti pertanyaan Hatzel yang ia tidak mengerti—lebih tepatnya, pura-pura tidak mengerti. Sedangkan Hatzel, pria itu berdecak kesal mendengar reaksi Galen. “Risa, Gal! Gue tuh nanya lo gimana soal rencana temen-temennya Risa itu?”

Galen mengangkat kedua bahunya. “Bangsat. Lo yang pacaran, gue yang pusing, Gal.”

“Jangan dibuat pusing, Zel.”

Hatzel mendesis, menatap Galen dengan tatapan tak percayanya. “Gue tuh mikirin lo banget, Gal. Mikirin lo diterima apa gak sama Neneknya.” Galen tersenyum kecil—berusaha menyembunyikan senyumnya dari hadapan Hatzel. Ia menyadari bahwa Hatzel sebegitu pedulinya padanya.

“Gue tau, Gal, lo panik sebenernya, kan? Tapi pura-pura cool, pura-pura kaya yaudah aja gitu, padahal gak.”

Benar. Galen tengah berpura-pura saat ini.

Namun, ia memilih untuk mengelak. Ia mendengus lalu membalas ucapan Hatzel. “Gue gak yaudah aja, Zel.”

“Terus?”

Gue bingung.”

Hatzel mengernyitkan keningnya. “Maksud?”

“Bingung, Zel. Gue lagi bingung.”

Kalo bingung, mending gak usah dilanjut, Gal.”

“Kenapa?” Galen mengernyitkan keningnya, alisnya menyatu seolah tak mengerti akan ucapan temannya tersebut.

“Karna lo sebenernya ragu.”

Ragu?

Galen tidak merasakan hal itu, ia lebih merasa bingung. Ia bingung dengan dirinya sendiri. Merasa bahwa dirinya semakin tak pantas untuk Risa, dan merasa bahwa semua yang ia lakukan akan sia-sia pada akhirnya. Galen menyukai Risa, sangat. Ia bahkan memikirkan masa depannya bersama dengan wanita itu, namun ada hal yang membuatnya bingung. Dirinya sendiri.

Apakah Galen pantas untuk Risa?

Apa Galen bisa bertanggung jawab penuh pada Risa?

Ia saja malas kuliah hingga detik ini. Sedangkan Risa, wanita itu akan menjadi seorang dokter hebat. Tak pantas untuknya yang tidak pernah serius dengan kuliahnya.

Pikiran akan hal seperti itu kerap memenuhi pikirannya akhir-akhir ini. Seharusnya sebagai pria, Galen tahu akan apa yang akan ia lakukan ke depannya, tapi ia justru merasa bingung dan seolah tersesat. Diam di tempat.

Ia menarik nafasnya panjang, menangkup wajahnya dengan kedua tangannya sembari bergumam, “Apa gue mundur aja, ya, Zel?

“Bangsat sih lo, Gal, kalo mundur.”