saacho66


Nyatanya, Yasmin kembali ke lantainya dengan tatapan kosong. Benar, jantungnya berdetak tak karuan karena ucapan pria tersebut. Namun dilain sisi, Yasmin tidak percaya kalimat itu keluar dari Winara. Seorang Winara mengajaknya berpacaran? Tidak mungkin.

Lagi pula, apa yang menarik darinya? Banyak sih, tapi ini Winara.

Yasmin duduk di meja kerjanya sembari menatap layar di hadapannya dengan tatapan kosong. Seharusnya ia tidak kembali ke ruangannya ini. Lebih baik ia kabur saja. Biarkan ia di pecat—walau kemungkinan dirinya dipecat sangatlah kecil, tapi Yasmin benar-benar tidak mau melihat wajah mereka semua. Yasmin malu.

Ia menangkup wajahnya. Menarik nafasnya dalam-dalam seraya berucap ingin pulang berulang kali.

Ia mengangkat wajahnya secara tiba-tiba saat mendengar suara dering notifikasi masuk. Ia meliriknya sekilas dan melihat nama Winara muncul di layarnya.

Ke parkiran, Yasmin. Keluar sama saya. Kamu udah saya izinin.

Tanpa banyak bicara, Yasmin merapihkan barang-barangnya lalu menghampiri kepala timnya. “Pak, say—”

“Iya, Yasmin. Pak Winara udah bilang ke saya kamu izin mau ke rumah sakit. Cepet sembuh ya, Yasmin.”

Hah? Yasmin terdiam. Sialan, Winara.

Ia berjalan menuju parkiran dengan perasaan kesal. Lebih tepatnya sangat kesal pada pria tersebut. Berdecak dan mengumpat beberapa kali. Jangan heran jika Yasmin selalu mengumpat setiap saatnya, karena memang seperti itu lah dirinya selalu mengumpat pada seseorang. Apa lagi jika orang tersebut adalah Winara.

Yasmin mengernyitkan keningnya saat melihat mobil Winara telah terparkir tepat di depan pintu keluar. Pria tersebut duduk dikursi kemudi, menatap lurus tanpa menoleh ke arah Yasmin sedikit pun. Bahkan saat dirinya mengetuk kaca mobil pria tersebut, ia tidak menoleh dan justru hanya jarinya saja yang bergerak menyuruhnya untuk masuk.

Lantas Yasmin masuk dengan hati yang kesal. Sangat kesal. Ia mengenggam tasnya dengan erat, mencurahkan segala rasa kesalnya disana. Menoleh ke arah Winara yang terlihat sangat santai tersebut. Tak ada pembicaraan diantara keduanya. Entah apa yang tengah dipikirkan oleh Winara, sementara Yasmin sudah jelas mengumpat seperti biasanya.

Yasmin mengernyitkan keningnya saat mobil Winara memasuki kawasan hotel. Beribu pikiran negatif pun memenuhi kepalanya. Ia menatap Winara dengan tatapan was-wasnya.

Bodohnya, Yasmin tetap mengikuti langkah kaki pria tersebut hingga mereka berada di lantai 25. Lantai dimana terdapat restaurant mahal—katanya. Karena Yasmin juga belum pernah kesini, dan sepertinya juga tidak akan. Apa lagi ia dan Bina selalu makan nasi gila di pinggir jalan. Jadi jelas ini bukan kelasnya.

Ia menatap aneh tempat ini, dan juga punggung lebar nan seksi milik Winara—astaga, Yasmin harus fokus.

Keduanya duduk berhadapan dengan pemandangan gedung-gedung pencakar langit. Yasmin tidak tahu alasan mengapa mereka disini, namun ia juga tidak kunjung bertanya pada Winara. “Kamu gak mau nanya kenapa saya ajak kamu kesini, Yasmin?”

“Kenapa, Pak?”

Winara menarik ujung bibirnya, lebih tepatnya pria itu menyeringai dan menundukkan kepalanya. Sedikit terkekeh mendengar pertanyaan Yasmin. Entah karena wanita itu bertanya kenapa atau karena Pak?

“Saya beneran harus tegasin perjanjian untuk gak panggil saya Pak lagi ya, Yasmin, ke kamu? Kamu mau apa kalo ngelanggar? Uang 10 juta ke saya atau saya kasih ciuman ke kamu?”

“Ciuma—Eh!” Yasmin menutup mulutnya. sialan. Sungutnya dalam hati. Mulutnya memang terkadang selalu tidak dapat bekerja sama. Rasanya Yasmin ingin memukul kepalanya saja. Benar-benar bodoh.

“Maksudnya, bukan gitu, Pa—Nara, iya maksud gak gitu. Aduh! Pokoknya saya gak mau ada langgar-langgar gitu deh. Lagi juga,” ucapan Yasmin terhenti saat fokusnya justru teralihkan ke kedua mata pria tersebut, yang sialnya menurut Yasmin sangat indah. Dengan terbata-bata, ia kembali melanjutkan ucapannya. “Kenapa ngajak saya kesini? Terus segala bilang saya sakit lagi.”

“Kan kamu emang lagi demam, Yasmin.”

Yasmin mengernyitkan keningnya. “D-demam? Saya sehat kok,” ujar Yasmin sembari menangkup wajahnya. Berusaha merasakan suhu tubuhnya, apakah benar demam atau tidak. Tapi ia sehat. Benar-benar sehat.

“Demam cinta.”

Najis, najis, najis. Kenapa cowok ganteng suka alay sih?! Aduh, geli banget dengernya.

Yasmin tertawa canggung seraya menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak terasa gatal tersebut, menyembunyikan wajahnya dan menjulurkan lidahnya seolah ia mual—mual mendengar ucapan Winara yang sangat menggelikan.

Sedangkan Winara justru tertawa. Entah karena malu atau ia memang merasa itu lucu. Orang tampan memang terkadang aneh.

Yasmin terkejut saat Winara secara tiba-tiba mengenggam tangannya dengan lembut. Ia menatap tangannya lalu menatap wajah pria tersebut dengan penuh tanda tanya. Maksud pria itu apa?

“I-iini maksudnya ap—”

Saya mau serius sama kamu, Yasmin.

Yakinkan Yasmin untuk tidak berteriak, atau pun loncat di tempatnya saat ini juga. Yakin kan Yasmin agar tidak tersenyum layaknya orang bodoh yang tengah kasmaran. Karena jantungnya berdetak sangat cepat.

