Area Abu-Abu

Chandra berjalan lebih dahulu di depan Nadine, walau beberapa kali melirik ke belakang, apakah Nadine masih mengikutinya atau tidak. Sampai akhirnya Chandra memilih untuk mengenggam tangan wanita itu. Menuntunnya berjalan di sampingnya hingga mereka masuk ke dalam mobil.

Tidak ada bahasan soal Jenar. Walau faktanya, Chandra terlalu pengecut untuk memulai pembicaraan soal hubungan mereka berdua. Bahkan untuk sekedar menyebut namanya saja, Chandra terlalu segan—dia takut mendengar faktanya juga.

Nadine menoleh kearah Chandra yang duduk kursi kemudi, menatap pria itu yang tengah fokus melihat jalanan. “Kata lo penting. Kenapa?” Tanyanya yang justru mendapat senyuman lebar oleh pria itu.

“Gue cuma pengen ngeliat lo aja.” Ujar Chandra lagi-lagi membuat perut Nadine menghangat seketika namun segera ia tutupi itu semua. Wanita itu pun membuang wajahnya, menghindari tatapan Chandra yang sesekali menoleh untuk melihat reaksi yang ditunjukkan oleh Nadine.

Chandra pikir, dirinya akan luluh dengan omongan manis pria itu? Tidak. Lebih tepatnya biasa saja. Memang benar ia sedikit dibuat senang, namun biasa saja.

Jangan lupakan Chandra yang sering menggodanya sejak dulu.

Nadine memandang arah jalanan yang mulai tidak ia kenali, ia melirik Chandra cemas. “Ini gue mau dibawa kemana?” Chandra mengedikkan bahunya mengejek Nadine. “Rahasia.”

Tanpa Chandra sadari, Nadine mendekat kearahnya dan memukulnya kencang. Sangat kencang. Hingga membuatnya tersentak kaget dan menatap wanita itu terkejut. “Kenapa gue dipukul, Nad? Sakit ini.” Rengek Chandra justru membuat Nadine kembali bersiap memukul pria itu. “Ampun, Nad. Serius ampun.”

“Puter balik gak?!”

Chandra tidak menghiraukan perkataan Nadine dan tetap berada dijalur awalnya. Tidak berniat juga untuk memutar balik mobilnya. “Chandra! Gue bilang balik ya!” Geram Nadine justru mendapatkan usapan dirambutnya oleh Chandra—lagi-lagi dirinya dibuat terdiam oleh pria itu.

“Gak, Nad. Gue cuma mau ajak lo makan sate taichan kok. Mau kan?” Chandra tersenyum sembari menatap Nadine, meminta persetujuan wanita itu walaupun ia tidak membutuhkannya juga. Karena jika Nadine tidak setuju, Chandra akan tetap membawa wanita itu ikut makan sate taichan bersamanya.

“Gue gak suka taichan. Puter balik!”

“Boong. Lo kan suka taichan banget.” Ejek Chandra membuat Nadine mendengus kesal, dan memilih untuk mengalah pada pria itu. “Eh tapi lo kan emang suka sama semua makanan ya?”

“Berisik. Udah buruan, gue laper.”

Aye, Captain!”

Ngeselin banget jadi orang. Batin Nadine menggerutu.

11.03 p.m

Nadine memandang Chandra yang duduk dihadapannya dengan kesal, sedangkan Chandra memandang Nadine berbinar. Ia bahkan membiarkan kepalanya bertumpu pada tangannya sembari memandang Nadine. “Nad, gue udah bilang ke l—”

“Udah.”

Chandra berdecak sebal namun tidak menghilangkan senyuman dari wajahnya. “Belum selesai, Nad. Lo cantik banget hari ini.”

Nadine mengernyitkan keningnya merasa geli dengan ujaran Chandra padanya, walaupun pria itu memang sering melakukannya, namun setiap kali ia mendengarnya ia dibuat geli kembali dan rasanya ingin menghilang saja.

