What Do You Mean?

Yasmin mengurai rambutnya sehabis mencuci rambut panjangnya. Hari ini cukup mudah ia lalui, tidak seperti hari sebelumnya. Penuh akan pria menyebalkan, Winara.

Hari ini, pria itu membiarkannya pulang lebih cepat. Tidak ada antar-mengantar. Atau menyuruhnya membeli makan malam. Yasmin bebas. Maka itu ia menikmati mandi malam dengan bahagia.

Setelah membalas pesan Bina, ia memutuskan untuk memejamkan kedua matanya dan terlelap. Berusaha untuk tenggelam dalam buah tidurnya. Hingga dering ponsel memenuhi telinganya.

“Astaga, udah malem ini kenapa nelfon?!” gerutu Yasmin meraih ponselnya di atas nakas tanpa membuka kedua matanya. Jika itu Bina, tidak apa. Yasmin tidak akan marah. Tapi jika bukan, ia akan berteriak mampus dan menyumpahi orang tersebut.

Hal—

“Woi anjir! Gak liat apa ya udah jam berapa ini?! Gue ngantuk asu!” suntuknya saat mendengar suara pria dan suara bising dibelakangnya. Keningnya mengernyitkan kesal karena waktu tidurnya diganggu.

Hari ini adalah hari bahagianya lepas dari Winara. Mengapa harus ada yang menganggu?

Maaf, apakah benar ini 'Babuyi'?

Babuyi?

Nama payah macam apaan itu. Siapa yang punya nama Babuyi, anjir? Freak banget!

“Bukan! Ini Yasmin. Ini saha sih? Malem-malem nelfon,” ucap Yasmin masih belum berniat melihat nama yang menghubunginya saat ini.

Maaf bu, tapi di kontaknya dinamai 'Babuyi' dan ada dipanggilan teratas, jadi saya hubungi Ibu langsung.”

“Yaudah terus kenapa? Saya lagi tidur nih,” jawab Yasmin dengan malas.

Ini yang punya ponselnya mabuk berat. Saya gak tau harus dianter kemana. Ibu bisa kesini?

Yasmin berusaha keras membuka kedua matanya lalu menatap kearah layar ponselnya dengan susah payah, hingga kedua matanya melebar terkejut. Nama panggilan tersebut adalah,

Jangan dibales yas!!

Jadi, pria mabuk itu Winara?

Halo, bu? Jadi bisa kesini gak? Saya kirim alamatnya ya, Bu.

“Bawa ke hot—”

TUT

Yasmin menatap tidak percaya, “Anjir, dimatiin dong. Terus ini gue jemput sih Winara gitu? Ah, ogah! Gue ngantuk.”

Ia menarik selimutnya, menutupi tubuhnya hingga ke kepalanya. Menyembunyikan dirinya dibawah selimut. Berusaha keras untuk memejamkan kedua matanya dan kembali terlelap. Namun pikirannya selalu melayang kembali ke keadaan Winara.

Apa yang pria itu lakukan hingga mabuk?

Apa ini alasannya Winara selalu terlihat melamun saat menyuruhnya melakukan sesuatu?

Sialan, mengapa Yasmin jadi sibuk memikirkan pria itu?

Dengan perasaan yang sangat kesal, Yasmin membuka selimutnya lalu menendangnya kesal. Ia bersumpah serapah pada Winara dan pria yang menghubunginya tadi. Tidak bisakah memberinya hari libur sehari?

“Nih Winara kalo gue udah sampe sana, rambutnya gue tarik sampe copot! Bodo amat! Siapa suruh ganggu orang tidur, hah?!” gerutunya sembari mengganti pakaiannya. Karena hanya berniat menjemput pria itu, ia hanya mengenakan hoodie dan juga celana training biasa.

Pokoknya setelah mengantar pria itu ia akan langsung pulang dan kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Urusan Ibunya marah, itu urusan belakang. Karena Yasmin juga tak yakin Ibunya tahu ia sudah sampai rumah sejak tadi.

Setelah beberapa lama berjalan menuju tempat Winara, ia sampai di sana dan langsung menatap malas tempat tersebut. Club malam.

