After That Day.
Jeje menundukkan kepalanya dalam-dalam saat kedua orang tuanya dan juga Haikal menatap keduanya dengan tatapan tak percaya. Sedangkan Haikal, pria itu menatap kedua orang tuanya sembari mengenggam tangan Jeje dengan erat.
Jujur, jantungnya berdetak dengan cepat saat ini. Ditambah keadaan sunyi ruang keluarga rumah Jeje semakin membuat suasana kian mencekik. Sebuah tamparan di layangkan di wajah Haikal oleh Ayahnya. Pria tua tersebut menampar wajah putra, menatap nyalang seraya berkata, “Haikal! Udah gila kamu, hah?!”
Haikal tahu jika ia memang gila dan jahat karena secara tidak langsung pria itu telah menghancurkan mimpi-mimpi Jeje yang telah wanita itu bangun sejak tadi, atau mimpi wanita itu yang mungkin tidak akan bisa digapainya lagi. Ia menghancurkan hidup seseorang. Dan itu adalah Jeje.
Sedangkan Ibunya justru memeluk tubuh Jeje dengan erat, menjauhkan tubuh wanita itu dari jangkauan Haikal, wanita tua itu menangis seraya memeluk tubuh Jeje dengan erat.
Dilain sisi, kedua orang tua Jeje justru tidak dapat berkata apapun. Hanya terdiam seolah mencerna apa yang terjadi saat ini. Tatapan mereka kosong. Hingga Sang Ibu menghampiri Jeje dan memeluknya dengan erat bersama dengan Ibunda Haikal. Jeje menangis dalam pelukan mereka dan melontarkan beribu kata maaf. Jeje pikir, maaf tidaklah cukup karena ia sangat mengecewakan kedua orang tuanya.
Ia merengkuh tubuh Sang Ibu dengan erat. Menangis kencang dan kembali mengucapkan kata maaf. Sedangkan Haikal, pria itu menatap Jeje yang tengah berpelukan dengan Ibunya lalu beralih menatap wajah Ibundanya yang juga menatap ke arah. Tergurat tatapan kecewa di kedua mata wanita yang ia sayangi itu.
Haikal mengecewakan dua wanita sekaligus. Dan itu membuat dadanya bergemuruh marah bercampur sedih. Ia kembali menolehkan kepalanya menatapa Ayahnya yang berada di hadapannya saat ini, masih dengan tatapan marahnya. “Terus kamu—kalian mau gimana?”
Haikal menarik nafasnya dalam-dalam sebelum kembali memantapkan diri menatap Ayahnya. “Haikal harus tanggung jawab, Yah. Haikal bakal nikah sama Jeje,” ujarnya lalu beralih menatap Jeje yang juga menatap ke arahnya dengan kedua matanya yang basah. “Haikal sama Jeje juga udah pikirin ini dari awal semenjak Haikal sama Jeje tau kabar ini. Kalo menurut Ayah ini kabar buruk, tapi bagi Haikal ini kabar baik—walaupun Haikal tau perbuatan Haikal ke Jeje itu salah. Jadi..”
Haikal menundukkan kepalanya. “Haikal mau minta maaf sama Ayah, sama Mama juga.” Tatapannya beralih ke kedua orang tua Jeje. “Ke Tante sama Om juga kalo Haikal lalai ngejaga Jeje. Tante sama Om selama ini udah percaya sama Haikal, tapi Haikal justru ngecewain. Maaf, Om, Tante.”
Semuanya terdiam setelah ucapan Haikal. Tidak tahu harus menjawab apa. Ini terlalu mendadak dan mengejutkan mereka semua. Terutama kedua orang tua Jeje. Mereka senantiasa mempercayai Haikal untuk menjaga Jeje. Tidak masalah jika pria itu menumpang tidur di kamar anaknya, karena mereka selalu percaya jika Haikal sama Jeje sudah mengenal cukup lama—sejak kecil, jadi tidak mungkin melakukan hal di luar pikiran mereka.
Tapi mereka salah. Kedua anak tersebut telah tumbuh dewasa, bukan anak kecil seperti dulu. Tidak seharusnya juga mereka tetap membiarkan Haikal dan Jeje bersamaan di dalam kamar berdua seperti itu.
Mereka semua juga salah karena tidak menjaga mereka. Ibunda Jeje mengusap punggung Jeje dengan lembut. “Mama gagal jadi orang tua, tapi kamu sama Haikal jangan sampe gagal jadi orang tua. Mama gak mau, Je.” Sontak tangisan Jeje kembali pecah. Ibunya tidak memarahinya. Seperti biasa, Ibunya selalu mengerti tentang dirinya. Namun, lagi-lagi ia mengecewakan keduanya.
“Om ucapin terima kasih karna kamu, Kal, udah berani ngomong langsung ke kita semua. Kamu berani ambil keputusan secepat mungkin.” Haikal menahan nafasnya, mengepalkan tangannya dengan kuat. Menahan keinginannya untuk menangis saat ini juga.
“Tapi, Om tetep kecewa sama kamu. Sama tindakan kalian berdua. Nasi sudah menjadi bubur. Kalian berdua harus tanggung jawab.” Haikal menganggukkan kepalanya. Matanya melirik ke arah Jeje yang memeluk Ibunya dengan erat, wajahnya basah oleh air matanya.
