86


Risa menatap Galen saat mobil pria tersebut berhenti di depan Kosannya. Ia tersenyum pada Galen, begitu pun pria tersebut. Galen mengusap rambutnya dan berkata, “Yaudah, masuk. Soal tadi jangan terlalu dipikirin, ya? Nanti kita cari lagi jalan tengahnya gimana. Sekarang tidur aja dulu.” Risa mengangguk kecil.

Ia membuka seatbeltnya, membuka pintu mobil namun gerakkannya terhenti dan justru membalikkan tubuhnya. Dengan secepat kilat, Risa mengecup pipi Galen lalu membuka pintu mobil pria tersebut terburu-buru.

Sedangkan Galen, terdiam—termangu sesaat. Setelah mendapatkan kesadarannya kembali ia tertawa melihat Risa berada di luar mobilnya melambaikan tangan lalu masuk ke dalam Kosannya. Ia menggelengkan kepalanya tak percaya.

Saat ia tengah bersiap kembali menjalankan mobilnya, ia terhenti melihat siluet pria tinggi berada di hadapan Risa. Pria itu mengusap rambutnya. Rambut Risa. Rambut yang selalu ia usap dan juga ia acak saat merasa gemas dengannya.

Galen terdiam. Tidak berniat sedikit pun menjalankan mobilnya kembali, melainkan memilih untuk terdiam di sana dan mengawasi Risa. Pertanyaannya, siapa pria itu?

Galen mengernyitkan keningnya saat ia melihat Risa menarik tangan pria itu masuk lebih dalam, membuat beberapa pikirannya mulai berpikir aneh.

Ia keluar dari dalam mobil, menghampiri Risa dan pria itu yang tengah duduk di ruanh tamu Kosan duduk berhadapan. “Kak Angga, aku juga gak pengen sebenernya dari dulu, ta—”

“Siapa, Ris?”

Risa mengangkat wajahnya saat mendengar suara Galen, ia menatap pria itu terkejut. “Kamu belum pulang? Aku kira udah jalan,” ujar Risa membuat Galen menoleh ke arahnya lalu kembali menatap ke arah Angga.“Siapa, Ris?”

Risa tersenyum kecil lalu menatap ke arah Angga dan Galen bergantian. “Galen, ini Kak Angga. Kak Angga, ini Galen.”

Angga tersenyum lalu bangkit, meraih tangan Galen dan mengajaknya berjabat tangan. Senyum pria itu terlihat lebih manis dari pada senyuman miliknya, membuatnya ingin mendengus saat itu juga.

“Angga. Calon suaminya Kath.”

Galen menatap Risa datar lalu kembali menatap ke arah Angga datar. Ia tersenyum kecil padanya seraya berkata, “Galen. Pacarnya Risa.”

Angga tertawa. Mendudukkan bokongnya dan tetap tertawa, membuat Galen menatapnya penuh tanda tanya. “Kath, aku kira kamu boong bilang punya pacar, ternyata bener. Bagus deh. Kalo gitu kita beneran gak akan nikah,” ujar Angga.

“Terus Nenek gimana, Kak?”

Angga mengusap dagunya perlahan. “Susah sih, Kath. Aku juga takut Nenek gak mau. Kamu sendiri kan yang paling tau Nenek kaya gimana kalo udah yakin sama pilihannya,” Angga berhenti menatap Risa teduh. “Tapi, dicoba dulu aja. Aku juga udah ada pacar, Kath. Inget gak cewek yang aku ceritain dulu?” Risa mengangguk antusias. “Aku udah jadian sama dia. Aku serius sama dia, Kath.”

Angga menatap Galen sekilas lalu kembali menatap Risa. “Caranya cuman satu, Kath. Kamu yakinin Nenek kalo kamu itu gak perlu dijodohin dan bisa cari pasangan sendiri. Dan, juga,” Angga menatap Galen dengan senyum kecilnya. “Lo harus yakinin Neneknya Kath kalo lo itu pantes buat Kath.”

