Ngga Boleh

Akhirnya, setelah perdebatan panjangku dan Satria, kami memutuskan untuk pergi secara diam-diam. Jika Satria tidak mengajak pergi, sebenarnya aku yang akan mengajak laki-laki itu. Sudah ku katakan, bukan? Satria sering membicarakan tentang film atau buku padaku—kami mempunyai kegemaran yang sama. Hanya saja terkadang aku malas mendengarnya bicara.

Tapi, Satria adalahtemanku. Laki-laki itu selalu menjadi teman sebangku ku selama dua tahun ini. Entah, teman atau bukan. Karena aku hanya kasian padanya. Kami saling mengkasihani satu sama lain.

Kami mengendarai motor Satria menuju Mall. Hanya berdua. Jangan berpikir aneh, Aku dan Satria sudah sering berpergian bersama seperti ini. “Lo yakin Kaisar nggak ikut, Sil?”

Sebenarnya, aku tidak percaya jika Kaisar dengan mudah membiarkanku pergi dengan Satria. Apa lagi dalam keadaan kedua orang tuaku meminta Kaisar untuk menjagaku selama mereka berdua keluar kota. Karena Kaisar tidak pernah membiarkanku pergi tanpa dirinya. “Nggak kayanya.”

“Gue nggak yakin sih, Sil, kalo Kaisar nggak ngikutin kita sekarang. Gue bisa baca pikiran tuh orang,” kata Satria seraya berkacak pinggang saat kami berdua tengah mengantri tiket.

Benar. Aku sendiri tidak yakin jika Kaisar tidak mengikuti kami saat ini. Bahkan, Satria terlihat mengedarkan pandangannya ke sekeliling bioskop lalu menatapku terkejut. “Gue nggak nemu Kaisar, tapi lo harus liat sih, Sil. Arah jam 9.”

Aku menoleh kearah yang Satria tunjuk. Rangga dan Elang. Tak hanya mereka berdua, namun ada dua perempuan yang cukup membuatku kesal. Adhisty dan juga Hana. Mengapa mereka berempat berada disini juga?

Mengapa harus sekarang?

Aku kembali menatap kearah Satria, “Gue ke toilet dulu ya. Nggak apa-apa kan kalo gue tinggal dulu?”

“Santai sih, Sil.” Aku mengangguk lalu meninggalkan Satria berdiri sendiri di dalam barisan tersebut.

Bohong jika aku pergi ke toilet untuk buang air kecil, karena aku menghindari ke empat orang tersebut. Rangga, Elang, Adhisty, dan juga Hana. Aku tidak ingin menemui mereka semua saat ini. Tidak hari ini, dan juga esok.

Aku sudah pernah bilang, bukan? Bahwa aku adalah seorang pengecut. Ya, sekarang kalian melihat sendiri bagaimana kedua kakiku melangkah tergesa menuju toilet Bioskop.

Aku duduk dan terdiam di dalam bilik toilet. Menghitung hingga seratus dalam hati.

Ya, setelah seratus ku sebut, maka itu adalah waktu dimana aku harus keluar. Aku perlu menenangkan diri. Aku membasuh wajahku berusaha membuat wajahku terlihat segar hingga aku mendapati seorang perempuan berdiri dengan kedua tangan melipat di dada.

“Sama siapa, Sil?”

Aku tersenyum lebar padanya, Gema. Walaupun aku harus melihat ke empat orang tersebut, tapi kini aku melihat saudara kembarku masih lengkap dengan seragam sekolahnya. Ngomong-ngomong, Gema terlihat cantik hari ini.

Ia memakan sebuah permen dimulutnya seraya menatap kearahku berbinar, “Seneng banget gue nemuin lo disini. Gue tadinya mau ngajak lo ketemu lagi, tapi temen gue ngajak nonton tiba-tiba.”

“Nanti malem ke rumah gue lagi aja, Gem.”

Gema menggelengkan kepalanya membuat kedua mataku meredup sendu. “Nggak mau ah, Sil. Nanti temen lo dateng lagi terus ganggu waktu berdua kita.”

Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. “Nggak, semalem dia ingetin gue kunci pintu tapi gue nggak ngecek pintu lagi jadinya dia bisa masuk. Nanti malem gue langsung kunci pintu deh. Terus kita ngobrol di kamar tamu aja.”

“Kamar lo kenapa?”

Nggak aman, Gem.” Gema mengangguk paham, membuatku sedikit bernafas lega karena Gema masih mau datang ke rumahku kembali.

