Chandra
Chandra tidak pernah berharap lebih dengan kehidupan yang dijalaninya sebenarnya. Jika kalian bertanya, apakah ia bersyukur mendapatkan kehidupannya yang sekarang? Jawabannya, sangat. Chandra sangat bersyukur.
Ia memiliki kedua orang tua yang utuh dan selalu mendukungnya, selalu menyanyanginya. Ia selalu mendapatkan apapun yang diinginkannya dengan mudah tanpa bersusah payah. Menginginkan mainan, Ayahnya akan langsung memberikannya. Ingin suatu makanan, saat itu juga makanannya sampai dihadapannya. Ia ingin sebuah motor atau mobil pun dia dapatkan dengan mudah. Bahkan ketika ia menginginkan seorang wanita di sekolahnya, ia akan mendapatkannya dengan mudah hanya dengan satu kali percobaan pendekatan. Segalanya ia dapatkan dengan mudah. Tanpa sadar, ia menganggap mudah semua hal.
Sampai usianya 18 tahun dan mulai masuk ke dalam dunia perkuliahan. Ia bertemu dengan seorang gadis bernama, Nadine Chalondra. Saat itu ia mengetahui satu hal, bahwa tidak semua keinginannya dapat tercapai dengan mudah seperti dia dapatkan dalam sekejap—Nadine sebagai pengecualian.
Chandra harus berbicara sepanjang waktu di depan gadis itu, berusaha menarik perhatiannya, walaupun hasilnya selalu nihil. Tidak pernah berhasil. Nadine selayaknya kulkas sepuluh pintu, sangat dingin. Hampir semua orang tahu bahwa dirinya menaruh perasaan pada Nadine, hingga ia juga sering menyatakan perasaannya pada gadis itu. Namun selalu mendapat penolakan.
Chandra tidak pernah berhenti.
Ia kembali mencoba berulang kali. Menemaninya saat di Perpustakaan, mengajaknya makan bersama, mengantarnya pulang, bahkan Chandra rela melakukan banyak hal lainnya demi Nadine. Yang Chandra tanpa sadari adalah, ia tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Hingga ia yakin, bahwa Nadine memang anugerah yang dikirimkan oleh Tuhan padanya. Ia seolah melihat masa depan jika bersama Nadine. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia berpikir untuk menuju jenjang yang serius. Ia ingin menikah dengan Nadine.
Malam itu, Chandra masih mengingat jelas bagaimana tubuh Nadine menggigil kedinginan. Lantas Chandra memberi jaket miliknya bertujuan agar gadis itu tidak kedinginan lagi. Tapi tahu apa yang Nadine lakukan? Ia malah membuang jaketnya dan pergi meninggalkan yang mematung tidak tahu harus melakukan apa.
Besoknya, gadis itu pergi rapat dan yang ia ketahui akan selesai dini hari. Sebenarnya Chandra sudah berjaga-jaga takut Nadine akan selesai rapat pukul 2 atau 3 pagi, dimana itu sangatlah rawan untuk seorang gadis sepertinya jalan sendiri. Ia menunggu di tempat biasa ia berkumpulnya bersama Juan, Raka dan juga Jenar sembari menahan kantuk. Sampai tanpa sadar ia sudah terlelap saat itu—melupakan suatu hal yang ia tunggu-tunggu.
Brisa menghubungi berkali-kali dan meminta untuk menjemlut Nadine karena gadis itu sangat keras kepala tidak ingin diantar pulang oleh mahasiswa lain. Lantas Chandra mengendarai motornya menuju Nadine saat itu.
Dan benar saja, ia menemukan Nadine yang digoda oleh dua orang mabuk. Beberapa kali kedua pria itu berusaha menyentuh Nadine walaupun Nadine juga berusaha menghindar. Ia memberhentikan motornya dan langsung memberikan pukulan pada kedua orang tersebut tanpa berpikir kembali bagaimana keadaan kedua orang tersebut esok hari.
Karena bagi Chandra yang terpenting adalah Nadine selamat.
Hari itu, Chandra mendengar kabar bahwa Bunda Nadine telah berpulang untuk selamanya. Saat itu juga Chandra mengendarai sepeda motornya menuju rumah gadis tersebut yang telah ramai banyak orang yang datang untuk berduka cita padanya.