“Tanpa disuruh juga gue lakuin,” ucap Galen datar.

Angga menatap Risa terkejut—seolah mengejek Galen. “Pacar kamu dingin banget, Kath.” Risa tersenyum pada Angga lalu beralih pada Galen yang sejak tadi belum mendudukkan tubuhnya di atas sofa. Membuat Risa menepuk sofa di sampingnya, menyuruh Galen untuk duduk di sana. Pria itu dengan patuh duduk di sana dan menatap Angga datar.

“Aku tebak, Nenek bilang dia kaya berandal.” Risa membelalakan kedua matanya menatap Angga yang seolah sangat paham pada Neneknya. “Kak Angga?”

“Aku udah tau pikiran Nenek kamu sebenernya, Kath. Makanya aku ajak ketemu hari ini juga. Nenek nyuruh aku pindah ke kampus kamu, dan kamu tau aku gak bisa. Aku udah mau lulus, Kath. Ditambah Nenek cerita sama aku soal pacar kamu ini.” Angga melirik Galen sekilas lalu kembali melanjutkan ucapannya, “Nenek bilang pacar kamu cuman mau manfaatin kamu aja. Pacar kamu bukan orang baik-baik. Males. Sombong—congkak. Gak rapih. Gak ada sopan santun. Tipikal emosian. Aku gak percaya omongan Nenek karna kamu tau sendiri kan Nenek kaya gimana.”

“Sekarang aku liat langsung pacar kamu, pertama kalinya aku percaya omongannya Nenek.”

“Kak Angga!”

Angga tertawa mendengar Risa memanggil namanya dan juga menatapnya panik. Beda lagi dengan pria di samping wanita tersebut, pria itu menatapnya tajam seperti ingin menusuknya. “Bercanda.”

“Maksud aku, dia gak seburuk yang Nenek bilang, Kath. Kecuali, congkaknya sih.” Angga tersenyum melihat Galen yang menatapnya tajam. Tipikal pria yang gampang terpancing menurut Angga.

“Yaudah, aku balik deh ya. Udah malem, kamu juga mau istirahat kan pastinya. Calon dokter harus banyak istirahat, Kath, nanti bakal sibuk banget kan kamu.” Risa mengangguk dan ikut bangkit saat Angga bangkit dari atas sofa—bersiap untuk pulang. “Kak Angga kesini naik apa?”

“Kereta.”

“Kereta ada jam segini, Kak?”

Angga mengangkat kedua bahunya . “Gak tau, aku belum liat. Tapi kayanya aku cari Hotel aja. Besok pagi baru balik.”

“Dari sini pesen ojek, Kak?” Angga kembali mengangguk. “Bareng gue aja.” Angga dan Risa menatap Galen saat pria itu menawari tumpangan pada Angga.

“Dapet tumpangan gratis. Ayok, anterin gue cari Hotel ya!” ujar Angga membuat Risa menatap Galen tidak enak.

Ia mendekati Galen dan berbisik pada pria tersebut, “Maaf ya, aku ngerepotin kamu.” Galen menggelengkan kepalanya seraya tersenyum kecil, tangannya bergerak mencubit pipi wanita tersebut dan berkata, “Gak, Risa. Gak ngerepotin sama sekali kok. Udah lo tidur aja, ya? Besok masih ada kelas, kan?” Risa mengangguk. “Besok gue jemput.”

Angga yang melihat interaksi keduanya pun tersenyum kecil. Setidaknya, jika bukan ia yang harus menjaga Risa, ada orang lain yang akan dengan senang hati menjaga wanita tersebut. Bukan berarti Angga tidak mau menjaga Risa, hanya saja ia menganggap wanita itu sebagai Adik saja, tidak lebih.

“Kath, aku balik dulu, ya? Kamu jangan lupa makan.”

Keduanya berjalan masuk ke dalam mobil. Meninggalkan Risa yang menatap keduanya dengan perasaan yang entah ia sendiri pun tidak mengerti.