The Deal
Nyatanya, Yasmin kembali ke lantainya dengan tatapan kosong. Benar, jantungnya berdetak tak karuan karena ucapan pria tersebut. Namun dilain sisi, Yasmin tidak percaya kalimat itu keluar dari Winara. Seorang Winara mengajaknya berpacaran? Tidak mungkin.
Lagi pula, apa yang menarik darinya? Banyak sih, tapi ini Winara.
Yasmin duduk di meja kerjanya sembari menatap layar di hadapannya dengan tatapan kosong. Seharusnya ia tidak kembali ke ruangannya ini. Lebih baik ia kabur saja. Biarkan ia di pecat—walau kemungkinan dirinya dipecat sangatlah kecil, tapi Yasmin benar-benar tidak mau melihat wajah mereka semua. Yasmin malu.
Ia menangkup wajahnya. Menarik nafasnya dalam-dalam seraya berucap ingin pulang berulang kali.
Ia mengangkat wajahnya secara tiba-tiba saat mendengar suara dering notifikasi masuk. Ia meliriknya sekilas dan melihat nama Winara muncul di layarnya.
Ke parkiran, Yasmin. Keluar sama saya. Kamu udah saya izinin.
Tanpa banyak bicara, Yasmin merapihkan barang-barangnya lalu menghampiri kepala timnya. “Pak, say—”
“Iya, Yasmin. Pak Winara udah bilang ke saya kamu izin mau ke rumah sakit. Cepet sembuh ya, Yasmin.”
Hah? Yasmin terdiam. Sialan, Winara.
Ia berjalan menuju parkiran dengan perasaan kesal. Lebih tepatnya sangat kesal pada pria tersebut. Berdecak dan mengumpat beberapa kali. Jangan heran jika Yasmin selalu mengumpat setiap saatnya, karena memang seperti itu lah dirinya selalu mengumpat pada seseorang. Apa lagi jika orang tersebut adalah Winara.
Yasmin mengernyitkan keningnya saat melihat mobil Winara telah terparkir tepat di depan pintu keluar. Pria tersebut duduk dikursi kemudi, menatap lurus tanpa menoleh ke arah Yasmin sedikit pun. Bahkan saat dirinya mengetuk kaca mobil pria tersebut, ia tidak menoleh dan justru hanya jarinya saja yang bergerak menyuruhnya untuk masuk.
Lantas Yasmin masuk dengan hati yang kesal. Sangat kesal. Ia mengenggam tasnya dengan erat, mencurahkan segala rasa kesalnya disana. Menoleh ke arah Winara yang terlihat sangat santai tersebut. Tak ada pembicaraan diantara keduanya. Entah apa yang tengah dipikirkan oleh Winara, sementara Yasmin sudah jelas mengumpat seperti biasanya.
Yasmin mengernyitkan keningnya saat mobil Winara memasuki kawasan hotel. Beribu pikiran negatif pun memenuhi kepalanya. Ia menatap Winara dengan tatapan was-wasnya.
Bodohnya, Yasmin tetap mengikuti langkah kaki pria tersebut hingga mereka berada di lantai 25. Lantai dimana terdapat restaurant mahal—katanya. Karena Yasmin juga belum pernah kesini, dan sepertinya juga tidak akan. Apa lagi ia dan Bina selalu makan nasi gila di pinggir jalan. Jadi jelas ini bukan kelasnya.
Ia menatap aneh tempat ini, dan juga punggung lebar nan seksi milik Winara—astaga, Yasmin harus fokus.
Keduanya duduk berhadapan dengan pemandangan gedung-gedung pencakar langit. Yasmin tidak tahu alasan mengapa mereka disini, namun ia juga tidak kunjung bertanya pada Winara. “Kamu gak mau nanya kenapa saya ajak kamu kesini, Yasmin?”
“Kenapa, Pak?”
Winara menarik ujung bibirnya, lebih tepatnya pria itu menyeringai dan menundukkan kepalanya. Sedikit terkekeh mendengar pertanyaan Yasmin. Entah karena wanita itu bertanya kenapa atau karena Pak?
“Saya beneran harus tegasin perjanjian untuk gak panggil saya Pak lagi ya, Yasmin, ke kamu? Kamu mau apa kalo ngelanggar? Uang 10 juta ke saya atau saya kasih ciuman ke kamu?”
