Perasaan Satu Sama Lain.


Yasmin melihat dress yang diberikan oleh Winara dengan khawatir. Pasalnya dress tersebut terlihat sangat mahal untuknya, dan terlihat sangat cantik. Yasmin berpikir ia tidak akan membuat dress ini kusut. Ia akan berjalan dengan hati-hati saat memakainya. Tidak akan mengambil makanan yang bersaus. Ia akan menghindari itu semua demi menjamin dressnya terlihat rapih dan cantik.

Ia berputar di depan cermin. Melihat bagaimana dress tersebut mengikuti lekukan tubuhnya. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum Winara menjemputnya. Dan jantungnya sudah berdetak cepat sejak beberapa jam yang lalu. Yasmin tidak tahu jika berjalan dengan Winara akan seperti ini, padahal dulu saat ia memesan Ur NEED ia tidak begitu gugup seperti ini.

Ia membuka jendela kamarnya saat mendengar suara deru mesin mobil berhenti di depan rumahnya. Mobil Winara. Mengapa pria itu datang lebih cepat?

Sosok tegap itu keluar dari dalam mobil dan menatap rumahnya dengan kedua tangan berada di saku celananya, lalu berjalan ke arah pintu rumahnya. Seketika ia melotot mengingat Winara akan bertemu dengan Ibunya di bawah nanti.

Dengan cepat, Yasmin turun tangga dan benar saja. Ibunya bertemu dengan Winara. Terlihat Ibunya mengusap tangan Winara layaknya Ibunya bertemu dengan seorang calon mantu. “Pak?”

Perhatian Winara teralihkan ke arah Yasmin yang mengenakan dress pemberiannya. Terlihat cantik dan pas. Winara tidak pernah membayangkan jika dress pilihannya akan terlihat sebagus ini dikenakan oleh Yasmin.

Ibunya pergi setelah Yasmin menggerutu melihat Ibunya menggoda ia dan juga Winara yang terlihat cocok satu sama lain. Membuat Winara tidak dapat menyembunyikan senyumannya. Ia berdeham membuat Yasmin kembali menatapnya. “Udah siap?”

“Udah, Pak. Sebentar saya ambil tas dulu di atas, ya.” Winara mengangguk dan Yasmin berlari kecil kembali ke kamarnya. Mengambil tas kecilnya dan menemui Winara dengan cepat. Tanpa sadar, ia tersenyum pada pria itu. “Udah, Pak.”

Winara mengangguk kecil dan berjalan lebih dahulu menuju mobilnya. Ia menggaruk tengkuknya canggung melirik kearah Yasmin, berpikir haruskah ia membantu wanita itu berjalan ke mobilnya atau berpura-pura tidak tahu saja. Dan Winara memilih untuk berpura-pura tidak tahu.

Yasmin mendengus saat jaraknya tidak begitu dekat dengan Winara. Ia menyumpahi pria itu karena tidak membantunya yang kesusahan payah mengangkat dress panjangnya agar tidak jatuh. Saat di dalam mobil pria itu juga hanya diam saja. Tidak berkata apapun. Suasana begitu hening dan juga canggung.

Ia merasa takjub mengetahui undangan tersebut ternyata di sebuah hotel mewah. Yasmin siap sekali bercerita tentang ini pada Bina nanti. Hotel yang sangat megah. Ia berpikir berapa yang harus dikeluarkan untuk menyewa gedung ini.

“Yasmin?”

Perhatian kembali tertuju pada Winara yang berada di balik kemudi. Pria itu menatapnya lekat. “Gak usah panggil saya Bapak atau Pak, ya? Winara aja.”

“Tapi, saya gak enak, Pak.” Bohong. Yasmin bisa memanggil pria itu dengan Winara saja. Ia hanya berpura-pura karena ia menunggu saat ini sejak dulu. Winara. Winara. Winara. Lihat, ia menyebut nama pria itu tanpa embel Pak.

“Panggil saya Nara, Yasmin!”

“Eh iya, Nara.” Winara mengangguk dan membuka pintu mobilnya, meninggalkan Yasmin yang masih di dalam mobil dan berusaha membuka seatbeltnya, namun saat ingin membuka pintu. Pintu tersebut terbuka oleh Winara yang mengulurkan tangannya pada Yasmin.