Chandra sebenarnya mau tertawa di depan Nadine sejak tadi, tetapi ia menahannya. Ingat tidak, wanita itu mengatakan tidak suka taichan, tapi ia menghabiskan tiga puluh tusuk sendirian—memakannya dalam diam bahkan menghindari tatapannya. Dan Chandra hanya makan sepuluh tusuk saja kalau ingin tahu.

“Balik yuk, Nad. Udah jam segini. Nanti gue diomelin sama pawang lo lagi deh.” Ujar Chandra sembari berdiri lalu mengulurkan tangannya pada Nadine. Namun, wanita itu lebih memilih untuk bangkit sendiri dan berjalan lebih dulu ke mobil. Membuat Chandra kembali tersenyum pahit akan tindakan wanita itu. Masih aja nolak, Nad. Batinnya seraya berjalan di belakang wanita itu. Namun, mendadak wanita itu berhenti, membuatnya mau tidak mau ikut berhenti melangkahkan kakinya. Menatap punggung Nadine heran hingga wanita itu berbalik dan berkata, “bisa gak nanti jangan langsung pulang? G—”

“Iya, Nadine. Gue ajak lo keliling sekali, abis itu baru balik.” Potong Chandra seolah paham apa yang akan dikatakan oleh Nadine dan mendapat anggukan kepala oleh Nadine, mereka berdua kembali berjalan menuju mobil. Kali ini beriringan.

Sebenarnya, sejak tadi mereka makan berdua, Chandra mendapati Nadine yang berkali-kali berusaha untuk berbicara dengannya. Namun seolah ada yang menghalangi wanita itu. Mungkin ada yang ingin diceritakan olehnya namun ragu ingin memberitahukan padanya atau tidak.

Apapun itu, Chandra hanya perlu bersiap diri dan menjadi pendengar yang baik untuk Nadine, bukan?

Sesampainya mereka di dalam mobil, Nadine kembali diam dan menatap lurus ke jalanan saat Chandra menjalankan mobilnya. Hening. Tak ada yang bersuara, kecuali Chandra yang sesekali berbicara namun tak kunjung mendapat jawaban dari Nadine. Ia seperti berbicara sendiri, padahal memang selama bersama Nadine ia selalu berbicara sendiri.

Hingga..

Nadine menoleh kearahnya dan berkata dengan cepat, “Gue mau cerita tentang gue sama Jenar. Tapi, lo jangan pergi.”

Jelas Chandra terkejut, namun lebih memilih untuk menganggukkan kepalanya, menyetujui ucapan wanita itu. Kedua matanya tetap menatap lurus kearah jalanan, namun tidak dengan kedua telinganya yang tetap mendengar setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Hingga ia hanya dapat menyimpulkan satu hal, kenapa?

12.57 p.m

Chandra bersandar di pintu mobilnya bersama dengan Jenar. Mereka hanya terdiam, saling memandang langit malam. Setelah mengantar Nadine pulang, Chandra langsung menghubungi Jenar. Tidak mengatakan yang sebenarnya, hanya bilang bahwa dirinya ingin bertemu. Jenar tentu tidak menolak ajakan pria itu pun langsung datang ke tempat biasa mereka kumpul.

“Nadine cerita ke gue.” Ujar Chandra justru tidak membuat Jenar terkejut. Pria itu hanya diam dan terus menghisap rokok ditangannya. “Kenapa harus rahasia gini, Jen?”

“Nadine yang mau. Gue cuma ngikutin apa yang dia mau aja.”

“Tapi, gue masih gak ngerti kenapa harus di rahasiain kaya gini?”

Jenar terkekeh pelan dan menatap Chandra. “Nadine malu.” Ujarnya lalu melempar putung rokoknya, menginjaknya hingga mati. “Padahal seharusnya gue yang malu, kan?”

Sungguh, Chandra tak habis pikir dengan Jenar. Dengan Nadine juga. Jika ditanya siapa yang aneh, maka Chandra akan menjawab dirinya.