Hari ke Sebelas ; Ketemu Nenek.
Risa menegakkan tubuhnya, masih terbalut oleh selimut di depan dadanya. Ia menatap Galen yang berada di sampingnya, pria itu menyingkirkan helaian rambut seraya tersenyum kecil. “Galen, tas aku ada dimana ya?” tanya Risa saat tak menemukan letak tasnya berada. Sedangkan Galen bangkit dan meraih tas Risa yang sebelumnya ia taruh dalam lemari pakaiannya.
Risa meraih tasnya dan merogoh dalam tas, mencari keberadaan ponselnya. Saat melihat isinya, ia melebarkan kedua matanya—panik. Terdapat banyak telepon dan pesan dari teman-temannya. Bertanya dimana keberadaannya.
Hingga ponselnya kembali bergetar tanda telepon masuk yang sebelumnya ia menggunakan nada getar. Risa mengangkat telepon dari Lana tersebut, “Halo, Lana?”
“Woi, Kath! Lo dimana? Sama Galen?! Ih, sumpah kita semua cariin lo! Sih Galen juga gak bisa dihubungin!”
Risa menatap Galen yang terlihat penasaran tersebut. “Iya, Lana. Aku masih sama Galen, ada apa ya?”
“Kath! Lo pasti kaget dengernya! Nenek lo di sini, an—”
“Kath! Kita bilang lo lagi survey buat praktikum, terus hp lo lowbat, anjir! Lagi Nenek lo kenapa tiba-tiba bisa dateng ke sini, sih?!” pekik Kana merebut ponsel Lana.
Risa loncat dari atas ranjang Galen, melupakan bahwa ia hanya mengenakan kaus kebesaran milik Galen. Ia rapihkan tasnya dan mengenakannya dengan terburu-buru. “Terus, Nenek aku dimana sekarang?”
“Di Kosan lo! Nenek lo mau nunggu di Kosan katanya, padahal gue suruh ke Apartment gue aja biar lo aman. Aduh, Kath! Gue panik banget! Sekarang dimana?”
“Rumahnya Galen,” ujar Risa seraya melirik ke arah Galen. Ia menyiratkan pada Galen untuk mengantarnya pulang, dan tanpa sadar ia membuka pintu kamar Galen, melupakan bahwa ia masih mengenakan pakaian pria tersebut. Sontak, Galen menarik tangan Risa, menghalau wanita itu keluar dari dalam kamarnya. “Galen, Nenek aku nunggu di Kosan. Kalo gak cepet yang ada nanti Nenek cur—”
“Iya, tau. Tapi, lo pake celana dulu, Ris.”
Terdengar gelak tawa di sebrang sana. Lana dan Kana mendengar ucapannya dengan Galen tadi, membuatnya meringis malu menatap Galen. “Pake celana dulu, Kath. Astaga, bisa-bisanya panik sampe lupa belom pake celana,” gelak tawa Lana dan Kana semakin kencang.
“Kath, kasih hpnya ke Galen deh, mau ngomong.”
Risa memberikan ponselnya pada Galen, dan langsung diterima oleh pria tersebut. “Kenapa?”
“Anterin Kath balik buruan! Neneknya ada di Kosan! Siap—”
“Siap-siap kepala lo di gorok sama Neneknya Kath, Galen!! Mampus lo!” teriak Kana di sebrang sana dengan kencang. Sedangkan, Galen menjauhkan ponselnya dan memberikannya pada Risa.
“Lana, Kana, kalo gitu aku siap-siap dulu ya takut Nenek nunggu kelamaan,” ujar Risa.
“Iya, Kath. Semangat ya, semoga Nenek lo gak marah. Bye!”
Risa menyimpan ponselnya ke dalam tas lalu menatap Galen tidak enak, menggaruk tengkuknya canggung seraya memandang kedua kakinya. Sementara itu, Galen bergerak mengambil pakaian Risa dan menyerahkannya pada wanita tersebut. “Baju lo. Ganti di sini aja, gue tunggu luar, ya?” Galen mengacak rambutnya lalu beranjak dari sana. Meninggalkan Risa yang memeluk pakaiannya, memikirkan apa yang Neneknya akan lakukan nanti.
Selamat, Risa.
Risa membuka seatbeltnya dengan tergesa-gesa, ia menoleh ke arah Galen dengan panik. “Galen, makasih ya udah anterin. Aku langsung keluar, ya? Dah!” pamit Risa dengan nada panik. Wanita tersebut tidak menunggu ucapan Galen selanjutnya dan langsung masuk ke dalam Kosannya.
Terlihat Sang Nenek tengah duduk di depan Kosannya. Kedua matanya bertemu dengan Sang Nenek pun berteriak senang, “Nek!”
“Kamu kemana, Risa? Nenek nunggu di sini dari tadi,” ucap Sang Nenek seraya menarik tubuh Risa dalam dekapannya. Risa pun ikut memeluk tubuh Sang Nenek—penuh kerinduan. “Nenek, kok gak kabarin Risa kalo mau ke sini?”
“Nenek cuma sebentar aja, kok. Cuma mau mampir liat kamu, Ris, sekalian angkut beras ke sini.” Risa mengangguk paham. Namun, seakan lupa dengan satu hal, “Ini siapa, Risa?”