Otaknya seolah berhenti bekerja. Berusaha keras mencerna ucapan pria tersebut.

Serius? Pria itu ingin serius dengannya? Maksudnya, menikah dengannya?

“Maksudnya gimana, ya?”

“Saya mau nikah sama kamu.” Yasmin semakin mengernyitkan keningnya. Menarik tangannya dari genggaman pria tersebut, lalu menyilangkan kedua tangannya di dada. “Mau nikah sama saya?” Winara mengangguk. “Yakin?” Sekali lagi Winara mengangguk.

“Saya punya syarat.”

Winara mengubah posisi duduknya, seolah pria itu tengah mempersiapkan diri akan syarat yang diberikan oleh Yasmin padanya.

“Saya mau kamu berusaha buat saya bisa jatuh cinta sama kamu dalam waktu satu bulan.”

Winara menaikkan alisnya, “Satu minggu.” Yasmin menggelengkan kepalanya. Mengangkat dagunya tinggi, wanita itu ingin sesekali mengerjai pria tersebut, dan ini adalah waktunya. “Satu bulan, atau gak sama sekali.”

“Deal.”

“Oke, deal.”

Dalam hati, Yasmin tertawa keras karena ia adalah saatnya ia membalaskan semua rasa kesalnya pada pria itu. Bagaimana Winara mengerjainya dulu. Yasmin akan membalasnya sekarang, sekaligus melihat keseriusan pria tersebut padanya.

“Makan yang banyak. Makanan disini enak-enak.”

Yasmin tersenyum kecil. “Beneran banyak, ya? Saya bisa sampe malem nih disini buat makan aja.”

Winara terkekeh mendengar ucapan Yasmin. “Kalo kamu kuat makan banyak, dan masih ngerasa laper. Saya gak masalah mau sampe pagi pun. Saya bakal tungguin kamu makan kok, Yasmin.

Yasmin akan mengawalinya dengan membuat dompet Winara menangis hari ini. Dan ia sangat bersungguh-sungguh akan makan banyak hari ini. Masa bodo dengan berat badan, terpenting ia makan enak dan menghabiskan dompet pria tersebut.

Jeje menundukkan kepalanya dalam-dalam saat kedua orang tuanya dan juga Haikal menatap keduanya dengan tatapan tak percaya. Sedangkan Haikal, pria itu menatap kedua orang tuanya sembari mengenggam tangan Jeje dengan erat.

Jujur, jantungnya berdetak dengan cepat saat ini. Ditambah keadaan sunyi ruang keluarga rumah Jeje semakin membuat suasana kian mencekik. Sebuah tamparan di layangkan di wajah Haikal oleh Ayahnya. Pria tua tersebut menampar wajah putra, menatap nyalang seraya berkata, “Haikal! Udah gila kamu, hah?!”

Haikal tahu jika ia memang gila dan jahat karena secara tidak langsung pria itu telah menghancurkan mimpi-mimpi Jeje yang telah wanita itu bangun sejak tadi, atau mimpi wanita itu yang mungkin tidak akan bisa digapainya lagi. Ia menghancurkan hidup seseorang. Dan itu adalah Jeje.

Sedangkan Ibunya justru memeluk tubuh Jeje dengan erat, menjauhkan tubuh wanita itu dari jangkauan Haikal, wanita tua itu menangis seraya memeluk tubuh Jeje dengan erat.

Dilain sisi, kedua orang tua Jeje justru tidak dapat berkata apapun. Hanya terdiam seolah mencerna apa yang terjadi saat ini. Tatapan mereka kosong. Hingga Sang Ibu menghampiri Jeje dan memeluknya dengan erat bersama dengan Ibunda Haikal. Jeje menangis dalam pelukan mereka dan melontarkan beribu kata maaf. Jeje pikir, maaf tidaklah cukup karena ia sangat mengecewakan kedua orang tuanya.

Ia merengkuh tubuh Sang Ibu dengan erat. Menangis kencang dan kembali mengucapkan kata maaf. Sedangkan Haikal, pria itu menatap Jeje yang tengah berpelukan dengan Ibunya lalu beralih menatap wajah Ibundanya yang juga menatap ke arah. Tergurat tatapan kecewa di kedua mata wanita yang ia sayangi itu.

Haikal mengecewakan dua wanita sekaligus. Dan itu membuat dadanya bergemuruh marah bercampur sedih. Ia kembali menolehkan kepalanya menatapa Ayahnya yang berada di hadapannya saat ini, masih dengan tatapan marahnya. “Terus kamu—kalian mau gimana?”

Haikal menarik nafasnya dalam-dalam sebelum kembali memantapkan diri menatap Ayahnya. “Haikal harus tanggung jawab, Yah. Haikal bakal nikah sama Jeje,” ujarnya lalu beralih menatap Jeje yang juga menatap ke arahnya dengan kedua matanya yang basah. “Haikal sama Jeje juga udah pikirin ini dari awal semenjak Haikal sama Jeje tau kabar ini. Kalo menurut Ayah ini kabar buruk, tapi bagi Haikal ini kabar baik—walaupun Haikal tau perbuatan Haikal ke Jeje itu salah. Jadi..”

Haikal menundukkan kepalanya. “Haikal mau minta maaf sama Ayah, sama Mama juga.” Tatapannya beralih ke kedua orang tua Jeje. “Ke Tante sama Om juga kalo Haikal lalai ngejaga Jeje. Tante sama Om selama ini udah percaya sama Haikal, tapi Haikal justru ngecewain. Maaf, Om, Tante.”

Semuanya terdiam setelah ucapan Haikal. Tidak tahu harus menjawab apa. Ini terlalu mendadak dan mengejutkan mereka semua. Terutama kedua orang tua Jeje. Mereka senantiasa mempercayai Haikal untuk menjaga Jeje. Tidak masalah jika pria itu menumpang tidur di kamar anaknya, karena mereka selalu percaya jika Haikal sama Jeje sudah mengenal cukup lama—sejak kecil, jadi tidak mungkin melakukan hal di luar pikiran mereka.

Tapi mereka salah. Kedua anak tersebut telah tumbuh dewasa, bukan anak kecil seperti dulu. Tidak seharusnya juga mereka tetap membiarkan Haikal dan Jeje bersamaan di dalam kamar berdua seperti itu.

