Hari ke Sebelas ; Baju Robek.
Risa merapihkan buku-bukunya dan memasukkan beberapa barang yang dapat masuk ke dalam tasnya. Sedangkan Lana dan Zila, hanya dapat menatap Risa yang terlihat sangat bersemangat. Keduanya saling bertatapan lalu kembali menatap Risa. “Ketemu Galen lagi, Kath?” Risa mengangguk tanpa melihat kedua temannya tersebut.
Tangan Lana langsung melingkari lengan atas Risa, menyandarkan pipinya pada lengan wanita tersebut. “Gue kangen lo banget, Kath. Tapi, lo sekarang jalan mulu sama Galen. Tapi, gak apa-apa gue seneng lo jadi punya cowok sekarang.”
Risa tersenyum kecil saat Zila turut memeluk lengan atasnya, namun ia menoleh cepat pada Lana yang mencolek tangannya berulang kali lalu menunjuk ke arah depan pintu kelasnya. Galen.
“Udah dijemput bebeb Galen tuh, Kath. Bye! Nanti malem pulangnya ke Apartment gue, ya?” Risa mengangguk kecil. “Nanti aku telfon kamu ya, Lan.”
“Sip! Bye, Kath! Semoga lancar ngedate yang kesekian kalinya.” Ucapan Lana membuat Zila tertawa keras. Wanita itu menarik tubuh Risa ke dalam pelukannya seraya berkata, “Bye, Kath! Jangan lupa pake pengaman kalo mau main sam—Awh! Sakit, Lana!”
“Mulut lo dijaga ya, Zila!”
“Kenapa sih, Lan? Kan safety first can be fun,” ujar Zila menaik turunkan alisnya menggoda Risa yang wajahnya sudah memerah malu. Sekali lagi, ia melambaikan tangannya pada Lana dan juga Zila sebelum menghampiri Galen yang berdiri di depan pintu kelasnya.
Pria itu tersenyum pada Risa seraya mengacak rambutnya. Kedua matanya bertemu dengan kedua teman Risa, Lana dan Zila, menatap keduanya datar lalu merangkul pundak Risa dan beranjak dari sana.
Galen menatap Risa yang berada di sampingnya seraya tangannya mengusap pipi wanita tersebut. “Udah makan?”
“Belum.”
Galen mengernyitkan keningnya, “Kok? Katanya tadi dichat udah makan, Risa.” Wanita itu seolah tertangkap basah hanya dapat tersenyum pada Galen. Membuat pria menarik pipinya gemas. “Yaudah, cari makan aja, ya?” Risa mengangguk.
Keduanya masuk ke dalam mobil pria tersebut, saat ia dan Risa tengah mengenakan seatbelt, seseorang mengetuk kaca mobilnya, Hatzel. Pria tersebut terlihat sangat panik, lantas Galen membuka kaca mobilnya dengan khawatir. “Kenap—”
“Gal, cek ke rumah deh sekarang! Gue lupa udah matiin kompor atau belom tadi!”
Galen berdecak kesal. “Lo bego banget sih, Zel! Kalo rumah meledak gimana?!”
“Makanya, tolong cek sekarang! Lo mau balik, kan?” tanya Hatzel, namun kedua matanya menemukan sosok Risa pun tersenyum kecil. “Eh, Risa, maaf ya ganggu waktunya sama Galen. Tapi, ini genting banget gue lupa sama kompor tadi pas berangkat.”
Galen menatap Hatzel kesal karena kecerobohan pria tersebut. “Yaudah, gue balik! Besok kalo mau keluar liat dulu, Zel!”
“Iya, sorry. Makasih ya, Ris, Galenku tersayang.”
Hatzel pergi, menyisakan Galen yang menoleh ke arah Risa tidak enak. “Ke rumah gue gak apa-apa, kan? Takut beneran kompor gak dimatiin sama Azel.” Risa mengangguk mengerti.
“Gak apa-apa, kok. Kalo mau nanti aku numpang masak di rumah kamu aja.” Ucapan Risa membuat Galen menganggukkan kepalanya dan menjalan mobilnya dengan cepat menuju rumahnya. Jantungnya cukup berdegup kencang—takut jika Hatzel benar belum mematikan kompor.
Galen menghela nafasnya saat menemukan bahwa ternyata kompor di rumahnya telah mati. Tidak seperti yang ditakutkan oleh Hatzel. Ia memandang Risa saat menemukan wanita tersebut tengah duduk di meja makan. “Ternyata udah mati,” ujar Galen pada Risa.
Wanita tersebut tersenyum kecil dan bangkit dari atas kursi meja makan mendekati Galen. “Berarti makan di sini atau di luar? Kalo di sini, nanti aku yang masakkin.”
Galen terdiam. Ia berjalan menuju lemari es, membuka lebar-lebar, lalu tangannya seolah menyiratkan Risa agar mendekatinya. Menyuruh wanita tersebut untuk melihat sendiri isi lemari esnya. “Bahannya ada ini aja. Ada yang bisa lo masak dari sini?”