“Jadi, lo sama siapa ke sini?”

“Sama temen gue, Gem.”

“Temen apa temen nih?”

“Temen, Gem! Astaga!” Aku tertawa saat melihat Gema berusaha menggodaku. Seperti saat Kaisar menelfonku. Ku pikir, aku dan Gema memiliki pemikiran yang sama. Aku tidak ragu lagi, Gema memang benar saudara kembarku.

“Gue mau bab dulu, Sil. Lo keluar gih jangan dengerin gue bab, gue malu.” Aku tertawa kencang mendengar ucapannya lalu mengangguk paham.

“Nanti malem chat gue lagi ya, Gem. Jangan lupa dateng ke rumah gue juga!”

“Iya, iya, Shylla. Gue dateng nanti malem. Tungguin aja.” Sekali lagi aku mengangguk lalu melambaikan tanganku padanya dan keluar dari toilet.

Aku seperti melihat tatapan aneh.

Saat aku membuka pintu toilet, aku langsung berhadapan dengan Kaisar. Tunggu dulu, bagaimana? Maksudku, kenapa Kaisar ada disini?

“Gue udah bilang nggak sih, Sil. Gue. Nggak. Izinin. Lo. Pergi.”

Aku menelan air liurku. Mendengar nada suara Kaisar yang penuh penekanan seperti ini, membuat nyaliku menciut. Mati. Aku mati. Tamat riwayatku saat ini.

Tanpa mengatakan apapun lagi, Kaisar menarik tanganku. Membuat tubuhku dengan patuh mengikutinya. Aku pasrah dibawa olehnya hingga kedua mataku bertabrakan dengan Satria yang menggerakkan mulutnya seolah ia mengatakan, “Sorry, Sil. Sorry. Gue nggak tau.

Aku hanya mengangguk memaklumi Satria saat aku dan Kaisar melewatinya. Hingga aku dapat melihat Rangga, Elang, Adhisty, dan juga Hana turut melemparkan tatapan mereka ke arahku dengan prihatin—atau harus aku katakan mengejek?

Aku tidak tahu kemana Kaisar menarik tanganku hingga aku tersadar kami telah sampai di Basement, berdiri di depan pintu mobil milik laki-laki tersebut. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kaisar yang marah dan menyuruhku masuk ke dalam mobil.

Benar. Kami berada di dalam mobil saat ini. Dengan keadaanku yang hanya dapat menundukkan kepalanya, saling meremat kedua tanganku gelisah. Aku merasa deja vu. Aku pernah berada dikeadaan seperti ini sebelumnya.

Tapi, mengapa terasa samar?

Aku menoleh kearah Kaisar yang ternyata ia menatap kearahku dengan tajam. Tatapan itu. Mengapa harus bertemu dengan tatapan itu lagi?

Sebelum berada di kursi penumpang, aku hanya terdiam dan menatap langkah kaki kami. Maksudku, aku sedang memikirkan apa yang akan Kaisar lakukan padaku nanti. Aku sudah memikirkan berbagai kemungkinan terbaik hingga yang terburuk. Kaisar sulit dibaca.

Aku pernah mendengar desas-desus Kaisar memukul seorang perempuan sebelumnya—hanya mendengar, belum merasakannya. Maka dari itu, aku cukup gemetar saat ini.

“Susah ya Sil buat dengerin omongan gue?”

Tidak. Sebenarnya sangat mudah mendengar ucapan Kaisar, aku terbiasa tunduk dengan ucapannya. Hanya hari ini, aku sangat ingin lergi bersama dengan Satria. Entahlah, seperti ada gairah tersendiri melawan ucapan Kaisar. Terlebih pria itu baru saja mengakui menaruh kamera di kamarku. Aku menggelengkan kepalaku menjawab pertanyaan laki-laki itu.

“Kalo nggak susah, kenapa masih pergi sama Satria?”

Layaknya sepasang kekasih yang tengah bertengkar karena salah satunya tertangkap selingkuh. Ya, kami terlihat seperti itu saat ini. Aku tidak suka. Kaisar terlalu mencampuri urusanku. Tapi aku terlalu malas juga berdebat dengannya, maka itu aku memilih untuk mengalah darinya.

“Maaf, Sar. Nggak gue ulangin lagi.”

Aku melirik kearah Kaisar sekilas, laki-laki itu terlihat menghela nafasnya panjang sebelum menepuk kepalaku pelan dan melajukan mobilnya meninggalkan Mall.

Rencanaku gagal.