Mereka semua juga salah karena tidak menjaga mereka. Ibunda Jeje mengusap punggung Jeje dengan lembut. “Mama gagal jadi orang tua, tapi kamu sama Haikal jangan sampe gagal jadi orang tua. Mama gak mau, Je.” Sontak tangisan Jeje kembali pecah. Ibunya tidak memarahinya. Seperti biasa, Ibunya selalu mengerti tentang dirinya. Namun, lagi-lagi ia mengecewakan keduanya.

“Om ucapin terima kasih karna kamu, Kal, udah berani ngomong langsung ke kita semua. Kamu berani ambil keputusan secepat mungkin.” Haikal menahan nafasnya, mengepalkan tangannya dengan kuat. Menahan keinginannya untuk menangis saat ini juga.

“Tapi, Om tetep kecewa sama kamu. Sama tindakan kalian berdua. Nasi sudah menjadi bubur. Kalian berdua harus tanggung jawab.” Haikal menganggukkan kepalanya. Matanya melirik ke arah Jeje yang memeluk Ibunya dengan erat, wajahnya basah oleh air matanya.

“Kalian udah cek ke rumah sakit?” tanya Ibunda Jeje. Jeje menganggukkan kepalanya. “Kemaren, Jeje sama Haikal langsung ke rumah sakit, Ma. Katanya, bayinya sehat, dan kondisi Jeje baik untuk ngandung.” Ibunya menganggukkan kepalanya lalu menatap kedua orang tua Haikal.

“Jadi, gimana, Bu, Pak? Anak kita udah punya pilihan untuk menikah. Kita sebagai orang tua juga gak bisa nahan.”

Ibunda Haikal pun setuju dengan ucapan Ibunda Jeje. Begitu pun Ayah dari Jeje, namun berbeda dengan Ayah Haikal yang masih tidak menerima kesalahan anaknya tersebut. “Oke, kita bisa nikahin mereka berdua. Tapi, saya masih penasaran sama pertanggungjawaban anak saya sendiri. Kamu mau tinggal dimana nanti?”

Haikal terdiam. Ia sudah mempunya rencana untuk itu semua, namun berada disituasi seperti ini membuatnya merasa tertekan dan gugup. “Kamu emang udah kerja? Kamu aja masih pake uang Ayah selama ini. Kamu sanggup biayain hidup istri sama anak kamu nantinya, Kal? Kuliah aja males-malesan. Gaya mau biayain hidup anak orang!”

“Haikal! Ini tuh hidup anak orang kamu hancurin tau gak?! Kamu bukan cuman ngancurin hidup Jeje, tapi juga orang tuanya, Kal. Ayah pernah ngajarin kamu jadi cowok kaya gini emangnya, hah?! Jadi kepala rumah tangga itu bukan cuman soal jadi suami sama jadi ayah aja! Banyak bebannya, kamu tau itu gak?! Kamu bisa ngejalaninnya?! Yakin bisa ngehidupin istri sama anak kamu? Bisa jadi kepala rumah tangga yang baik?! Rumah gak ada, penghasilan juga gak ada! Kamu yakin, Jeje bisa bergantung sama kamu?!”

Nafasnya memburu, memandang lantai dan tak berniat untuk mengangkat kepalanya sedikit pun. Ia akan terima ucapan Ayahnya tersebut, karena itu semua benar. Haikal selama ini hanya bergantung pada Ayah, tapi secara tiba-tiba ia harus mempunyai tanggungjawab.

“Yakin bisa, hah?!” Haikal semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Membuat Sang Ibu pun mengusap pundak Ayahnya, seolah mengatakn cukup untuk memarahi anak mereka mengingat saat ini keluarga mereka tengah mengalami musibah.

“Ya udah, sekarang Jeje istirahat aja, ya? Jangan banyak pikiran dulu, makannya juga dijaga,” ujar Ibunda Haikal dengan senyuman teduhnya. Tangannya mengusap rambut Jeje dengan lembut.

Kedua orang tua Haikal pun memutuskan untuk kembali ke rumah mereka meninggalkan Haikal yang tetap di rumah Jeje dan menatap Jeje beserta kedua orang tua wanita tersebut. Tak ada pembicaraan apapun selain tepukan hangat dari Ayah Jeje dan usapan hangat di punggungnya oleh Ibunda Jeje. Berbanding terbalik dengan kedua orang tuanya.

Hanya tinggal mereka berdua di ruang keluarga tersebut. Lantas Haikal menghampiri Jeje dan mengenggam kedua tangannya dengena erat. Memberikan kehangatan di tangan wanita itu laku membawa tangan Jeje ke depan bibirnya, memberikan sebuah kecupan hangat dan sebuah bisikkan, “Bisa, Je.. Kita bisa..”

Nafasnya memburu dan kembali menyembunyikan wajahnya di pangkuan Jeje—pria itu menangis, lagi. Untuk yang kesekian kalinya Haikal menangis di depan Jeje dan mengucapkan kalimat maaf yang sebenarnya Jeje tidak inginkan. Wanita itu paham jika ini bukan hanya kesalahan Haikal, namun dirinya juga.

Ini konsekuensi untuk mereka berdua. Dan Jeje pantas menerimanya. Ia mengusap perutnya dengan pelan.

Kedua orang tua mereka telah tahu kehamilannya. Reaksi tak terduga dari kedua orang tuanya membuat Jeje dapat bernapas lega, namun berbeda dari Ayahnya Haikal. Ayahnya memang terkenal keras, tapi Jeje tidak pernah mendapatkan amarah pria itu. Ia pikir, ia akan selamat tapi ternyata tidak.

Ia mengusap sudut matanya, mengusap punggung Haikal dan berkata, “Kal, udah.. Lo jangan gini terus. Gak perlu minta maaf terus-terusan. Lo kalo kaya gini nyakitin perasaan bayi kita, Kal. Kaya kehadirannya tuh beneran salah. Seenggaknya kita bisa pura-pura bahagia, Kal..”

Jujur, Jeje lelah sekali saat ini. Ia hanya ingin tidur dan kembali menangis—pelukkan Haikal mungkin sedikit membantunya sekarang. “Gue ngantuk, Kal. Temenin gue tidur.”

Haikal menganggukkan kepalanya dan mengangkat tubuh Jeje dalam gendongannya. Membawanya ke dalam kamar wanita itu dan membaringkannya dengan nyaman di atas ranjang. Tangannya bergerak mengelus rambut, pipi dan memijat pundak wanita tersebut.

Satu hal telah mereka lewati, orang tua mereka. Masih ada banyak hal yang akan ia hadapi setelah hari ini. Namun, Haikal berharap bahwa ia dan Jeje dapat melewati itu semua.