Risa menganggukkan kepalanya dan menoleh ke arah Galen dengan senyum kecilnya. “Aku masak nasi goreng, gak apa-apa, kan?” Galen mengangguk. “Makan apa aja gue suka, kok. Apa lagi hasil buatan lo.” Galen mengurai helaian rambut Risa saat wanita itu melihat isi lemari es milik Galen. Hanya terdapat empat butir telur sebenarnya yang Risa lihat, maka itu ia memutuskan membuat nasi goreng. Namun, tangan Galen yang berada di kepalanya ini membuat otaknya seolah berhenti bekerja.
Ia tiba-tiba lupa ingin melakukan apa. Bahkan, tangannya untuk meraih dia butir telur pun rasanya sangat susah. Risa merasa gugup berada sedekat ini dengan Galen. Seolah mengerti dengan apa yang Risa alami, Galen tersenyum kecil lalu menjauhkan tangannya dari kepala wanitanya. Membiarkan Risa memasak dengan tenang.
Namun, sepertinya Galen tidak dapat mewujudkan ucapannya, karena pada kenyataannya, Galen berdiri di samping Risa. Menatap wanitanya yang tengah menggoreng nasi tersebut. Membuat Risa beberapa kali salah gerakkan, ia sangat gugup karena mata pria tersebut mengawasi pergerakkannya.
Risa ingin sekali menyuruh Galen untuk duduk saja, dan membiarkannya membuat nasi gorengan dengan tenang, namun ia merasa tidak enak. Akhirnya, dari awal ia membuat nasi goreng hingga selesai pria itu berada di sampingnya. Ia juga langsung mengambil kedua piring di tangannya dan menaruhnya di atas meja. Tak lupa, Galen juga mengambil dua buah gelas berisikan air putih untuknya dan juga Risa.
Keduanya makan dalam diam—walaupun Galen beberapa kali menatap lekat ke arah Risa, membuat wanita itu menundukkan kepalanya menyembunyikan wajahnya yang memerah malu.
Setelah makanan keduanya habis, Galen langsung membawa kedua piring tersebut dan mencucinya. Membuat Risa langsung menarik pakaian Galen secara spontan, menahan Galen agar ia mencuci piring keduanya.
Tapi, Risa salah menarik baju Galen, karena baju pria tersebut langsung robek. Keduanya terdiam dan saling menatap satu sama lain. Risa melirik ke arah bagian tubuh Galen yang sedikit terbuka tersebut. “Maaf! Aku gak sengaja!” pekik Risa menatap Galen merasa bersalah.
Pria itu menggelengkan kepalanya berulang kali, seolah mengatakan pada Risa bahwa dirinya tidak apa-apa. Namun, Risa merasa tidak enak pada pria itu dan menarik baju Galen. Meminta pria itu untuk melepaskannya. “Kamu punya alat jahit gak? Nanti aku jahit. Aku bisa jahitin kok. Jadi, bajunya dibuka aja, ya?” tanya Risa dengan nada panik.
Sedangkan Galen, ia terdiam lama. Apa lagi saat Risa menarik ujung bajunya ke atas dan tangan wanita itu mengenai perutnya. Galen terdiam. Tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan, bajunya telah di lepaskan oleh Risa. Dengan gelagapan, Galen berkata, “Aaa-ada di kamar gue, seben—”
“Ayok kita ke kamar kamu, Gal! Maaf, aku gak sengaja. Aku kalo jahit cepet kok.”
Risa menarik tangan Galen agar pria itu menunjukkan letak kamarnya dimana. Ketika sampai di depan kamar pria itu, tanpa berpikir apapun Risa membukanya dan duduk di atas ranjang Galen dengan baju pria tersebut berada di tangannya.
Galen meraih alat jahitnya yang berada di dalam laci mejanya. Memberikannya kepada Risa, tubuhnya tidak terbalut apapun kecuali celana jeansnya. Ia melipat kedua tangannya di dada saat Risa dengan cepat memasukkan benang pada jarum, dan mulai menjahit bajunya. Risa terlihat sangat takut dan juga panik. Membuat Galen merasa bersalah, padahal wanita itu tidak perlu merasa panik apa lagi merasa takut padanya.
Lagi pula, baju itu bisa dijahit kapan pun. Galen bisa mengganti pakaiannya karena ia sedang berada di dalam rumahnya sendiri. Mungkin Risa merasa panik jadi wanita itu tidak memikirkan hal tersebut dan langsung ingin menjahitnya. Ia tertawa kecil menatap Risa.
“Udah! Ah, maaf ya, Galen. Aku gak sengaja beneran de—”
“Risa?” Risa yang tengah mengulurkan baju pria tersebut menariknya kembali ke dalam pelukannya. Apa lagi saat ia menyadari bahwa pria itu tengah bertelanjang dada. Ia meneguk ludahnya susah payah lalu menatap Galen.
“Padahal gue masih punya banyak baju. Jadi, gak perlu cepet buat dijahit. Tapi, makasih ya, manis.” Galen mengusap rambut Risa seraya tertawa renyah mengingat kepanikan Risa.
“Bajunya udah balik lagi kaya awal. Tapi, gue gak bisa balik kaya awal lagi. Gimana dong?”
Saat itu, Risa hanya dapat terdiam dan menutup mulutnya. Meremat baju Galen yang berada di dekapannya dengan erat. Menatap kedua mata Galen dengan seksama. Ia mengigit bibir bawahnya saat menyadari bahwa ia hampir melakukan sebuah kesalahan.
“Risa? Jadi, gimana?”