Pesta

Chandra terdiam—mengamati sekitarnya, beberapa membawa gelas ditangan mereka, sama seperti dirinya saat ini. Ia kembali mengesap alkohol yang berada ditangannya. Juan, Jenar dan Raka sudah tidak terlihat dimana pun. Entahlah, Chandra juga tidak berniat untuk mencari mereka bertiga. Ia ingin menghabiskan waktu sendiri saja.

Ia diam-diam mengalihkan pandangannya ke arah jarum jam 3—dimana Nadine dan teman-temannya berada. Damn, umpatnya dalam hati saat melihat Nadine tertawa bersama Brisa dan Dara. Jika ia tidak sedang menghindari Nadine, ia sudah pasti akan menghampiri wanita itu dan menggodanya seperti biasa. Tapi keadaan saat ini membuatnya tidak bisa melakukannya.

Chandra tahu seharusnya ia memberanikan diri untuk mengajak Nadine terlebih dahulu bicara—namun ia sedang tidak memiliki keberanian tersebut. Chandra cukup tahu malu ternyata.

Hingga ia tanpa sengaja melihat Jenar seolah memberi Nadine isyarat untuk mengikuti pria itu, membuatnya mengernyitkan keningnya tidak suka.

Ia tersenyum kecil saat melihat Nadine pamit pada Brisa dan Dara ke kamar kecil padahal Chandra melihat jelas wanita itu dipanggil oleh Jenar. Kedua kakinya diam-diam mengikuti Nadine dari jauh—memberi jarak takut kalau wanita itu sadar diikuti olehnya.

Nadine menghampiri Jenar yang tengah bersandar ditembok belakang tempat Jay. Tempat yang cukup sepi—tidak, ini tempat sangat sepi. Tidak ada satu pun orang lewat atau berpikir untuk ke tempat ini. Tempat yang cocok untuk bertemu secara diam-diam, batin Chandra berencana menguping pembicaraan kedua orang tersebut.

“Bisa gak Jen jangan sekarang? Gue masih sama Brisa Dara loh.” Terdengar Nadine menggerutu pada Jenar. Chandra masih memasang kedua telinganya—siap mendengar kelanjutan pembicaraan dua orang tersebut. Namun, mereka berdua justru saling berbisik satu sama lain. Chandra tidak dapat mendengarnya dan hanya dapat melihat Nadine yang terlihat marah pada Jenar.

“Lo udah ngobrol sama Chandra?” Tanya Jenar berbisik. Nadine mengernyitkan keningnya karena ia tidak mendengar cukup jelas lantas mendekatkan telinganya kepada Jenar. “Lo udah ngobrol sama Chandra?” Bisik Jenar dibalas gelengan kepala oleh Nadine.

“Belum.”

“Lo harus omongin ini sama dia. Selesaiin kalo bisa.”

Nadine memutar kedua matanya jengah. “Gue juga tau kok, Jen. Nanti gue ajak dia ngobrol, oke?” Jenar mengangguk. “Sekarang gue masuk lagi ya? Please Jen, jangan panggil gue kalo ditempat banyak orang kaya gini.”

Sorry.”

Nadine meninggalkan Jenar sendiri disana. “Lo ngapain?” Panggil Jenar membuat Chandra tersentak terkejut. Chandra keluar dari tempat persembunyiannya dan menatap Jenar datar. “Nguping Chan?”

Chandra tidak menjawab. Dan tidak ingin menjawab juga. “Mending lo samperin Nadine. Ajak ngobrol. Kayanya lo berdua harus ngobrol deh.” Saran Jenar. “Sekalian anter tuh anak balik. Gue titip dia.” Pamit Jenar menepuk bahunya pelan. Ia memandang bahu Jenar heran. Sepertinya, Jenar memang bukan halangan baginya. Jalur hijau.

Chandra kembali masuk ke dalam, sedikit terkejut saat semua orang menari tak karuan ditengah ruangan. Hingga kedua matanya bertemu pandang dengan Nadine. Astaga ini momen langka, batinnya melihat Nadine berjalan menghampirinya.

Keduanya saling berhadapan, tak ada yang bicara, hanya suara detuman musik dibelakangnya. Nadine tidak pernah tahu kalau bertemu Chandra menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu olehnya. Seperti saat ini. Bahkan ia tidak tahu harus mengatakan apa pada pria itu. Sebenarnya Nadine cukup was-was dengan Chandra melihat pria itu mengenggam alkohol ditangannya. Pasti ia akan mabuk lagi.

“Nad.”

“Chan.”

Sial, kejadian yang paling Nadine tidak suka. Memanggil nama satu sama lain secara bersamaan. Seperti romansa ditelevisi yang jika Nadine lihat, ia akan langsung ingin memuntahkan makanan dalam sekejap. Menggelikan.

Chandra menggaruk kepalanya gugup. Nadine yakin pria itu hanya berusaha menghindari tatapannya. Sama seperti dirinya. “Ada yang harus diomongin gak sih, Nad?”

Nadine berdehem sebagai jawaban. “Tapi gak disini. Terlalu berisik.” Chandra mengangguk menyetujui Nadine.