Winara Bikin Pusing.


Yasmin terdiam cukup lama memandang Winara tanpa tahu harus merespons pria itu apa. Ia terlalu bingung saat ini, ditambah pria itu secara tiba-tiba mengajaknya bertemu dengan teman-temannya. Dan sialnya, Winara mengatakan bahwa ia adalah supirnya. Membuatnya menatap Winara tak percaya. Sedangkan pria itu, tersenyum kecil menatapnya. Seolah tahu jika Yasmin akan marah padanya.

Jika begini, Yasmin memilih untuk mengatakan sakit, atau memberi alasan lain. Padahal Yasmin sudah bilang ia akan pergi bersama dengan temannya—walaupun bohong. Dan disinilah ia, bersama dengan teman-teman dari Winara. Entahlah, Yasmin tidak begitu mengerti dan tidak peduli. Ia terlalu malas untuk mencari tahu. Yang jelas, Yasmin cukup sebal dengan Winara yang menahannya agar tetap duduk di samping pria itu terus.

Yasmin menarik baju Winara lalu berbisik, “Pak, ini maksudnya apa sih? Kok saya diaj—”

“Yasmin. Jangan panggil Pak. Saya udah bilang jangan panggil Pak.”

“Terus saya panggil apa dong? Saya gak enak, Pak, kalo gak manggil Bapak tuh Pak.”

Winara tersenyum jahil lalu berkata. “Panggil sayang.”

Sedeng, gila, gak jelas, udah gak waras.

Ia mengernyitkan keningnya merasa jijik dengan pria tersebut. Saat ia tengah berdebat dengan Winara, ia menoleh mendengar suara pintu terbuka. Hingga ia menemukan sosok yang sangat ia kenali, sahabatnya, Bina.

Kedua matanya terbelalak. Tidak tahu harus bicara apa pada wanita tersebut. Bahkan, saat Bina bertanya padanya soal mengapa ia ada disana. Yasmin berbohong. Karena jujur, Yasmin merasa malu dengan Bina kalau wanita itu sampai tahu ia terlihat love and hate bersama dengan Winara.

Walaupun Bina akan biasa saja, tetap saja Yasmin malu karena sejak awal ia selalu mengatai pria tersebut—terkadang memujinya tampan sih. Tapi tetap saja, ia malu dengan sahabatnya itu yang tengah tersenyum lebar pada pria di samping, Jordan atau Mas Odan. Yasmin benci pria itu. Jelas, karena pria itu mencuri sahabatnya. Tapi tidak apa-apa, selagi Bina senang maka Yasmin ikut senang.

Yasmin meremat kedua tangannya diam-diam saat Bina maupun orang di sekitarnya tak melihat ke arahnya, namun saat itu ia merasakan sebuah genggaman di tangannya—Winara mengenggam tangannya dalam diam. Walaupun tidak sedang bicara dengan Yasmin, pria itu tetap membuatnya merasa tenang.

Percayalah, Winara melakukan hal tersebut saat hanya dirinya dan Winara berdua saja. Selebihnya, pria itu akan kembali seperti pria menyebalkan yang rasanya ingin Yasmin pukul saja kepalanya. Tapi, ia tidak tega.

Ia menghela nafasnya saat menatap Bina dan juga Jordan saling berbisik satu sama lain, ia tersenyum kecil saat melihat sahabatnya tersebut tersenyum malu-malu saat mendengar ucapan Jordan yang entah apa itu karena Yasmin tidak peduli, selagi pria itu membuat Bina senang, maka ia akan senang.

“Jangan diliatin, kamu mau juga?” Yasmin melirik Winara kesal, bukan karena kesal sebenarnya—ia malu, namun berusaha keras menepis perasaan tersebut.

Sedangkan Winara menyeringai dalam diam dan mengesap minumannya hingga tak tersisa, tangannya diam-diam bergerak menuju bawah meja dan mengenggam tangan Yasmin. Membuatnya langsung menahan nafas terkejut, dan juga.. Perutnya terasa menghangat. Ia malu sekali sekaligus senang. Senang? Yasmin harus mulai menyemburkan dirinya ke dalam air agar pikirannya kembali jernih jika seperti ini terus.

Yasmina rasanya ingin berteriak, lalu bercerita pada Bina betapa malunya dan senangnya ia saat ini. Karena Yasmin benar-benar ingin berteriak sekarang juga. Ditambah pria itu mengusap tangannya dengan ibu jarinya seolah menenangkan dirinya. Sial. Yasmin jatuh ke perangkap pria itu, seharusnya Yasmin tidak boleh menyerah begitu saja. Hatinya tidak boleh lemah. Ia harus kuat.

146


“Gue gak yakin sama rencana lo semua,” ujar Hatzel menatap ke-empat teman Risa secara bergantian, lalu menatap ke arah Darel seolah ia menyesali datang ke tempat ini.

Kana yang mendengar ucapan pria itu pun berdecak kesal. “Belum dicoba, anjir! Udah bilang gak yakin gak yakin aja lo!”

“Kana, ish!” tegur Lana.

“Ya, abisnya dia bilang gak yakin mulu. Belum dicoba, sih Galer juga belum kenal lebih deket sama Neneknya Kath, kan? Kenalan dulu siapa tau Neneknya jadi suka.”

“Lo sadar gak sih, lo manggilnya selalu Galer bukan Galen?” Zila tersenyum tak enak kepada Darel saat mendengar Ona menegur wanita tersebut. Terlihat jelas sekali jika Hatzel dan juga Darel terkejut mendengar panggilan Galen dari mulut Kana.

“Maaf, namanya susah banget sih.”

“Namanya gak susah, tapi emang otak lo aja sih yang susah berpikir jernih, Kan,” sungut Ona.

Hatzel mengusap dahinya melihat wanita di sana justru saling melemparkan kata kasar satu sama lain, ia menoleh ke arah Darel meminta pertolongan pria itu, namun Darel juga tidak tahu harus melakukan apa. “Gini..”

Sontak semua mata mengarah pada Hatzel. “Gimana kalo pas gue—Galen sama Darel ikut kalian ke rumahnya Risa nanti, dan Neneknya liat Galen. Kita bertiga langsung diusir gimana? Lo ada plan itu gak? Karna disini Neneknya Risa gak suka sama Galen, kan?”

“Bukan gak suka, tapi gak setuju.”

“Sok tau lo, Kan.” Zila menatap Kana kesal.

