Alone

Mereka tidak tahu jika aku telah hancur.

Untuk kesekian kalinya, aku melirik ke arah Kaisar yang berada di meja sebelah kananku. Kedua matanya tidak berhenti menatap ke arahku dengan curiga. Aku tidak suka dengan tatapannya. Jadi aku memutuskan untuk membalas tatapannya dan berkata, “Kenapa?”

Laki-laki itu hanya menggelengkan kepalanya, namun tetap menatap lurus kedua mataku. Lagi, Kaisar membuatku tidak nyaman.

Tidak banyak yang dapat aku jelaskan tentang Kaisar. Dia hanya laki-laki muda seperti pada umumnya. Nakal. Dingin. Pintar. Tampan. Dan juga menyebalkan. Tatapan tajamnya, membuatku selalu patuh dengannya. Hari ini, Kaisar membiarkan rambutnya jatuh—tidak seperti biasanya laki-laki itu suka memakai gel rambut. Rambut hitam tebal yang membuat siapa pun melihatnya ingin merasakannya. Membawa jemari mereka menari ke rambut tersebut.

Kaisar memang tampan bagi semua orang, tapi tidak bagiku.

Walau terkadang detakkan itu sering kali datang, aku tetap mencoba untuk biasa saja.

Sama halnya dengan Elang yang beberapa kali menoleh kearahku lalu memberikan sebuah kedipan mata jauh—membuatku menggeliat geli dalam hati. Dia menjijikkan.

Aku menelan air liurku saat merasakan sebuah tatapan menghunusku, Adhisty. Nama perempuan tersebut yang tengah menatap tajam ke arahku. Dia salah satu perempuan yang menyukai Elang. Mungkin, aku akan kembali mendapatkan tamparan di wajah.

Tidak apa.

Aku menyukainya.

Satria yang berada di sampingku mulai menepuk pundakku dengan pelan—bisa tidak ia berhenti menepuk pundakku? Aku tidak menyukainya.

“Lo katanya lagi baca buku baru. Tentang apa?”

Berisik.

Aku tersenyum padanya seraya menjawab, “Gatau, belom selesai baca. Mau baca?” Laki-laki itu mengangguk dengan antusias—muka dua.

“Besok gue bawa ya, Sat.”

“Lo mau baca buku yang gue ceritain kemaren nggak?”

“Tentang misteri itu?” Satria mengangguk semangat padahal aku tidak tahu buku mana yang ia maksud. Aku hanya berusaha membuatnya senang, dan berpura-pura bahwa aku sama antusias dengannya.

Satria mengeluarkan buku dalam tas nya lalu menyerahkannya padaku. Buku yang tidak terlalu tebal, berjudul “We Were Liars”.

Apa ini?

Aku menatap Satria—tatapan aneh seperti biasanya saat aku tidak mengerti atau aku ingin mendengarnya bercerita. Kali ini aku tertarik dengan bukunya.

Satria membuka lembaran pertama seraya bercerita padaku, “Ini tuh cerita bagus, Sil. Lo harus baca! Gue nggak mau ceritain ke lo karna ini buku mindblowing banget sih!”

Mendengar ucapan Satria, aku justru merasa tertarik. Karena, sebenarnya mimpiku adalah menjadi seorang penulis. Aku membaca halaman pertama lalu berlanjut menjadi halaman berikutnya hingga aku menoleh ke arah Satria, tersenyum pada laki-laki itu. “Gue pinjem ya, Sat.” Satria memang selalu baik padaku, maka ia mengangguk cepat.

“Sengaja gue bawa buat lo sih itu.”

Mungkin Satria tidak menyadarinya, tapi aku melihat dengan jelas. Laki-laki itu menyeringai. Apa yang kau sembunyikan Satria? Atau, apa yang kau rencanakan sebenarnya?

Jam istirahat.

Aku memilih untuk pamit pada Satria, dan berjalan menuju toilet. Sebelumnya, aku sempat menoleh ke arah Kaisar yang menatapku datar. Selalu.