“Apartment lo atau g—”

“Apartment gue.”

______________

Chandra datang dengan dua cangkir yang mengepul dikedua tangannya. Harum teh dan kopi tercampur menjadi satu. Ya, Nadine sih pecinta kopi dan Chandra sih pria anti kopi. Pergabungan yang indah. Nadine tersenyum kecil saat Chandra memberikan cangkir kopi padanya. Lalu hening.

Sejak pertama kali Nadine menginjakkan kakinya di Apartment milik pria ini. Nadine dibuat kagum dengan interiornya. Terlihat rapih. Seperti bukan khas seorang Chandra. Matanya memperhatikan sekitar hingga terhenti pada akuarium besar disudut ruangan. Pria itu memelihara banyak ikan. Satu fakta yang baru ia ketahui hari ini.

Nadine menghela nafasnya perlahan dan menatap Chandra yang sejak tadi tidak mengalihkan pandangan padanya. “Hmm.. Sebenernya gue cuman mau minta maaf sama lo.” Gumam Nadine namun masih terdengar jelas oleh Chandra.

“Soal gue minta lo buat anggap semuanya gak terjadi. Gue tau itu bikin lo sakit hati kan?” Chandra menggelengkan kepalanya, tidak menyetujui ucapan Nadine. Namun Nadine yakin sekali bahwa perkataannya yang kemarin cukup membuat Chandra sakit hati. Pria itu tidak mau membuatnya merasa tidak enak.

“Gue minta maaf, Chan. Gue udah selalu jahat sama lo. Ditambah kemaren gue ngomong kaya gitu ke lo.”

“Jadi, lo mau ngasih gue kesempatan?”

Hening.

Jujur, bukan itu maksud Nadine. Ia hanya ingin meminta maaf dan membuat semua rasa bersalahnya menghilang. Namun justru sekarang bukan rasa bersalah yang ingin ia hilangkan—tapi rasa aneh yang tiba-tiba muncul.

“Chan.. sor—”

“Lo ada hubungan apa Nad sama Jenar?”

Ucapan Nadine terhenti disela oleh Chandra. Pria itu menatapnya serius, tangan yang mengenggam cangkirnya erat, seolah menahan emosi yang akan ia keluarkan sewaktu-waktu nanti Nadine mengatakan hal yang tidak diinginkannya. Sedangkan Nadine, ia terdiam cukup lama tidak tahu harus menjawab apa.

“Gue.. gue sama Jenar gak ada hubungan apa-apa.”

“Tapi lo tidur di Apartment nya.”

Nadine diam. Begitu juga Chandra yang terdiam menatap Nadine tajam. Kemudian Nadine tertawa kecil—sangat kecil. Sampai Chandra mengira wanita itu tengah mengejeknya. Tapi memang benar Nadine menertawakan perkataan Chandra sebelumnya. “Lo sama gue juga gak ada hubungan apa-apa. Tapi kok bisa tidur bareng ya?”

Sebenarnya bukan ini pembicaraan yang Nadine inginkan. Ia pikir awalnya pembicaraan mereka akan dipenuhi dengan Nadine meminta maaf, lalu Chandra yang memaafkannya, dan semuanya kembali seperti semula. Nadine tidak perlu pusing dengan perasaan dan Chandra. Kedua hal yang sangat ia hindari. Tapi kini ia justru masuk semakin dalam.

“Lo bisa gak Chan berhenti suka sama gue? Gue ngerasa terbebani sama rasa suka lo ke gue.”

“Gak. Gue gak bisa dan gue gak mau, Nad.”

“Kenapa?”

“Karena lo gak tau butuh berapa lama gue buat bisa ada diposisi ini sama lo. Karena lo gak tau berapa kali gue berpikir buat nyerah sama lo. Lo juga gak tau berapa kali gue pikirin ulang kalo gue tuh cuma penasaran sama lo, tapi ternyata gak—gue beneran suka sama lo. Lo juga gak tau kan Nad kalo gue selalu berusaha ada buat lo. Jagain lo. Nemenin lo pas lo sedih. Tapi gak pernah lo liat. Terus setelah semuanya terjadi, gue nemuin kalo sahabat gue itu punya hubungan sama orang yang gue suka dari lama. Hubungan yang gue sendiri juga gak tau macam hubungan apa. Anjing gak sih?”

Nadine mencengkram cangkirnya melihat Chandra mengeluarkan segala keluhannya selama ini. Ya, Nadine sangat membutuhkan ini semua. Agar ia juga tidak jatuh semakin dalam.

“Gue udah gak punya apapun lagi, Nad, kalo lo mau tau. Semuanya yang di gue udah lo ambil.” Chandra berhenti saat melihat kedua mata Nadine berair, ia kembali berpikir ulang apa ada perkataannya yang membuat Nadine sakit hati. Namun ia harus mengatakannya.

“Sekarang waktunya gue buat ambil semua yang ada di lo kan?”

Nadine dan Chandra terdiam cukup lama, saling melempar tatapan satu sama lain. Hingga Nadine memajukan tubuhnya, berhenti beberapa centi dari wajah Chandra. “Kalo gitu, ambil semuanya sekarang.”