Kedua matanya terbelalak saat mencoba menjauh dari tubuh Sang Nenek, berbalik dan bertemu dengan sosok Galen yang tengah tersenyum padanya dan juga Sang Nenek. Dengan gelapan, Risa berucap, “Ini teme—”
“Saya Galen, Nek. Pacarnya Risa,” potong Galen seraya mengulurkan tangannya, bersalaman pada Sang Nenek sebagai tanda kesopanan.
Jantungnya berdegup kencang mendengar ucapan Galen. Menunggu reaksi Sang Nenek dengan waspada. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun, hanya terdiam menatap Galen. Hingga kedua ujung bibirnya tertarik, Neneknya tersenyum pada Galen seraya berkata, “Wah, ganteng ya, Risa, pacar kamu..”
Neneknya menoleh ke arah Risa dengan senyuman yang sangat Risa pahami. Ia ikut tersenyum pada Neneknya lalu menoleh ke arah Galen dengan senyum kecil. “Nenek udah ketemu kamu, Risa. Jadi, Nenek pulang, ya.”
“Eh? Nenek gak nginep di sini?” Neneknya menggelengkan kepala. “Kang Ari, nungguin Nenek dari tadi. Kasian.”
“Tapi, udah malem, Nek.”
“Biasanya juga pagi buta, Risa. Kamu makan yang banyak, ya? Kurus gini, Nenek jadi khawatir,” ucap Sang Nenek seraya memijat tangan Risa dengan lembut. Senyumnya tidak menghilang saat menatap wajah Sang Cucu. “Nenek, pulang, ya?” Risa memberengut sedih lalu memeluk Neneknya erat.
Sedangkan Galen, hanya terdiam menatap keduanya dengan senyum kecilnya. Hingga pandangannya Sang Nenek beralih pada Galen. Neneknya tersenyum teduh padanya seraya meraih jemarinya, memijatnya perlahan dan berucap, “Jagain, Risa, ya? Risa baru ngerasain ngerantau, jadi dia gak punya siapa-siapa buat jagain dia. Nenek minta tolong, ya.” Galen mengangguk dan senyum lebar.
Keduanya mengantar Sang Nenek hingga ke depan Kosan Risa, hingga mobil yang ditumpangi mulai menjauhi tempatnya berdiri. Membuatnya merangkul pundak Risa dan mengusapnya perlahan saat ia mendengar Risa menangis pelan hingga berubah menjadi lebih kencang. Ia menarik tubuhnya dan mendekapnya erat.
Terkekeh pelan seraya mengusap rambutnya—berusaha menenangkannya. Ia mengecup puncak kepala Risa saat tubuh wanita tersebut semakin bergetar. Dengan sesegukkan, Risa berucap, “Kalo tadi aku angkat telfon Nenek lebih cepet, pasti ketemunya lebih lama.”
“Aku tidurnya terlalu kebo ya, Galen?” Pecah sudah tawa yang sejak tadi Galen tahan mendengar pertanyaan Risa. Membuat wanita tersebut memberengut kesal saat mendengar Galen yang menertawainya. “Udah nangisnya, ya? Besok ada kelas, kan?” Risa mengangguk seraya mengusap kedua matanya.
“Nanti sembab matanya.” Risa mengangguk cepat layaknya seorang anak kecil yang baru saja jatuh dari atas sepeda dan ditenangkan dengan iming-iming dibelikan sepotong es krim.
Galen mengacak rambutnya gemas lalu mengusap matanya dengan lembut. Mendekatkan wajahnya, mengamati wajah Risa yang terlihat bengkak saat ini. “Gue pulang sekarang, gak apa-apa?”
Risa mengangguk. “Gak apa-apa, Galen. Udah malem juga loh ini, serem di jalannya.” Galen mencubit pipi Risa gemas melihat wajah tersebut berusaha mengatur suaranya yang masih sesegukkan tersebut.
“Nanti telfon aja kalo ada apa-apa, biar gue bisa langsung ke sini.” Risa mengangguk lagi. Ia mendorong tubuh Galen pelan seraya berkata, “Yaudah, kamu pulang gih. Nanti kemaleman lebih serem loh jalannya.” Galen tersenyum lalu mengecup pipi Risa seraya berkata, “Good night, Risa! Bye! Mimpi indah, ya!” Galen mencubit pipinya lagi lalu beranjak dari sana.
Masuk ke dalam mobilnya, membuka kaca mobik seraya melambaikan tangannya pada Risa dengan senang. Mobil tersebut pun jalan menjauh hingga ia tidak dapat melihat mobil Galen lagi dalam pandangannya sehingga ia memutuskan untuk masuk ke dalam Kosannya.
Ia menarik nafasnya dalam-dalam saat kembali mengingat senyuman Sang Nenek. Ia sangat mengerti senyuman macam apa itu. Ia meneguk ludahnya saat merasa kerongkongannya terasa sangat kering. Ia melirik ponselnya saat mendapatkan sebuah pesan dari Sang Nenek.
Saat itu, Risa tahu. Tidak ada yang mulus dalam kehidupan ini. Risa terdiam dan memilih untuk membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Menatap langit kamarnya sendu.
Lagi.
Neneknya kembali melakukan hal ini padanya. Membuat Risa memejamkan kedua matanya, menahan segala rasa ingin marah. Risa harus kembali menahannya, atau
justru harus melepaskannya?