“Gak mungkin Neneknya Kath ngusir kalian. Dulu Neneknya Kath juga gak suka sama Kana gara-gara Kana tampilannya kaya cewek bandel, tapi gak disuruh pergi kok. Kita ber-empat masih dikasih kamar. Neneknya Kath tuh sebenernya welcome ke semua temen Kath, tapi cuma sedikit was-was aja.”

“Maksudnya?”

Lana mengangkat pundaknya. “Ya, you know lah gimana pandangan Neneknya ke orang kota. Tapi, kalo tau kalian temennya Kath, Neneknya pasti baik kok. Cuman gue juga gak yakin gimana perlakuan Neneknya Kath ke Galen nantinya.”

Semuanya terdiam mendengar ucapan Lana. “Tapi, gak ada salahnya kan ngecoba?”

139.

Galen membuka pintu rumahnya dan mendapati tak ada satu pun orang di ruang tengah seperti biasanya. Mungkin, Hatzel telah tertidur setelah menghubunginya, atau Darel yang juga terlelap dalam mimpi. Melvin? Mungkin pria itu sedang sibuk bersama dengan kekasihnya saat ini, Galen hampir jarang melihat wajah pria itu akhir-akhir ini. Arka? Apa lagi. Galen sudah tidak pernah melihat pria itu lagi.

Galen berjalan menuju dapur, membuka lemari es dan meraih satu botol air mineral. Meneguknya hingga habis dan berjalan menuju kamarnya, namun bertepatan saat dirinya berusaha membuka pintu, Hatzel keluar dari dalam kamarnya. Keduanya saling melempar tatapan. “Baru sampe, Gal?” Galen berdeham sebagai jawaban. Ia memutuskan untuk tidak masuk ke dalam kamarnya dan mengikuti langkah Hatzel.

Pria itu duduk di ruang tengah seperti biasanya, menyalakan televisi dan menaikkan kedua kakinya ke atas meja. Tipikal Hatzel saat tidak ada orang di sekitarnya. “Gak duduk, Gal?”

Galen menarik nafasnya, dan mendudukkan tubuhnya di samping pria itu. Ia tahu kemana ini akan berjalan. Hatzel akan membicarakan tentang Risa dengannya.

“Jadi?”

“Jadi?” ulang Galen mengikuti pertanyaan Hatzel yang ia tidak mengerti—lebih tepatnya, pura-pura tidak mengerti. Sedangkan Hatzel, pria itu berdecak kesal mendengar reaksi Galen. “Risa, Gal! Gue tuh nanya lo gimana soal rencana temen-temennya Risa itu?”

Galen mengangkat kedua bahunya. “Bangsat. Lo yang pacaran, gue yang pusing, Gal.”

“Jangan dibuat pusing, Zel.”

Hatzel mendesis, menatap Galen dengan tatapan tak percayanya. “Gue tuh mikirin lo banget, Gal. Mikirin lo diterima apa gak sama Neneknya.” Galen tersenyum kecil—berusaha menyembunyikan senyumnya dari hadapan Hatzel. Ia menyadari bahwa Hatzel sebegitu pedulinya padanya.

“Gue tau, Gal, lo panik sebenernya, kan? Tapi pura-pura cool, pura-pura kaya yaudah aja gitu, padahal gak.”

Benar. Galen tengah berpura-pura saat ini.

Namun, ia memilih untuk mengelak. Ia mendengus lalu membalas ucapan Hatzel. “Gue gak yaudah aja, Zel.”

“Terus?”

Gue bingung.”

Hatzel mengernyitkan keningnya. “Maksud?”

“Bingung, Zel. Gue lagi bingung.”

Kalo bingung, mending gak usah dilanjut, Gal.”

“Kenapa?” Galen mengernyitkan keningnya, alisnya menyatu seolah tak mengerti akan ucapan temannya tersebut.

“Karna lo sebenernya ragu.”

Ragu?

Galen tidak merasakan hal itu, ia lebih merasa bingung. Ia bingung dengan dirinya sendiri. Merasa bahwa dirinya semakin tak pantas untuk Risa, dan merasa bahwa semua yang ia lakukan akan sia-sia pada akhirnya. Galen menyukai Risa, sangat. Ia bahkan memikirkan masa depannya bersama dengan wanita itu, namun ada hal yang membuatnya bingung. Dirinya sendiri.

Apakah Galen pantas untuk Risa?

Apa Galen bisa bertanggung jawab penuh pada Risa?

Ia saja malas kuliah hingga detik ini. Sedangkan Risa, wanita itu akan menjadi seorang dokter hebat. Tak pantas untuknya yang tidak pernah serius dengan kuliahnya.

Pikiran akan hal seperti itu kerap memenuhi pikirannya akhir-akhir ini. Seharusnya sebagai pria, Galen tahu akan apa yang akan ia lakukan ke depannya, tapi ia justru merasa bingung dan seolah tersesat. Diam di tempat.

Ia menarik nafasnya panjang, menangkup wajahnya dengan kedua tangannya sembari bergumam, “Apa gue mundur aja, ya, Zel?

“Bangsat sih lo, Gal, kalo mundur.”


Zilla mendorong tubuh Kana sekuat mungkin hingga kedua kaki wanita tersebut terserat. Sedangkan Kana, ia berusaha keras menahan tubuhnya. Deja vu.

Di sisi lain, Ona dan Lana justru melipat kedua tangannya di depan dada menatap kelakuan kedua temannya tersebut. “Mau sampe kapan kaya gini lo berdua, hah?” tanya Ona dengan nada malas—lelah melihat kelakuan keduanya. Lantas Kana menunjuk ke Zilla, berusaha untuk menyalahkan temannya tersebut. “Zilla duluan tuh, Na. Bukan gue!”

Lana menggelengkan kepalanya. “Udah sih, orang ini cuman mau ngasih ide ke Galen doang. Lo kenapa takut banget sama tuh orang?” Kana dan Zilla sontak berdecak dan mendengus. “Liat aja nanti juga lo nge-down, Lan, ketemu sama sih Galer.”

Anjing, Kana! Berapa kali harus bilang sih namanya Galen pake n, bukan pake r!”

Kana tertawa keras. “Maaf. Abisnya mukanya mir—”

“Diem lo!” bentak Lana membuat Kana langsung terdiam dan menyipitkan kedua matanya menatap Zilla kesal.