“Kenapa diem? Ayo, keluar.” Dengan gelagapan, Yasmin meraih tangan Winara. Pria itu mengenggam tangannya dengan erat. Membuat jantungnya berdetak sangat cepat. Ia berdoa semoga ia masih dapat menemui hari esok.

Yasmin menatap ke arah tangannya dan tangan Winara yang saling bertautan. Ia tersenyum kecil. Sudah lama sekali tidak ada yang mengenggam tangannya seperti ini, jadi rasanya saat ini sangatlah beda. Seolah ada ribuang kupu-kupu yang berterbangan dalam perutnya. Perutnya terasa hangat tiba-tiba.

Apa lagi saat Winara memperkenalkan dirinya pada kerabatnya. Bagaimana perlakuan pria itu sangatlah berbeda padanya. Atau, memang beberapa hari ini perlakuan Winara terasa beda? Dan Yasmin tidak menyadari hal itu.

Ia duduk di salah satu meja seorang diri. Winara izin pergi sebentar untuk menemui salah satu temannya dan menyuruh untuk duduk karena ia memakai heels yang cukup tinggi. Dan benar, kakinya terasa sangat sakit. Dan pegal.

Matanya mencari keberadaan Winara hingga menemui sosok pria itu di ujung sana tengah berbincang dengan beberapa orang. Ia meringis dan bergumam, “Gila. Gue tiba-tiba jadi suka banget sama Pak Winara cuman gara-gara di pegang tangan doang. Disuruh duduk disini biar ga pegel katanya. Dibawain minuman.” Yasmin tertawa pelan.

“Balik dari sini bisa bikin gue jadi..” Pikirannya menerawang. Memikirkan kata yang akan keluar dari mulutnya selanjutnya. Ia tidak mungkin kan bersungguh-sungguh menyukai Winara? Ya, ia tahu Winara tampan dan ia sangat menyukai pria itu. Tapi, Yasmin meringis mengingat Winara bukanlah levelnya. Pria itu terlalu tinggi. Dilihat dari koneksinya. Lihat saja, kerabat pria itu mengadakan pesta di tempat semegah ini.

Yasmin bukanlah tandingan Winara.

Tatapannya bertemu dengan tatapan Winara dari jauh sana. Pria itu menatapnya khawatir dan terlihat menyudahi pembicaraannya dan menghampirinya dengan cepat. Membuat jantungnya kembali berdetak dengan cepat, apa lagi saat Winara berada di depannya.

“Mau balik?”

Kedua tangan mengibas, tidak bermaksud untuk pulang. “Gak kok, Pak—Eh maksudnya, Winara. Gak apa-apa kok, tadi cuman kebetulan lagi nyari Bap—Nara ada dimana.”

Winara tidak mengangguk, justru pria itu menatap kedua mata Yasmin bergantian seolah memeriksa apakah benar wanita itu baik-baik saja. “Beneran saya gak apa-apa kok.” Lantas Winara mengangguk dan menarik kursi agar lebih dekat dengan Yasmin.

Secara tiba-tiba, pria itu menunduk dan melihat kedua kaki Yasmin yang terlihat lecet. “Sepatunya kekecilan?”

“Gak kok. Saya jarang pake sepatu yang ini aja, jadinya masih keras. “

Pria itu menatap ngeri kedua kaki Yasmin yang terlihat lecet. Lalu bangkit dari atas kursi dan mengulurkan tangannya pada Yasmin. “Ayo, balik.”

“Eh?”

“Ayok balik, Yasmin.” Tangan Winara meraih tangan Yasmin yang tidak menerima uluran tangannya. Pria itu terlalu gemas melihat Yasmin yang selalu terdiam lama seolah berpikir yang entah apa itu. Pria itu menuntun tubuh Yasmin berjalan keluar gedung dan masuk ke dalam mobilnya dengan hati-hati.

“Dibuka aja sepatunya.” Yasmin mengangguk dan membuka sepatunya saat berada di dalam mobil. Suasana kembali hening, sampai Yasmin berteriak.

“Ini kearah mana, Pak? Rumah saya bukan kearah sini?!”

