Asking You.

Jika kalian pikir aku akan dengan mudah mendapatkan izin dari Kaisar, maka kalian salah. Sulit. Sangat sulit.

Aku tidak mengerti dengan laki-laki itu, mengapa ia selalu membatasi segala ruang yang aku miliki? Seolah-olah, aku harus mendapat izin darinya.

Maka disinilah kami saat ini. Belakang Sekolah, dengan keadaan Kaisar mengenggam tanganku erat—atau kalian bisa menyebutnya kasar.

“Mau ngapain?”

Aku meringis pelan saat Kaisar menarik tanganku agar mendekat dengannya, “Mau nonton, Sar.”

“Kenapa harus sama Satria?”

Terdengar seperti cemburu, namun kalian salah. Kaisar lebih terdengar seperti..

Laki-laki brengsek. Aku benar-benar membencinya.

Satria? Entahlah dimana laki-laki itu yang kemarin malam mengatakan akan membantunya izin dengan Kaisar, tapi keberadaannya saja tidak diketahui.

Satria takut dengan Kaisar.

“Jawab, Sil.”

“Ya, mau nonton, Sar. Lagi ini bukan pertama kali kan gue sama Satria nonton bareng. Dari dulu jug—”

“Dulu. Sekarang nggak, Sil. Gue nggak izinin lo.”

Lucu, bukan? Laki-laki ini memang terlihat pintar melucu, ya?

Aku tidak membutuhkan izin dari Kaisar sebenarnya. Aku bisa saja pergi tanpa diketahui laki-laki itu, tapi saat pelajaran berlangsung, Satria membisikkan sesuatu padaku, “Izin dulu ya, Sil. Gue nggak mau lo kenapa-napa.”

Awalnya aku biasa saja, tapi semakin lama itu semakin menganggu pikiranku. Antara memilih izin pada Kaisar yang notabenenya bukan siapa-siapaku, atau tidak memberitahunya dan kemungkinan mendapat konsekuensi besar darinya.

Maka aku memilih opsi pertama. Izin pada Kaisar.

Dasar pengecut.

Kaisar menatapku tajam, aku dapat merasakan rematan ditanganku olehnya. Aku tidak suka jika Kaisar berbuat kasae seperti ini. “Sar, apaan sih.”

Aku menatap Kaisar marah, dan berusaha melepas genggaman tangannya. Ini benar terasa sakit. “Gue lepasin, tapi lo nggak nonton sama Satria.”

“Hah?”

“Pilih gue lepasin dan nggak nonton sama Satria, atau gue bakal tetep kaya gini, Sil.”

Kaisar memang laki-lakibrengsek. “Iya, gue nggak jadi pergi sama Satria. Sekarang, lepasin!'

Kaisar tidak kunjung melepas tanganku, membuatku mau tidak mau memberikan tatapan memohon. Aku cukup pandai berakting. Kaisar akhirnya melepaskan genggamannya. Masih menatapku dengan tajam dan dingin. Tatapan yang paling ku benci. Kaisar selalu berusaha terlihat menyeramkan, padahal ia.. ya, kalian bisa menebaknya sendiri.

“Gue nggak mau nemuin lo sama Satria diem-diem pergi nonton ya, kaya dulu pergi ke toko buku nggak bilang gue.” Aku mengangguk dengan cepat. Jika mengingat hari itu, aku rasa aku memilih untuk tidak pergi dengan Satria.

Sekali lagi Kaisar menatapku sebelum membalikkan tubuhnya meninggalkanku sendiri disini. Tapi ada hal yang perlu ku tanyakan padanya. Hal yang sangat menganjal dipikiranku. Sejak semalam.

“Kaisar!” Ia kembali berbalik namun tetap berdiri ditempatnya, tak berusaha untuk melangkah maju kearahku. Dia hanya terdiam disana dan itu adalah bagus. Aku tidak ingin berdekatan dengannya saat menanyakan hal ini.

“Di kamar gue,” Aku berusaha membaca raut wajah Kaisar saat ini, tapi wajahnya justru tetap datar seolah ia tidak peduli dengan apa yang akan aku ucapkan. “Lo taruh kamera, kan?”

Tetap datar. Ia terlihat tidak terusik dengan pertanyaanku hingga langkahnya membawa dirinya mendekatiku. Bagai seeker predator yang siap memangsa korbannya. Ya, aku adalah korbannya.

“Lo tau?”

“Hah?” Kaisar tersenyum saat berhenti tepat di depanku. “Lo baru tau gue taruh kamera di kamar lo?”

Maaf? Tapi apakah aku salah mendengar?

Kaisar,

Ia mengakuinya.

Kaisar mengakui bahwa dirinya menaruh kamera di kamarku. Membuatku terdiam dan menatapnya terkejut. “Maksud lo apa, Sar?” “Berapa yang lo temuin?”

Aku terdiam lalu menjawab pertanyaannya dengan pelan, “Empat.”

“Ding! Salah, gue nggak naruh empat kamera, Sil.” Kaisar tersenyum. Catat, Kaisar tersenyum padaku. Lalu ia menepuk kepalaku dengan pelan, lalu menjadi elusan dikepalaku. Aku takut.

“Nanti sampe di rumah, di itung lagi ya ada berapa.”

Sial, jadi tidak hanya ada empat saja ia menaruh kamera di kamarku?

Mesum.

Kaisar pergi meninggalkan aku yang masih bertanya-tanya apa maksud darinya menaruh kamera di kamarku? Lalu mengapa ia me jawab pertanyaanku tanpa mengelak? Seperti ia sudah siap atau membiarkanku tahu bahwa ia menaruh kamera di kamar.

Apapun itu tujuan Kaisar, laki-laki itu tetap saja gila dimataku.

Dan juga,

menyeramkan.