Keempatnya berjalan menuju tempat Galen dengan Lana yang berada di depan ketiganya. Lana menatap Galen yang duduk membelakanginya, lalu tatapannya beralih pada kedua teman Galen yang Lana tahu salah satunya adalah teman Zilla. “Galen?” panggil Lana membuat Galen menoleh ke arahnya, lalu menatap Zilla, Ona dan Kana yang berada di belakang wanita tersebut.

“Woi, Darel!” teriak Zilla dengan senyum lebarnya saat melihat temannya berada di sana. Sedangkan Darel tersenyum kecil lalu berbisik pada Hatzel, “Zel, siap-siap. Nih orang berisik banget kalo ngomong.”

“Sekarang gue tau kenapa Galen minta kita temenin dia,” ujar Hatzel saat Zilla duduk di samping Darel dengan senyum lebarnya.

“Jadi, kenapa?” tanya Galen saat semua wanita tersebut telah mendudukkan tubuhnya. “Buset, to the point banget ya nih orang,” sungut Kana langsung mendapatkan pukulan dari Ona.

“Kita mau bantuin, Kath.” Galen menaikkan alisnya heran. “Bantuin dia biar lo dapet restu dari Neneknya Kath.” Galen mengangguk pelan.

Lana melirik ke arah Ona seolah meminta wanita itu untuk menjelaskan rencana mereka pada pria tersebut. “Jadi gini, Gal,” ujar Ona lalu menelan ludahnya membasahi tenggorokannya yang kering. “Kath tuh setiap liburan semester pasti pulang. Kita pernah ikut dia pulang ke rumah. Nah, maksud kita itu mau ngajak lo ikut ke rumahnya Kath. Sekalian kenalan sama Neneknya Kath lebih dalem gitu loh.” Ona melirik ke arah Lana, takut dengan reaksi pria tersebut.

“Emang Neneknya bakal oke kalo gue ikut?”

Ona menggaruk tengkuknya canggung lalu menatap Lana, menyuruh wanita itu yang menjawab. “Oke. Karna ada kita semua. Kalo lo mau dan udah deal sama rencana kita ini. Gue bilang ke Kath, nanti Kath bakal bilang ke Neneknya kalo temen-temennya ini mau ikut liburan ke rumahnya.” Tatapan Lana beralih pada Hatzel dan juga Darel. “Temen lo boleh ikut juga kalo mau.”

Galen menatap Hatzel dan Darel. “Lo berdua mau ikut emang?”

“Kemana?”

“Ke rumahnya Risa.”

Hatzel mengusap dagunya tampak tengah berpikir akan ajakkan Galen. “Kalo nanti gue ikut ke sana terus ternyata Neneknya Risa lebih suka sama gue, gimana, Gal?”

Bangsat,” umpat Galen.

“Dih najis, dikira cakep kali ya,” ujar Kana dengan pelan, namun masih dapat terdengar jelas di telinga Hatzel, membuat pria itu sontak menatap Kana dengan alis yang menukik marah. “Maksud lo apa?”

Kana mendengus. “Maksudnya, lo jangan ke pedean gitu kali. Lo tuh jelek.”

“Kana!” tegur Lana menatap kembarannya tersebut marah. Ona pun memukul pundak Kana dengan kencang, membuat Kana langsung mengusap pundaknya berusaha menghilangkan rasa pedih. “Ona, lo kok mukul mulu sih, sakit anjing!”

Lana menghela nafasnya. “Jadi, lo mau atau gak kita bantu, Gal?” Pria itu menganggukkan kepalanya, merasa yakin bahwa ia juga memerlukan bantuan teman-temannya Risa.

“Oke. Kalo lo oke, gue bakal kasih tau Kath besok. Kath bakal bilang ke Neneknya.” Tatapannya beralih pada Hatzel dan juga Darel. “Berarti lo berdua ikut, ya?”

Sementara itu, Hatzel dan Darel saling bertatapan, lalu mengangguk pasrah. “Oke, makasih udah mau bantuin.”

“Dari tadi lo semua di sini tapi belom kenalan sama gue, kan? Gue Hatzel, panggil aja Azel.”

Darel mengernyitkan keningnya mendengar Hatzel memperkenalkan diri pada teman-temannya Risa. “Zel?”

“Apa?” Darel menggelengkan kepalanya. Namun, Lana mengulurkan tangannya pada Hatzel seraya berkata, “Gue Lana, ini Kana kembaran gue yang sering ngomong kasar.”

“Lana, lo kalo kenalin kembaran lo ini yang bagus-bagus aja dong!”

“Gak ada yang bagus dari diri lo, Kan.”

“Dih, bangsat! Berantem kita!” Kana bangkit lalu mencekik leher Lana, seolah lupa dimana mereka berdua berada.

Sedangkan Zilla, ia menepuk pundak Darel lalu berbisik, “Maaf ya, Rel, temen gue tuh emang kampungan gini. Suka gak liat situasi berantem mulu.” Darel tertawa keras mendengar ucapan temannya tersebut. Lain hal dengan Ona yang berusaha memisahkan kedua temannya tersebut.

Galen tidak memikirkan temannya Risa yang tengah saling menarik rambut satu sama lain itu, melainkan pikirannya melayang menuju Risa. Entah, keputusannya untuk mendapatkan restu dari Sang Nenek memang benar atau tidak. Karena hubungan kedua yang masih terpaut sebentar itu. Ia merasakan tatapan Hatzel mengarah padanya, membuat ia membalas tatapan pria tersebut.

Bibirnya bergerak seolah berkata, 'Gak apa-apa, Gal. Dicoba aja dulu. Gue ikut temenin.'

Membuat perasaan Galen sedikit merasa aman dan yakin. Merasa bahwa pilihannya benar. Jika ia tidak mencobanya sekarang, apakah ia dan Risa harus berpisah? Haruskah ia mengalah pada restu yang tidak akan ia dapatkan, dan menjauh dari Risa?

122

Risa tersenyum saat menemukan sosok Galen berdiri depan pintu kelasnya—melambaikan tangannya pada kaca pintu. Membuat Risa melayangkan sebuah senyuman kecil pada pria tersebut. Ia menoleh ke arah Ona yang menyenggol tangannya, lalu membekap mulutnya menggoda temannya tersebut. “Cieee.. Kath, pangeran lo udah nangkring aja di depan pintu.”

Risa menyembunyikan wajahnya di balik tangannya, teman-temannya memang sedang gencar menggodanya akhir-akhir ini, dan itu selalu membuat wajahnya memerah seketika. Dan, Galen yang akhir-akhir ini juga selalu menghampirinya, mengajaknya jalan, makan, bahkan selalu menghabiskan waktu berdua. Galen juga selalu menemaninya belajar. Dan Risa yang terkadang mengikuti pria tersebut latihan.