“Ciuma—Eh!” Yasmin menutup mulutnya. sialan. Sungutnya dalam hati. Mulutnya memang terkadang selalu tidak dapat bekerja sama. Rasanya Yasmin ingin memukul kepalanya saja. Benar-benar bodoh.
“Maksudnya, bukan gitu, Pa—Nara, iya maksud gak gitu. Aduh! Pokoknya saya gak mau ada langgar-langgar gitu deh. Lagi juga,” ucapan Yasmin terhenti saat fokusnya justru teralihkan ke kedua mata pria tersebut, yang sialnya menurut Yasmin sangat indah. Dengan terbata-bata, ia kembali melanjutkan ucapannya. “Kenapa ngajak saya kesini? Terus segala bilang saya sakit lagi.”
“Kan kamu emang lagi demam, Yasmin.”
Yasmin mengernyitkan keningnya. “D-demam? Saya sehat kok,” ujar Yasmin sembari menangkup wajahnya. Berusaha merasakan suhu tubuhnya, apakah benar demam atau tidak. Tapi ia sehat. Benar-benar sehat.
“Demam cinta.”
Najis, najis, najis. Kenapa cowok ganteng suka alay sih?! Aduh, geli banget dengernya.
Yasmin tertawa canggung seraya menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak terasa gatal tersebut, menyembunyikan wajahnya dan menjulurkan lidahnya seolah ia mual—mual mendengar ucapan Winara yang sangat menggelikan.
Sedangkan Winara justru tertawa. Entah karena malu atau ia memang merasa itu lucu. Orang tampan memang terkadang aneh.
Yasmin terkejut saat Winara secara tiba-tiba mengenggam tangannya dengan lembut. Ia menatap tangannya lalu menatap wajah pria tersebut dengan penuh tanda tanya. Maksud pria itu apa?
“I-iini maksudnya ap—”
“Saya mau serius sama kamu, Yasmin.“
Yakinkan Yasmin untuk tidak berteriak, atau pun loncat di tempatnya saat ini juga. Yakin kan Yasmin agar tidak tersenyum layaknya orang bodoh yang tengah kasmaran. Karena jantungnya berdetak sangat cepat.
Otaknya seolah berhenti bekerja. Berusaha keras mencerna ucapan pria tersebut.
Serius? Pria itu ingin serius dengannya? Maksudnya, menikah dengannya?
“Maksudnya gimana, ya?”
“Saya mau nikah sama kamu.” Yasmin semakin mengernyitkan keningnya. Menarik tangannya dari genggaman pria tersebut, lalu menyilangkan kedua tangannya di dada. “Mau nikah sama saya?” Winara mengangguk. “Yakin?” Sekali lagi Winara mengangguk.
“Saya punya syarat.”
Winara mengubah posisi duduknya, seolah pria itu tengah mempersiapkan diri akan syarat yang diberikan oleh Yasmin padanya.
“Saya mau kamu berusaha buat saya bisa jatuh cinta sama kamu dalam waktu satu bulan.”
Winara menaikkan alisnya, “Satu minggu.” Yasmin menggelengkan kepalanya. Mengangkat dagunya tinggi, wanita itu ingin sesekali mengerjai pria tersebut, dan ini adalah waktunya. “Satu bulan, atau gak sama sekali.”
“Deal.”
“Oke, deal.”
Dalam hati, Yasmin tertawa keras karena ia adalah saatnya ia membalaskan semua rasa kesalnya pada pria itu. Bagaimana Winara mengerjainya dulu. Yasmin akan membalasnya sekarang, sekaligus melihat keseriusan pria tersebut padanya.
“Makan yang banyak. Makanan disini enak-enak.”
Yasmin tersenyum kecil. “Beneran banyak, ya? Saya bisa sampe malem nih disini buat makan aja.”
Winara terkekeh mendengar ucapan Yasmin. “Kalo kamu kuat makan banyak, dan masih ngerasa laper. Saya gak masalah mau sampe pagi pun. Saya bakal tungguin kamu makan kok, Yasmin.“
Yasmin akan mengawalinya dengan membuat dompet Winara menangis hari ini. Dan ia sangat bersungguh-sungguh akan makan banyak hari ini. Masa bodo dengan berat badan, terpenting ia makan enak dan menghabiskan dompet pria tersebut.