Kenapa

Chandra menunggu kedatangan Jenar sembari bersandar dimobilnya. Kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celananya. Sebatang rokok terjepit diantara bibirnya, mengeluarkan asap beberapa kali. Malam ini, Chandra memutuskan untuk menemui Jenar secara langsung. Ia dan Jenar sudah cukup lama berteman, maka ia tidak ingin adanya ketegangan diantara mereka berdua.

Chandra membuang rokoknya lalu menginjaknya hingga padam saat melihat Jenar berjalan menghampiri dengan wajah yang serius. Chandra tahu kalau Jenar mengerti apa maksudnya bertemu dengannya saat ini.

“Penting banget sampe lo belain malem kesini?” Tanya Jenar saat ia sudah sampai dihadapan Chandra. Chandra terdiam kembali berpikir apa ia harus mengatakannya langsung atau ia perlu basa-basi terlebih dahulu?

Tapi Chandra memutuskan untuk to the point pada Jenar. Lantas ia menatap Jenar serius, tak ada senyuman diwajahnya seperti biasa, begitu juga dengan Jenar yang menunjukkan wajah datar padanya.

“Sejak kapan Jen?” Tanya Chandra justru membuat Jenar mengernyitkan keningnya heran. “Sejak kapan apa Chan?”

Sialan. Batin Chandra merutuki ke pura-puraan Jenar.

Sekali lagi Chandra menatap kedua mata Jenar lekat, membaca gerak gerik kedua mata pria itu. “Lo sama Nadine.” Jenar menaikkan sebelah alisnya seolah menyuruh Chandra melanjutkan kalimatnya. “Sering ketemu dibelakang orang-orang.”

Jenar tetap diam dan tak berniat merespon apapun. Karena ia merasa Chandra tidak perlu tahu urusannya dengan Nadine.

Chandra berdecak kesal. “Lo orang yang paling tau, Jen, kalo gue suka sama Nadine dari dulu. Gue deketin dia susah payah dan gue buat dapetin perhatian dia susah, Jen. Lo paling tau itu kan.”

“Sejak kapan Jen lo suka ke Apartment nya Nadine tanpa semua orang tau?” Jenar masih tidak berniat merespon Chandra.

“Gue gak pernah ngeliat lo ngobrol sama Nadine. Kayanya malah lo berdua gak pernah ada interaksi apa-apa deh. Lo juga ngehindarin Nadine banget di kampus, eh salah lo ngehindar dari semua cewek, kan? Tapi kenapa dibelakang kaya gini, Jen?”

Jenar terkekeh pelan—mengejek Chandra sebenarnya. “Chan, lo ngomong kaya gini keliatan banget aneh loh. Lo bukan siapa-siapanya Nadine. Lo gak ada hak buat marah.”

“Tapi gue berhak marah ke lo Jen karena lo sembunyiin ini dari gue! Gue temen lo, anjir. Kenapa gak kasih tau gue, Jen?”

Jenar diam. Karena memang sejak awal ia tidak mau siapapun tahu tentangnya dan Nadine. Hubungan mereka berdua sangat sulit dijelaskan.

“Kenapa gak bilang, Jen?” Jenar mengeraskan rahangnya, merasa marah pada Chandra saat ini. “Seenggaknya lo bilang sebelum perasaan gue ke Nadine semakin jauh. Biar gue gampang ngelepas dia.”

“Tapi sekarang gue gak bisa ngelepasin Nadine. Gue gak mau nyerah juga sama dia.”

“Kenapa?”

“Gue tidur sama dia.”

Chandra dan Jenar saling bertatapan. “Bangsat.” Tanpa Chandra sadari, kepalan tangan Jenar melayang menuju wajahnya. Jenar menarik kerah pakaian Chandra, menatap pria itu marah. “Lo ngapain anjing tidurin Nadine, hah?! Lo bego atau gimana?!”

Chandra justru tersenyum mengejek kepada Jenar membuat Jenar kembali melayangkan pukulan padanya. Berulang kali tanpa perlawanan dari Chandra. Pria itu seolah sengaja menyulut emosi Jenar. Menurut Chandra saat ini sangatlah menyenangkan, karena Jenar bukanlah pria yang gampang tersulut emosinya. Namun hari ini Chandra mengetahui satu fakta tetbaru tentang Jenar. Pria itu ternyata mudah tersulut emosinya jika itu menyangkut Nadine. Jadi, ia dan Jenar adalah saingan?

“Jauhin Nadine.”

“Gue gak mau.”

Jenar mendorong tubuh Chandra hingga tubuh pria itu menabrak pintu mobilnya. “Asal lo tau, Chan. Gue kenal Nadine lebih duluan dari pada lo.”

“Lo siapanya, Jen? Pacarnya?”

Jenar terdiam. Bukan. Nadine memang bukan kekasihnya. Ia sudah mengatakan sebelumnya bahwa hubungan mereka berdua sulit untuk dijelaskan. Dan Jenar juga tidak berniat memberitahu Chandra. “Bukan kan?” Ejek Chandra lalu mendorong tubuh Jenar.

“Selagi lo bukan pacarnya dan kalo lo suka sama Nadine juga, gue gak peduli Jen.”

“Kalo mau kita bersaing. Secara sehat.”

Jenar berdecih mengejek Chandra. “Sehat kata lo? Nidurin anak orang sehat ya?”

“Nadine yang mancing duluan. Dia yang cium gue pertama.”

Jenar mengeraskan kepalan tangannya. Nadine bodoh. Batinnya merutuki Nadine.

“Gue ngerasa ngeliat masa depan sama Nadine. Jadi kalo lo nyuruh gue buat jauhin dia, sorry Jen. Gue gak mau, lebih tepatnya gue gak bisa. Gue udah jatuh terlalu dalam sama Nadine.” Ujar Chandra lalu membalikkan badannya membuka pintu mobilnya namun ia berhenti saat Jenar berkata, “Jangan kasih tau siapa-siapa soal gue sama Nadine. Jangan sampe orang tau gue sama Nadine deket.”

Chandra menoleh dan menatap Jenar datar. “Itu syarat kalo lo masih mau deket sama Nadine.”

“Nadine ada di Apartment lo kan sekarang?”

Jenar diam tidak menjawab namun Chandra tau apa jawaban dari pertanyaannya saat melihat kedua mata pria itu. Mereka mempunyai hubungan yang tidak dapat dijelaskan. Dan itu cukup membuat Chandra takut.

Takut kehilangan Nadine.

Jenar memandang mobil Chandra yang menjauhi kawasan Apartment nya. Lalu ia melangkahkan kakinya berniat kembali ke dalam Apartment. Chandra. Satu kata untuk pria itu malam ini, bajingan.