“Kantin?” tanya Elang menghalangi jalanku. Aku hanya menggelengkan kepala seraya menjawab, “Mau ke toilet.”

“Oke, bye!”

Saat membuka pintu kamar mandi wanita, aku menemukan dua perempuan yang sangat aku tidak sukai. Adhisty dan juga Hana. Dua manusia yang selalu mengusik hidupku. Terkadang aku berharap salah satu dari mereka menghilang dari bumi. Atau, keduanya.

Adhisty melirik pantulan diriku dari cermin dan berkata, “Eh sih manis nongol.”

“Ya?” Aku hanya ingin menggunakan toilet dan kembali ke kelas dengan damai.

“Ya? Haha. Emang lo manis?” ujarnya seraya memoles sebuah lip tint ke bibirnya. Bibir yang ingin sekali aku tarik—sangat berisik. Selalu mencibir.

Aku memilih mendiamkannya dan masuk ke dalam bilik toilet lalu menguncinya dari dalam. Dari dalam sini aku masih mendengar jelas ucapan Adhisty pada Hana, “Boleh ambil Kaisar, tapi jangan ambil Elang juga dong. Jadi cewek kok maruk banget sih.”

Aku memejamkan kedua mataku menahan segala gejolak amarah yang ada dalam tubuhku. Adhisty. Perempuan satu itu hanya iri padaku karena aku mendapat perhatian Elang dengan mudah. Ya, kami teman. Teman? Aku tidak yakin juga.

Adhisty sangat menyukai Elang—sama seperti perempuan pada umumnya di sekolah ini. Salah satu perempuan yang selalu mengangguku hanya karena laki-laki aneh bernama Elang Pratama. Jika mereka tahu betapa busuknya laki-laki itu, aku yakin mereka semua akan lari.

Hampir saja kata kotor keluar dari mulutku saat seseorang memukul bilik toiletku dengan keras. Ya siapa lagi kalau bukan Adhisty pelakunya. Sudah ku katakan, bukan?

Adhisty,

selalu

mengangguku.

Aku membuka pintu toilet dan langsung berhadapan dengannya. Kedua matanya menatap diriku tajam, berusaha membuatku terpojok. Ya, dia berhasil karena kedua kakiku mundur perlahan tanpa aku sadari. Karena jujur, aku juga takut dengannya.

Adhisty menyeramkan.

Ia menarik rambutku dengan kencang, mengenggamnya erat seolah ia ingin membuat rambutku lepas dari kulit kepala. Sakit. Sangat sakit. Dan bodohnya, aku hanya diam sembari meringis pelan.

Percayalah, aku ini pecundang.

“Awas ya kalo besok gue liat lo naik motor sama Elang lagi.”

Aku meringis saat perempuan jahat ini semakin menarik rambutku, lalu melepaskannya dengan kasar. Membuat kepalaku tak sengaja membentur dinding samping dengan keras.

“Gue bikin kaki lo patah!”

Itu menjadi kalimat terakhirnya sebelum menendang pintu bilik toilet lalu pergi keluar kamar mandi dengan Hana yang sejak awal hanya memperhatikan kami berdua dari jauh. Ia hanya mengawasi. Tidak banyak bicara. Tidak juga menganggu. Seperti yang ku katakan, ia hanya mengawasi.

Mengawasi dalam arti buruk.

Aku berjalan menuju wastafel lalu membasuh wajahku tergesa. Kesekian kalinya, Adhisty melakukan hal ini padaku. Dan aku hanya diam layaknya seorang pecundang bodoh. Malu? Tentu saja.

Takut? Sangat.

Tidak mengadu? Pada siapa.

Kaisar? Tidak, Kaisar tidak peduli. Ia hanya menginginkan sesuatu dariku. Dan ia tidak pernah berpikir membantuku.

Rangga? Dia tidak peduli.

Satria? Hanya laki-laki lemah berkedok kata 'keren' dan 'misterius'.

Elang? Dia sumber masalah.

Jadi, aku harus bergerak sendiri, bukan?