Sejak hari pertama ia datang, ia tidak pernah meninggalkan Nadine seorang diri. Ia selalu berdiri di samping gadis itu. Dari hal kecil seperti, mengajaknya berbicara, memakaikannya sendal saat fokus gadis itu kembali hilang, atau mendorong sepiring nasi berisikan telur dadar, tak lupa ia juga beberapa kali mengendong tubuh gadis itu saat lemah dan saat tiba-tiba tak sadarkan diri. Tanpa Chandra sadari, rumah Nadine seperti rumah kedua baginya.
Chandra memastikan semua hal berjalan dengan baik. Nadine tersenyum adalah hal yang paling indah dan ia tunggu-tunggu. Setelah Seminggu berpulang Ibundanya, Chandra mengajak Nadine pergi ke Pantai berpikir mungkin Nadine akan menjadi lebih baik. Gadis itu seolah melupakan segala beban yang ia pikul dengan bermain dengan air laut walaupun hanya suara tertawa kecil atau senyuman kecil, Chandra sangat bersyukur karena Nadine dapat tersenyum kembali.
Memakan seafood bersama, walaupun beberapa kali gadis itu berusaha menahan tangis dihadapannya, beberapa kali juga gadis itu mengeluarkan isakan tangisan. Membuat seluruh perhatian tertuju pada mereka saat itu. Chandra tidak peduli semua orang menatapnya menuduh atau lainnya, karena Chandra hanya ingin berada disamping gadis itu. Chandra hanya ingin Nadine membutuhkannya.
Bersama Nadine menjadi kebiasaan yang tidak bisa Chandra tinggalkan. Tidak bertemu Nadine, rasanya seperti melakukan dosa besar baginya. Tidak menghubungi gadis itu seperti ia telah melalaikan kewajibannya. Nadine benar-benar menjadi dunianya.
Hari ini, setelah dirinya mengantarkan Nadine menuju rumah Ayahnya, Chandra memutuskan untuk membasuh tubuhnya—membersihkan tubuhnya dari keringat. Justru saat ia keluar dan memeriksa ponselnya, ia mendapat banyak pesan dari wanita itu—Nadine. Bahkan, Nadine menghubunginya beberapa kali yang jelas sangat jarang wanita itu lakukan.
Tanpa banyak bicara, Chandra memakai pakaiannya dan bergerak menuju rumah Ayah Nadine. Berharap bahwa wanita itu baik-baik saja—karena hatinya mengatakan tidak.
Saat dirinya sampai di rumah tersebut, ia justru menemukan Nadine berjongkok di depan rumah, menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya. Tanpa berpikir panjang, Chandra memarkirkan mobilnya asal dan berlari menghampiri Nadine. “Nad!” Teriaknya membuat Nadine mengangkat kepalanya, menatap Chandra nanar dan langsung bangkit berlari kearahnya. Nadine merentangkan kedua tangannya dan memeluk pria tersebut. Menyembunyikan tangisannya. “Chan.. please bawa gue jauh dari sini.” Mohon Nadine membuat Chandra menarik tubuh wanita itu untuk berlari masuk ke dalam mobil sebelum menatap kearah Jenar yang hanya dapat berdiri di depan pintu rumah wanita tersebut.
Nadine kembali menutup wajahnya dengan kedua tangannya, menyembunyikan isakan tangisannya yang bahkan Chandra dapat dengar dengan jelas. Membuat dirinya khawatir—sangat khawatir.
Pria itu melajukan mobilnya tidak tahu arah, intinya ia akan meninggalkan rumah tersebut karena ia yakin ada yang salah disana sehingga membuat Nadine seperti saat ini. Ia memberhentikan mobilnya di bahu jalan, lalu menarik tubuh Nadine ke dalam dekapannya erat. “Ada gue, Nad. Lo punya gue. Gue disini.” Bisiknya justru membuat wanita itu semakin terisak.
Nadine mengenggam baju pria itu erat, meremasnya seolah menyalurkan rasa kesalnya disana. “Gue gak tau lagi harus gimana. Gue nyerah. Gue nyerah, Chan..”
Chandra menepuk punggung wanita tersebut lembut—menenangkan. “Lo gak boleh nyerah, Nadine. Lo punya gue. Gue gak akan pergi. Gue disini, Nad. Gue gak kemana-mana. Lo aman sama gue.” Nadine semakin menenggelamkan wajahnya di dada pria tersebut. Mengeluarkan segala emosi yang ia tahan sebelumnya. Mencurahkan segalanya.
Dan Chandra tahu, ia tidak akan kemana-mana.