Bagi Risa, hari bersama dengan Galen terasa semakin menyenangkan, membuatnya selalu merasa sangat gembira? Entahlah, Risa tidak begitu yakin kata apa yang dapat menggambarkan perasaannya saat ini. Ia kembali melirik ke arah pintu kelasnya, Galen menunjuk ke arah ponselnya seolah memberitahu Risa bahwa ia mengirimkan pesan pada wanita tersebut.

Dengan perlahan, Risa menyentuh layar ponselnya dan menemukan notif dari pria tersebut bertuliskan, 'semangat, Risa. Gue tunggu di depan ya'. Lantas, ia kembali mengangkat kepalanya dan langsung bertemu dengan Galen yang tersenyum padanya. Kakinya bergetar seolah tidak sabar untuk menunggu waktu, biasanya Risa paling kesal jika waktu kelasnya hanya tersisa sepuluh menit karena ia tidak ingin cepat mengakhiri kelasnya, namun sekarang ia merasa lebih kesal karena ia tidak sabar bertemu dengan Galen.

Betapa Risa sangat merindukan Galen. Padahal tadi pagi ia berangkat bersama dengan pria itu. Cinta benar membuatmu terlihat bodoh.

Ona menahan kaki Risa yang bergetar seraya berdecak padanya. “Kath, bisa diem gak? Lo mah excited mulu ketemu Galen, padahal tiap hari ketemu juga,” sungut One membuat semburat merah kembali muncul di wajahnya. “Gue kan juga jadi pengen punya pacar, Kath,” gumam Ona pelan namun masih dapat terdengar jelas di telinga Risa. Ia tersenyum mendengar keluhan temannya tersebut. Ia mengusap lengan Ona seraya berkata, “Ona, kamu kan punya banyak temen cowok, kenapa gak kamu ajak jalan aja kaya biasa?”

Ona tersenyum lebar. “Lo pinter banget sih, Kath, gue lupa kalo punya banyak cadangan. Gak jadi sedih,” balas Ona lalu menjulurkan lidahnya pada Risa, membuat keduanya sontak tertawa tanpa suara. Tanpa keduanya sadari, kelas telah berakhir membuat Risa dan juga Ona bergegas membereskan barang mereka. “Kath, lo sama Galen, kan?” Risa menganggukan kepalanya. “Kabarin ke grup ya lo kemana-kemananya nanti kaya biasa, masih takut gue kalo tiba-tiba nenek lo dateng, kita semua harus alesan apa.”

Risa mengangguk. “Iya, Ona. Makasih ya,” tuturnya sembari berjalan keluar kelas bersamaan. Ona memukul punggung Galen, tidak kencang namun cukup perih bagi Galen. Wanita itu menatap nyalang Galen. “Awas lo baliknya jangan malem-malem, kasian temen gue!” Galen tersenyum terpaksa pada Ona, lalu beralih menarik tubuh Risa dan merangkul pundak waita tersebut.

Anjir, definisi dunia milik berdua banget deh,” sungut Ona. “Kath, gue duluan ya! Jagain Kath lo, Gal, kalo gak dijagain lo gue pukul!” Ona pun meninggalkan keduanya. Sementara Galen pun merangkul bahu Risa, sedikit menurunkan tubuhnya dan menatap wajah wanita tersebut dengan senyum lebarnya. “Jadi, makan apa hari ini?”

Risa mengetuk-ngetuk dagunya seolah ia tengah memikirkan makanan apa yang cocok untuk keduanya makan sore ini—kebetulan Risa juga sangat lapar. “Aku bosen, Gal, makan ayam dari kemarin. Kamu mau makan apa? Aku mau coba makanan pilihan kamu deh,” ujar Risa, dan justru membuat Galen yang sekarang berpikir ingin membawa wanita tersebut kemana.

Sembari melangkahkan kakinya menuju mobilnya, Galen memberikan beberapa pilihan pada Risa, namun wanita itu terus menggelengkan kepalanya—tidak mau dengan yang dipilihkan oleh Galen. Memang wanita sering kali bingung dengan makanan yang pada akhirnya kembali ke pilihan awal, ayam.

Galen tersenyum kecil melihat Risa yang tersenyum tidak nyaman padanya, padahal Galen juga tidak masalahnya jika Risa secara tiba-tiba mengubah atau kembali ke pilihan awalnya. Seperti saat ini. “Galen, maaf,” gumam Risa saat keduanya justru duduk berhadapan di depan sebuah gerobak bertuliskan 'Mie Ayam'.

Galen menarik pipi Risa dan tersenyum kecil sembari mengerutkan hidungnya, ia merasa gemas melihat Risa di hadapannya saat ini. “Gak apa-apa, Ris, gue juga mau makan mie ayam, kok. Gak usah ngerasa bersalah gitu,” ucapnya dengan lembut dan semakin membuat Risa merasa tidak nyaman. Pria itu mengusap tangannya dengan lembut.

Jika begini terus, tidak mungkin kan kalau Risa tidak menyukai pria itu? Bahkan, Risa sepertinya sudah jatuh terlalu dalam pada Galen. Pada momen ini, Risa dapat melupakan Neneknya.

Ah, Neneknya.

Ia kembali teringat ucapan sang Nenek beberapa hari yang lalu, menyuruhnya untuk kembali ke rumah. Jika Neneknya menyuruhnya kembali ke rumah sebelum mengenal Galen, Risa akan pulang dengan cepat. Tapi saat ini, Risa ragu. Mengapa ia harus pulang dan harus meninggalkan kuliahnya di sini hanya karena Neneknya tidak menyukai Galen? Menurut Risa, itu adalah alasan teraneh yang dibuat oleh sang Nenek.

“Hei, kenapa ngelamun, hmm? Itu mie mekar nanti, Ris.” Ucapan Galen membuat Risa tersenyum kecil dan kembali melahap mie ayam di hadapannya. Rasa gurih mienya pun mulai tidak terasa enak di mulutnya setelah memikirkan sang Nenek.

Bisa kah Risa merasakan ini terus tanpa mengkhawatirkan sang Nenek? Bisa kah Risa tetap bersama dengan Galen dan tidak meninggalkan kuliahnya?