Winara tertawa mendengar nada panik pada suara Yasmin. “Temenin saya sebentar ya.”

Sial, ini mau dibawa kemana lagi.

Yasmin meringis saat mobil Winara berhenti dipinggir sungai yang terlihat sepi. Ia cukup waspada pada pria itu saat Winara keluar dari dalam mobil dan bersandar di depan kap mobilnya. Ia masih di dalam mobil melihat apa yang pria itu lakukan.

Sampai suara Winara berteriak memanggilnya, “Yasmin, kamu mau di dalem sana aja terus?”

Lantas ia membuka pintu mobilnya dengan dan menghampiri Winara. Berdiri di samping pria itu dan ikut bersandar di mobil. Hanya suara serangga malam yang mengisi keheningan mereka berdua. Winara sibuk memandang air yang bergoyang. Sedangkan Yasmin, sibuk dengan pikirannya.

“Saya mau minta maaf sama kamu, Yasmin.”

Yasmin menoleh ke arah Winara yang ternyata menatap kearahnya juga. Pria itu menatapnya dengan serius dan cukup berbeda dari biasanya. “Maaf kalo saya sering nyuruh-nyuruh kamu.” Yasmin mengangguk karena ia cukup paham dengan apa yang dimaksud dengan Winara. Pria itu akhirnya merasa bersalah selalu menyuruh-nyuruhnya.

Winara tersenyum. “Saya udah bilang belum ke kamu, kalo kamu cantik pake dress itu?”

“Eh, iya, Pak?”

“Manggil saya Bapak lagi denda 50 juta ya, Yasmin.”

“Jangan, Pak!”

“50 juta.”

Yasmin meringis mendengar ucapan Winara. Apa lagi saat pria itu mengulurkan tangannya seolah meminta uang padanya. “Saya gak punya uang.”

“Kalo gitu bayar pake ciuman bisa gak?”

“Hah?”

Kedua mata Yasmin terbelalak mendengar ucapan Winara. Pria itu mengatakan hal tersebut seolah tidak ada beban, padahal jantungnya serasa ingin melompat. Yasmin bisa gila. Ah tidak, ia sudah gila saat ini.

“Pa—Nara, ah maksudnya gimana ya, P—Nara?” Winara tertawa pelan mendengar Yasmin yang kesulitan memanggil namanya.

“Saya cium kamu, boleh gak?”

“Kenapa tiba-tiba mau cium saya?”

Winara mengangkat bahunya tidak tahu. “Soalnya, saya suka sama kamu?”

Bina, tolongin gue please! Tau gini ikut lo sama Bang Apin aja deh! Gue gak bisa nafas disini.

Yasmin mengalihkan pandangannya dan menatap kedua tangannya yang bertaut gugup. “Yasmin?” Ia mengangkat wajahnya, dan langsung bertatapan dengan Winara. Pria itu menangkup sisi kanan wajahnya dan tersenyum lebar.

“Saya bercanda.”

Akhirnya, Yasmin bernafas lega.

“Tapi, saya gak bercanda kalo saya suka sama kamu. Saya izin deketin kamu, ya?”

Tidak. Yasmin tidak bisa bernafas lagi.

Malam itu, Winara dan Yasmin hanya saling bertatapan ditemani oleh terangnya bintang malam. Keduanya hanya saling diam dan bertukar tatapan, mencari sesuatu di kedua mata masing-masing. Mencari pembenaran atas perasaan mereka.

Winara memilih mengalah pada perasaannya. Ia membiarkan perasaannya mengambil alih seluruh tubuh dan pikirannya. Ya, ia memilih untuk mengejar Yasmin dengan cara yang lebih baik.

Begitu juga dengan Yasmin. Ia benci Winara, tapi saat ini? Semuanya seolah lenyap—hilang. Perasaan benci berubah menjadi perasan yang lain.

Benar kata orang, benci dan cinta itu beda tipis. Dan Yasmin paham akan hal itu sekarang. Dengan menatap kedua mata Winara, ia tahu ia harus menyerahkan semuanya. Perasaannya. Ya, Yasmin mengaku kalah akan perasaannya saat ini.

Semoga hari esok akan menjadi awal yang lebih baik. Janji mereka pada diri masing-masing.