Hari Pertama; Sarapan Bareng.


Risa kembali berteriak di balik bantalnya, menggerakkan kakinya menendang udara sekitar dengan tendangan kecil. Ia akan makan bersama Galen hari ini. Cukup membuatnya sangat bersemangat.

Hingga suara deringan telepon membuat perhatiannya teralihkan, ia meraih ponselnya dan mengangkat panggilan tersebut. Ona.

“Kath? Nanti jam setengah 8 gue jemput, ya!”

Risa meringis melupakan bahwa dirinya selalu berangkat bersama dengan Ona. Mungkin, karena sudah sering bersama Ona sampai lupa jika semalam ia sudah bilang akan berangkat bersama dengan Galen. “Ona, maaf. Aku hari ini dijemput sama Galen.”

“Ohiya! Gue lupa, Kath! Kebiasaan ih!” teriak Ona di sebrang sana lalu tertawa keras. “Dia jemput lo jam berapa?”

Risa tersenyum kecil. “Dia bilang mau kesini jam 6, mau ngajak makan juga.”

“Udah langsung makan bareng?”

Risa bergumam, menatap pantulan dirinya di cermin lalu berkata, “Ona, aku malu deh mau ketemu dia lagi. Apa aku langsung berangkat sendiri aja, ya?”

“Lo mau kabur gitu maksudnya?”

“Iya.”

“Dasar. Lo malu banget ya, Kath? Gue bisa aja jemput lo sekarang banget, tapi jatohnya kaya main tarik-ulur sama dia. Kasian.” Ona menghela nafasnya di sebrang sana. “Walaupun emang dia deserve sih lo gituin, tapi kasian. Makanya, kemaren ditanya lo siap gak kalo tiba-tiba harus ketemu dia setiap hari? Karna keliatannya tuh cowok mau serius sama lo.”

Risa duduk di atas ranjang, “Aku gak tau, Na. Menurut kamu, kalo aku deket sama dia gimana?”

“Ya, gak apa-apa sih. Lumayan ganteng. Terus nih ya, Kath, kayanya orang kaya sih.” Ona tertawa keras membuat Risa ikut tersenyum lebar mendengar suara tawa sahabatnya. “Bercanda. Tapi, menurut gue sih dia oke, Kath. Paling masalahnya satu sih,”

“Nenek sama Kakek lo gimana kalo tau lo deket sama cowok? Mereka bakal oke?”

Ah ya, Risa lupa jika Nenek dan Kakeknya melarang dirinya untuk dekat dengan seorang pria di sini. Menurut Neneknya, tak ada pria yang dapat dipercaya, begitupun juga Kakeknya yang sangat melarangnya dekat dengan seorang pria. Membuat Risa kembali ragu untuk merespons Galen. Takut jikalau Nenek dan Kakeknya tahu. “Kath? Kath?”

“Kenapa, Na?”

“Kalo lo beneran suka sama dia, gue sama yang lain bakal bantuin buat ngomong sama Nenek lo. Tenang aja, gue bakal bantuin jelasin kalo tuh cowok baik, tapi gue mau liat dulu sebulan ini perlakuan dia ke lo gimana. Kalo ternyata ga sesuai sama yang kita kira, lo siap tinggalin dia ya, Kath?”

Risa mengangguk pelan walaupun tahu jika Ona tidak dapat melihatnya mengangguk padanya. Ia mengerti maksud Ona. Jika Galen bukanlah pria baik, Risa harus menjauh dari pria itu. Bukan baik dari mata teman-temannya, tapi dari matanya sendiri. Jadi, Risa harus mulai melihat apakah Galen orang yang tepat untuk dekat dengannya atau tidak. Pria yang tepat untuk dikenalkan pada Nenek dan Kakeknya atau tidak.

“Tapi, bukannya lo udah dijodohin, ya?”

Dan Risa lupa akan hal itu.


Galen tersenyum saat mendapati bangunan kosan Risa mulai terlihat dari sini, ia memberhentikan mobilnya tepat di depannya lalu menghubungi wanita itu. Hingga senyumnya semakin lebar melihat sosok Risa berdiri di balik pintu gerbang, mengernyit menatap mobilnya.

Risa berdiri di samping mobil Galen, membuat pria membuka kaca mobil dan menyapa wanitanya. “Pagi! Masuk. Mau langsung cari makan, kan?”

Risa menggaruk tengkuknya canggung melirik kearah pintu gerbang dan kembali melirik ke arah Galen. “Kita mau cari sarapan sekarang?”

Galen mengangguk. “Iya, ayok masuk.”

“Aku ambil tas dulu.” Lantas, Risa kembali masuk ke dalam kosannya, meraih semua barang yang harus ia bawa dan kembali ke depan setelah mengunci semuanya ia berlari kecil menghampiri mobil Galen. Membukanya dan duduk di samping pria itu.