“Kalian udah cek ke rumah sakit?” tanya Ibunda Jeje. Jeje menganggukkan kepalanya. “Kemaren, Jeje sama Haikal langsung ke rumah sakit, Ma. Katanya, bayinya sehat, dan kondisi Jeje baik untuk ngandung.” Ibunya menganggukkan kepalanya lalu menatap kedua orang tua Haikal.
“Jadi, gimana, Bu, Pak? Anak kita udah punya pilihan untuk menikah. Kita sebagai orang tua juga gak bisa nahan.”
Ibunda Haikal pun setuju dengan ucapan Ibunda Jeje. Begitu pun Ayah dari Jeje, namun berbeda dengan Ayah Haikal yang masih tidak menerima kesalahan anaknya tersebut. “Oke, kita bisa nikahin mereka berdua. Tapi, saya masih penasaran sama pertanggungjawaban anak saya sendiri. Kamu mau tinggal dimana nanti?”
Haikal terdiam. Ia sudah mempunya rencana untuk itu semua, namun berada disituasi seperti ini membuatnya merasa tertekan dan gugup. “Kamu emang udah kerja? Kamu aja masih pake uang Ayah selama ini. Kamu sanggup biayain hidup istri sama anak kamu nantinya, Kal? Kuliah aja males-malesan. Gaya mau biayain hidup anak orang!”
“Haikal! Ini tuh hidup anak orang kamu hancurin tau gak?! Kamu bukan cuman ngancurin hidup Jeje, tapi juga orang tuanya, Kal. Ayah pernah ngajarin kamu jadi cowok kaya gini emangnya, hah?! Jadi kepala rumah tangga itu bukan cuman soal jadi suami sama jadi ayah aja! Banyak bebannya, kamu tau itu gak?! Kamu bisa ngejalaninnya?! Yakin bisa ngehidupin istri sama anak kamu? Bisa jadi kepala rumah tangga yang baik?! Rumah gak ada, penghasilan juga gak ada! Kamu yakin, Jeje bisa bergantung sama kamu?!”
Nafasnya memburu, memandang lantai dan tak berniat untuk mengangkat kepalanya sedikit pun. Ia akan terima ucapan Ayahnya tersebut, karena itu semua benar. Haikal selama ini hanya bergantung pada Ayah, tapi secara tiba-tiba ia harus mempunyai tanggungjawab.
“Yakin bisa, hah?!” Haikal semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Membuat Sang Ibu pun mengusap pundak Ayahnya, seolah mengatakn cukup untuk memarahi anak mereka mengingat saat ini keluarga mereka tengah mengalami musibah.
“Ya udah, sekarang Jeje istirahat aja, ya? Jangan banyak pikiran dulu, makannya juga dijaga,” ujar Ibunda Haikal dengan senyuman teduhnya. Tangannya mengusap rambut Jeje dengan lembut.
Kedua orang tua Haikal pun memutuskan untuk kembali ke rumah mereka meninggalkan Haikal yang tetap di rumah Jeje dan menatap Jeje beserta kedua orang tua wanita tersebut. Tak ada pembicaraan apapun selain tepukan hangat dari Ayah Jeje dan usapan hangat di punggungnya oleh Ibunda Jeje. Berbanding terbalik dengan kedua orang tuanya.
Hanya tinggal mereka berdua di ruang keluarga tersebut. Lantas Haikal menghampiri Jeje dan mengenggam kedua tangannya dengena erat. Memberikan kehangatan di tangan wanita itu laku membawa tangan Jeje ke depan bibirnya, memberikan sebuah kecupan hangat dan sebuah bisikkan, “Bisa, Je.. Kita bisa..”
Nafasnya memburu dan kembali menyembunyikan wajahnya di pangkuan Jeje—pria itu menangis, lagi. Untuk yang kesekian kalinya Haikal menangis di depan Jeje dan mengucapkan kalimat maaf yang sebenarnya Jeje tidak inginkan. Wanita itu paham jika ini bukan hanya kesalahan Haikal, namun dirinya juga.
Ini konsekuensi untuk mereka berdua. Dan Jeje pantas menerimanya. Ia mengusap perutnya dengan pelan.
Kedua orang tua mereka telah tahu kehamilannya. Reaksi tak terduga dari kedua orang tuanya membuat Jeje dapat bernapas lega, namun berbeda dari Ayahnya Haikal. Ayahnya memang terkenal keras, tapi Jeje tidak pernah mendapatkan amarah pria itu. Ia pikir, ia akan selamat tapi ternyata tidak.
Ia mengusap sudut matanya, mengusap punggung Haikal dan berkata, “Kal, udah.. Lo jangan gini terus. Gak perlu minta maaf terus-terusan. Lo kalo kaya gini nyakitin perasaan bayi kita, Kal. Kaya kehadirannya tuh beneran salah. Seenggaknya kita bisa pura-pura bahagia, Kal..”
Jujur, Jeje lelah sekali saat ini. Ia hanya ingin tidur dan kembali menangis—pelukkan Haikal mungkin sedikit membantunya sekarang. “Gue ngantuk, Kal. Temenin gue tidur.”
Haikal menganggukkan kepalanya dan mengangkat tubuh Jeje dalam gendongannya. Membawanya ke dalam kamar wanita itu dan membaringkannya dengan nyaman di atas ranjang. Tangannya bergerak mengelus rambut, pipi dan memijat pundak wanita tersebut.
Satu hal telah mereka lewati, orang tua mereka. Masih ada banyak hal yang akan ia hadapi setelah hari ini. Namun, Haikal berharap bahwa ia dan Jeje dapat melewati itu semua.