Sebelum Winara Bilang Suka.
Winara memandang gelasnya yang berisikan minuman spesial dari Fariz. Malam ini, ia memutuskan untuk datang ke restoran pria itu. Melihat bagaimana Fariz melayani pelanggannya hingga pria itu menutup restoran. Tak ada Haikal. Tak ada siapapun. Hanya mereka berdua dan beberapa pegawai Fariz.
Pria itu duduk di meja dekat jendela seorang diri hingga Fariz duduk di hadapannya dengan sebuah kopi panas. Pria itu ikut menatap ke arah luar jendelan mengikuti arah pandang Winara. Ia menatap Winara dengan khawatir, pasalnya Winara datang dengan wajah yang kusut.
“Kenapa, Win?” tanya Fariz lalu meminum kopinya dengan perlahan saat Winara memijat keningnya, terlihat sangat lelah di mata Fariz. “Kerjaan?” Winara menggelengkan kepalanya pelan, kedua matanya menatap ke arah gelas yang telah kosong.
“Terus?”
Winara menghembuskan nafasnya gusar. Lalu menatap Fariz kesal, “Kayanya gue kena pelet deh, Riz.”
“Hah?”
“Iya. Lo tau, cewek yang gue bilang gue deketin itu. Gue awalnya emang kepikiran terus sama dia karna,” Winara berhenti sejenak, pikiran menerawang mengingat wajah Yasmin. “Karna aneh aja ada yang bilang kalo gue ngeselin di kantor. Terus gue emang niat mau deketin, tapi gue gak tau kalo efeknya kaya gini, Riz.”
Fariz tersenyum tertahan melihat Winara bercerita seolah ini adalah hal yang sangat salah. “Riz, gue kepikiran mulu sama nih cewek. Rasanya mau liat muka dia terus. Gue beneran kaya dibuat gila tau gak?!”
“Lo jatuh cinta, Win.”
“Gak. Gue cuman penasaran, Riz.”
Fariz menggelengkan kepalanya dan menaruh kopinya ke tas meja. Menangkup kedua tangannya seraya menatap Winara dengan serius. “Lo suka itu cewek. Tapi, lo gak mau kalo faktanya lo suka sama itu cewek. Lo nolak perasaan lo yang gue gak tau kenapa. Cuman lo yang tau, kan? Dicoba aja, Win. Jangan ditahan.”
“Maksudnya?”
Fariz kembali tersenyum. “Jangan ditahan perasaannya. Biarin aja ngalir. Kalo bisa lo bilang ke dia sekarang juga kalo lo suka dia.”
“Gue gak mau.”
“Kenapa?”
“Cinta. Cinta. Gak jelas. Gak ada, Riz, cinta itu gak ada. Cinta ap—”
“Kata siapa? Cinta itu ada, Win. Selama ini emang perlakuan anak-anak ke lo atau perlakuan lo ke anak-anak bukan termasuk cinta? Lo sayang sama Haikal, kan? Itu juga bisa dibilang cinta loh, Win, cinta sama adek.”
Winara menghela nafasnya. Jika membawa Haikal, ia kalah. Sebenarnya juga tidak ada yang salah kalau ia memang benar menyukai Yasmin, hanya saja seperti ada yang salah yang entah apa itu. Winara tidak tahu pasti permasalahannya.
“Sekarang apa yang ngeganggu pikiran lo? Takut kalo lo bilang suka itu cewek pergi? Atau lo takut ternyata cuman cinta bertepuk sebelah tangan?” Winara mengangguk. “Kayanya gue takut cuman bertepuk sebelah tangan deh, Riz.”
“Kalo gitu, coba confess ke dia. Oh iya, sama kurangin nyuruh-nyuruh dia, Win. Ada cara lain buat bisa liat muka dia setiap hari.”
Winara mengernyitkan keningnya. “Contoh?”
Fariz mengangkat bahunya. “Makan siang? Kaya Odan ke Bina misalnya. Atau, ajak keluar kaya nonton film, jalan-jalan di taman, yang lain deh, Win, selain nyuruh-nyuruh dia.”
Winara mengangguk dan kembali menatap gelas kosongnya. “Kalo bisa jangan nyuruh-nyuruh dia lagi, ya? Gue takut dia sumpahin lo terus nantinya.”
Winara tersenyum kecil jika mengingat bagaimana reaksi Yasmin jika ia menyuruh wanita itu membelinya makan siang. Mungkin, setelah ini Winara akan memakai cara yang lebih sehat. Tidak ada suruhan aneh lagi pada wanita itu. Ia akan berlaku baik, layaknya seorang pria sejati.
“Thanks, Riz.”