Before

Nadine menatap Ayahnya marah lalu beralih menatap wanita yang tengah duduk di samping Ayahnya tersebut. Walaupun dengan senyuman manis atau apapun itu, Nadine tidak akan pernah luluh. Nadine benci mereka semua. Terutama wanita itu.

“Nadine gak pernah setuju pokoknya.” Gertaknya menatap nyalang pada Ayahnya. Dada bergemuruh marah, bergeloka meminta untuk dikeluarkan.

“Ayah gak minta persetujuan kamu. Ayah cuma mau kamu kesini buat denger kabar bahagia ini aja, kok.”

Nadine berdecih seolah mengejek Ayahnya lalu kembali menatap marah seolah kedua matanya tersebut dapat menusuk. “Terus maksud Ayah apa kaya gitu? Mau pamer sama Nadine? Nadine gak peduli, Ayah! Nadine gak pernah setuju pokoknya!” Teriaknya lalu berlari menuju kamarnya.

Memilih untuk mengurung diri tempat yang paling aman baginya sekarang. Namun sepertinya hari ini bukanlah hari keberuntungan Nadine. Ayahnya masuk ke dalam kamarnya dengan mudah. Menatapnya tajam.

“Ayah gak pernah ya, Nadine, ngajarin kamu teriak kaya gitu di depan tamu!”

Nadine membuang muka, tidak sudi menatap wajah pria yang selama ini ia banggakan—hanya saat ia duduk dibangku sekolah dasar saja sebenarnya. Saat ini, ia sangat membenci pria itu. “Perempuan kaya gitu pantes dibilang tamu, Ayah?!” Balas Nadine berteriak. “Perusak rumah tangga orang kali ah.” Guman Nadine masih dapat didengar jelas oleh Ayahnya.

Tanpa Nadine sadari, tangan Ayahnya melayang menuju pipi kanannya. Meninggalkan bekas merah diwajah. “Nadine mulut kamu dijaga ya! Ayah bener-bener gak pernah ngajarin kamu kaya gini. Ini akibatnya kalau kamu lebih milih bareng sama Bunda kamu terus!”

“Bunda mau dibawa juga, yah? Bunda udah dikubur masih disalahin loh. Gila kali ya..” Nadine tertawa mengejek dengan kedua mata merah menahan nangis. Ayahnya selalu seperti ini.

“Sekarang Nadine gak peduli Ayah, kalo Ayah mau nikah sama pelacur itu terserah! Ayah kan gak pernah mau dengerin apa kata Nadine selama ini. Maunya didengerin aja!”

Ayahnya menahan kedua tangannya agar tidak kembali melayangkan tamparan pada wajah anak tersayangnya tersebut. Hingga seorang wanita masuk ke dalam kamarnya dan menahan tangan Ayahnya, memberikannya beberapa kali usapan menenangkan. Membuat Nadine terdecih, mengejek.

“Jangan dipukul, mas. Diomongin pelan-pelan aja.” Bisik wanita itu pada Ayahnya, namun Nadine dapat mendengarnya dengan jelas. Membuatnya semakin dibuat muak dan ingin mengumpat pada wanita itu.

“Gak usah ikut campur lo, anjing! Gara-gara lo keluarga gue jadi kaya gini! Dan gak usah sok baik lo busuk banget sumpah!”

“Nadine!”

“Udah, mas. Jangan dimarahin, ya. Ngomongnya pelan-pelan aja.” Bisik wanita itu kembali pada Ayahnya.

Nadine meringis mellihat interaksi kedua orang tersebut di depan wajahnya. Nadine muak sekali. Rasanya ingin sekali menarik rambut wanita itu.

Dengan segala kekesalan yang membuncah, Nadine menarik rambut wanita tersebut sembari berteriak, “Balikkin Bunda gue! Balikkin Bunda gue! Balikkin Bunda gue!”

Ayahnya menarik tubuhnya, berusaha melepaskan tangannya yang berada dirambut wanita tersebut, ditambah seseorang yang masuk ke dalam kamar Nadine turut membantu memisahkan mereka berdua. Dengan kencang, Ayahnya mendorong tubuh Nadine menjauhi wanitanya. Begitu juga, Jenar yang narik tubuh Nadine menjauhi Ibunya.

Nadine meringis pelan saat tubuhnya tak sengajak menabrak meja belajarnya, lalu memandang Ayahnya marah. Ia menyimpan dendam pada pria tua tersebut.

“Jenar, sejak kapan Nadine jadi berandalan kaya gini? Kamu ngawasin dia kan kalau di kampus?”

“Iya, Om. Aku awasin Nadine terus kok.”

Nadine dibuat terdiam mendengar Ayahnya mengatakan dirinya seorang berandalan. Haruskah ia tertawa sekarang? Ya, Nadine tertawa pelan hingga menjadi besar. Menertawakan dirinya, menertawakan Ayahnya dan juga kedua orang di samping pria tua itu. Hingga kedua matanya mengeluarkan setitik air mati yang turun berulang kali menjadi deras—menarik rambutnya kencang. Terdengar suara isakan tangis milik Nadine diseluruh penjuru kamar. Membuat ketiga orang yang berdiri dihadapannya terdiam. Tak ada satu pun yang berusaha mengenggamnya atau pun memeluk tubuhnya.

“Ayah, coba aja sekali dengerin Nadine. Nadine gak akan sekecewa ini sama Ayah. Sekali, yah.. sekali aja.” Nadine menatap Ayahnya sendu berurai air mata.

“Bunda butuh Ayah banget hari itu, tapi apa? Ayah malah milih pergi sama nih pelacur, kan? Padahal Bunda kesakitan banget. Rela nahan sakit cuman buat ngomong mau ketemu Ayah. Nadine dateng nemuin Ayah, tapi Ayah malah ngusir Nadine. Ayah bilang Bunda gak akan bisa bangun lagi, padahal hari itu Bunda bangun minta ketemu sama Ayah.” Nadine mengusap kedua matanya kasar.

Lalu beralih menunjuk wanita yang tengah berdiri di samping Ayahnya. “Semuanya gara-gara lo! Kalo lo gak dateng di keluarga gue, sekarang gue masih bisa meluk Bunda! Kalo lo juga gak ganggu Ayah gue, mungkin gue gak akan sebenci ini sama dia!” Teriaknya marah seraya menunjuk-nunjuk wanita tersebut yang telah berurai air mata juga.

Nadine beralih menatap Jenar yang hanya terdiam menatap Nadine prihatin. “Lo juga! Lo sama nyokap lo sama, anjing! Gak jauh beda sama-sama benalu! Gue kecewa banget sama lo. Gue kecewa banget.”

Nadine mendorong pundak Ayahnya berulang kali, “Ayah tau Nadine suka sama Jenar, seharusnya Ayah ngalah! Bukannya malah semakin egois! Sekarang Nadine gak peduli, Ayah mau nikah sama nih pelacur atau gak, terserah Ayah. Nadine gak peduli. Tapi, jangan anggap Nadine anak Ayah lagi.”

“Ayah akan tetap menikah.”

Untuk segala kebencian yang ada di dunia ini, Nadine akan menaruh semua kebenciannya pada Ayahnya. Pria yang paling brengsek yang pernah ia kenal.