Memasang seatbeltnya terburu-buru, sementara kedua mata pria itu mengamati setiap pergerakkan kecilnya hingga Risa menoleh kearahnya dan tersenyum kecil. “Udah.”

“Udah?” Risa mengangguk.

“Suka makan bubur, kan?” Risa mengangguk. “Kamu mau makan bubur?”

“Gue biasanya gak sarapan sih, tapi pengen makan bubur aja. Lo gak apa-apa kan kalo makan bubur?”

“Gak apa-apa, kok.” Galen mengelus pipinya dengan ibu jarinya sembari tersenyum kecil pada Risa, menepuk puncak kepalanya lalu kembali menegakkan tubuhnya seraya menatap lurus, senyumnya masih tak hilang disana membuat Risa menatap Galen heran karena pria itu tak kunjung menjalankan mobilnya.

“Eh, kenapa? Muka aku ada yang aneh, ya?” Galen terkekeh melihat Risa yang mengusap pipinya seraya melirik sekilas dan kembali mengusap pipinya.

Galen menggelengkan kepalanya, dan menyandarkan tubuhnya—masih dengan menatap Risa. “Cuman kagum aja, kok ada orang secantik lo ya.”

Semburat merah muncul di wajah Risa, ia memalingkan wajahnya menghadap kaca mobil—tidak mau menatap Galen yang tengah tersenyum padanya. Galen mengacak rambut Risa seraya tertawa renyah dan memutuskan menjalankan mobilnya menjauhi bangunan kos Risa.

Keduanya terdiam dan terlihat fokus dengan pikiran masing-masing. Galen yang dengan serius menatap jalanan, sedangkan Risa yang menghindari tatapan Galen dengan melihat ke arah jendela mobil. Ia terkesiap dan menoleh ke arah Galen saat merasakan tangannya digenggam oleh pria itu tanpa menoleh kearahnya.

Kedua mata Galen menatap lurus ke arah jalanan, sedangkan tangannya mengenggam tangan Risa dengan erat—terkadang ibu jarinya mengusap tangan wanita itu dengan lembut. Sukses membuat perutnya kembali menghangat, menghantarkan rasa kupu-kupu di dadanya. Tanpa sepengetahuan pria itu, Risa tersenyum kecil.

Galen memberhentikan mobilnya di sebuah parkiran, di sampingnya terdapat gerobak bubur yang ramai. Membuatnya berdecak dan menatap Risa—masih dengan tangannya yang mengenggam tangan wanita itu. “Kayanya rame, gak ada bangku. Makan di mobil aja, ya?” Risa mengangguk.

“Gue pesen dulu. Lo ada yang gak mau dipake gak? Kaya, kacang mungkin?”

Risa menggeleng, “Aku pake semua aja. Sebelumnya, makasih ya.” Galen mengangguk sebelum mengelus pipinya dan turun dari dalam mobil. Membuat Risa langsung menghembuskan nafasnya panjang mendapat perlakuan tersebut dari Galen.

Berada didekat Galen, membuat Risa harus menahan nafasnya dan mengatur detam jantungnya. Pria itu sangat tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Dan Risa tetap menyukai hal tersebut.

Galen kembali dan membawa dua buah mangkuk, memberikan satu mangkuk tersebut pada Risa. Keduanya makan dalam diam sampai Galen mengusap ujung bibirnya yang terkena bubur. Jantungnya kembali berdetak cepat. Tidak berani menoleh ke arah Galen. Namun, tampaknya Galen tidak menganggap hal tersebut sebagai hal besar dan melanjutkan makannya dalam diam.

Sedangkan Risa, ia harus mati-matian mengatur nafas dan jantungnya. Selama berkuliah, Risa tidak tahu jika cara kerja jantung akan bertambah cepat hanya karena sebuah elusan di pipi, atau jangan-jangan Risa tidak normal, ya?

Galen melirik ke arah jam tangannya. “Masih ada satu jam lagi. Mau langsung gue anter ke kampus atau—”

“Ke kampus aja, gak apa-apa, kan?” Galen mengangguk. “Lo semangat banget ya kuliah.”

“Iya, soalnya kata Nenek harus cepet selesai biar bisa cepet pulang.”

“Lo tinggal sama Nenek?” Risa mengangguk. Galen tersenyum lebar. “Kalo gitu gue harus cepet anter cucu kesayangan Nenek biar bisa cepet selesai kuliah.”

“Biar gue bisa ketemu Nenek lo. Dan ngelamar lo secepatnya.” Galen tertawa dan mengacak rambut Risa gemas.

Sedangkan jantung Risa kembali berdetak cepat. Sangat cepat. Mendengar kata nikah dari mulut pria itu, membuatnya ragu. Memang, Neneknya akan setuju?