Tempat terlarang. Tempat yang tidak akan pernah ia masukki lagi setelah lulus kuliah, tapi bohong. Ia sering masuk ke tempat ini tanpa sepengetahuan Bina. Temannya sangat protektif melebihi seorang kekasih. Omong-omong tentang Bina, Yasmin jadi kangen dengannya.

Sebelumnya menginjakkan kakinya di dalam tempat aneh tersebut, Yasmin menghela nafasnya sekali lagi lalu menghubungi nomor Winara dengan malas. “Halo? Dimana ya?”

Halo, Bu. Ibu sudah sampai? Ada di lantai 2 ya, Bu. Ruang nomor 203.

Tanpa menunggu lagi, Yasmin langsung masuk dan naik ke lantai 2 menuju ruangan tersebut hingga netranya bertemu dengan Winara yang membaringkan tubuhnya di atas sofa dengan kedua mata yang terpejam. Pria itu mabuk.

Dengan kesal, Yasmin memukul pipi Winara, menatap nyalang lalu menarik rambutnya, “Ngapain, hah?! Ngapain minum, anjir?! Sampe mabok gini lagi.”

“Bangun gak!” teriak Yasmin menarin tubuh Winara agar duduk di sofa. Membuat Winara harus membuka kedua matanya lalu tersenyum lebar melihat Yasmin. “Eh Babuyi udah dateng.”

“Babuyi? Nama apaan anjir itu?! Jelek banget!” Dengus Yasmin memutar kedua bola matanya malas. Berdecak kesal saat melihat seorang wanita membuka pintu ruangan dengan pakaian minim. “Pak, ini say-” Ucapan wanita terputus saat melihat Yasmin yang menatapnya tajam.

“Siapa lo?”

“Oh, Mbak istrinya?”

“Hah, anjir lo kira gue istrinya?” Wanita itu mengangguk heran. “Kalo nih orang suami gue, udah gue tarik kepalanya, gue copotin rambutnya satu-satu, terus gue tarik keluar. Gue pukulin ke-”

“Eh iya, Mbak saya paham kok. Mau saya bantu bawa keluar gak?”

Seakan tersadar dengan apa yang ia ucapkan, Yasmin bangkit dan berdiri di samping pria tersebut dan meraih tangan kanan Winara, melingkarkannya di sekitar lehernya.“Boleh. Tahan tangan kirinya ya.”

Kedua nya membawa tubuh Winara ke dalam mobil pria tersebut. Membiarkannya duduk di samping kursi kemudia. Yasmin menghela nafasnya kasar lalu beralih menatap wanita sebelumnya dengan senyum lebar.

“Mbak, makasih ya mau bantuin saya bawa nih beban.”

Wanita tersebut terkekeh mendengar ucapan Yasmin dan mengangguk pelan, lalu meninggalkan Yasmin yang masih berdiri di luar mobil menatap Winara dengan pandangan berbeda. Wanita itu khawatir.

“Lo kenapa sih sampe mabok gini? Patah hati? Apa duit lo abis lagi jangan-jangan makanya stress?!”

Winara yang setengah sadar tersebut terkekeh, lengan kanannya menutup kedua matanya. “Saya tuh lagi bingung, Yasmin.”

Yasmin yang sedang menarik seatbeltnya pun kembali bertanya, “Bingung kenapa lagi? Ada aja nih hidupnya.” Yasmin melupakan tata krama pada pria tersebut karena dirinya terlewat kesal.

Winara kembali terkekeh, menolehkan kepalanya menatap kearah Yasmin dengan senyum kecilnya. Membuat Yasmin yang baru saja mengalihkan pandangannya terkejut. Ia mengelus dada berulang kaki dan sedikit menyumpat.

Winara masih menatap kedua mata Yasmin, namun tidak lagi dengan sebuah senyuman. “Kata temen saya,” Winara menahan ucapannya, memastikan Yasmin memberikan seluruh perhatiannya pada pria tersebut. Jantungnya berdegup kencang menanti ucapan selanjutnya dari Winara.

Apa pria itu sungguh kehabisan uang?

Apa benar patah hati?

Ah, apa Winara terlilit hutang?

Yasmin masih setia menatap kedua mata Winara, begitu pun pria tersebut. “Kata temen saya, saya suka sama kamu.”

Hah?