Ia menatap wajah Galen. Mengamati setiap sudut wajah Galen. Betapa tampannya pria tersebut, dan betapa beruntungnya Risa dipertemukan pria sepertinya. Galen mengangkat wajahnya dan menaikkan alisnya heran saat menemukan Risa yang menatapnya intens. “Kenapa, Ris? Muka gue, ada yang aneh?” Risa menggelengkan kepalanya lalu menipiskan bibir—menahan senyumnya.

Ia menundukkan kepalanya seraya bergumam, “Kamu ganteng, Galen.”

Semburat merah pun muncul di wajah pria tersebut. Ia tidak berekspetasi bahwa Risa akan mengatakan hal tersebut secara tiba-tiba padanya di saat seperti ini. Dimana mereka juga tengah berada di kerumuman orang banyak. Galen sedikit memajukan tubuhnya, lalu berbisik, “Awas, Risa, di mobil lo gak selamat sih.”

Risa semakin tersenyum lebar. Keduanya tertawa renyah disela menikmati makan sorenya. Tanpa berpikir apa yang akan terjadi pada keduanya di esok hari.


Galen masuk ke dalam club malam, mencari keberadaan temannya tersebut, Darel, di tempat biasa pria itu duduk. Ia menatap tajam ke arah Darel yang tengah mengesap alkoholnya seorang diri. “Rel?”

Darel terkesiap dan meletakkan gelasnya di atas meja dengan panik, ia menghela nafasnya saat melihat sosok Galen berada di hadapannya. “Dimana?”

“Lo mau marahin?” Galen tidak menjawab apapun. Hanya terdiam menunggu Darel menjawab pertanyaannya. “Gal, gue tanya dulu,”

“Lo mau marahin atau gak?”

Galen berdecak kesal. “Urusan gue, Rel, mau marahin dia atau gak.”

“Urusan gue juga, Gal. Emosi lo jelek.”

Galen menarik nafasnya dalam lalu menghembuskannya kasar. Menatap Darel dingin. “Gue cari sendir—”

“Disana. Ujung sana.” Darel menahan tangan Galen, kedua matanya menatap pria itu seolah memohon untuk tidak melakukan hal yang kelewat batas. “Jangan aneh, Gal. Jangan emosi. Inget!”

“Gue tau, Rel. Gue paham. Udah gue mau kesana dulu.”

Darel melepaskan tangannya, lantas Galen berjalan cepat menuju tempat Risa. Ia mengeraskan rahangnya saat menemukan wanitanya duduk sendirian di sana—tak ada siapapun yang menjaganya. Galen mempercepat langkah kakinya lalu menarik lengan Risa. “Bangun.”

“Eh?!” pekik Risa saat seseorang menarik lengannya, namun berubah menjadi tatapan terkejut melihat sosok Galen di hadapannya—begini jadinya jika ia melamun. Bahkan ia tidak tahu jika ada Galen di depannya. “Galen? Kamu kok dis—”

“Seharusnya, gue yang nanya gitu, Ris. Lo ngapain disini?”

Risa menghindari tatapan Galen saat pria itu menatapnya tajam, tak menunggu jawaban Risa, Galen menarik tubuhnya. Saat melewatin kerumunan, pria itu beralih merangkul pundak Risa—menjaga wanita itu agar tidak tersentuh orang lain.

Keduanya keluar dan berhenti di depan mobil Galen. Pria itu membuka pintu mobil tanpa berucap satu kata pun. Sedangkan Risa, ia tengah meremat jemarinya saat melihat Galen memutari mobil dan masuk ke tempatnya.

Menundukkan kepalanya saat pria itu menatapnya dengan tajam. Galen tidak berucap apapun selain menatap wajah Risa saat ini. “Ngapain, Ris?” Risa menggelengkan kepalanya. “Gue nanya ngapain, kok geleng kepala?”

Risa mengangkat wajahnya, menatap Galen namun secepat kilat membuang wajahnya kembali—Galen begitu menyeramkan saat ini. Tatapannya berubah. Tidak hangat seperti biasanya. “Itu.. Aku sama y—”

“Dipaksa ikut?” Risa menggeleng. “Mau sendiri?” Risa mengangguk, membuat pria itu langsung mengusap wajahnya frustasi.

“Risa, liat sini,” ujar Galen menyuruh Risa untuk duduk menghadap ke arahnya. Wanita itu sempat menolak walaupun akhirnya menurut menatap ke arah Galen dengan takut.

Namun, Galen justru menangkup wajahnya dengan lembut, tatapannya seketika berubah menjadi hangat kembali.

“Ris,” panggilan Galen membuat Risa menatap lurus ke arah kedua mata pria itu. “Gue taunya lo tidur loh sekarang, gak tau kalo lo lagi di tempat kaya gini.”

Jari bergerak mengusap pipinya dengan lembut. “Maksudnya, gue gak ngelarang lo kesini, Ris. Gak apa-apa kalo mau kesini, tapi kasih tau jangan diem-diem kaya gini.” Risa mengangguk pelan lalu menundukkan kepalanya.

“Gue taunya lo tidur, aman di Apartment temen lo,” ucap Galen. “Kalo ada kejadian gak enak gimana? Terus gue gak tau lagi, gue gak bisa siap-siap buat jagain lo. Gue bakalan nyalahin diri sendiri nantinya.”

Galen mengangkat dagunya, tatapanya kembali bertemu dengan netra pria itu. “Jangan lagi ya, Ris? Kasih tau ke gue lo kemana. Jangan boong, oke?”

Risa mengangguk. Ia memejamkan kedua matanya saat Galen mengecup keningnya dengan lembut. “Mau masuk lagi?”

“Gak.”

“Kenapa? Udahan? Temen lo gimana?”

“Aku telfon mereka nanti.” Galen menganggukkan kepalanya. “Gue anter lo pulang.”

Saat tengah menarik seatbeltnya, gerakkan terhenti saat mendengar ucapan Risa. “Aku nginep rumah kamu boleh?” Ia terdiam dan hanya bisa menatap kedua mata Risa heran, lalu mengangguk pelan. Mungkin, Risa sedang membutuhkannya.

Masih menjadi pertanyaan bagi Galen, mengapa kekasihnya mau pergi ke club malam. Apakah ada yang menganggu pikiran wanita tersebut? Atau, Risa ingin menghilangkan stressnya?

Galen khawatir dengannya. Sangat khawatir.


Risa berjalan mengikuti langkah kaki ke empat temannya, berbeda dengan Ona dan Lana yang berjalan disampingnya. Kedua temannya tersebut menghimpit tubuhnya agar terhindar dari dorongan orang orang. Sedangkan Kana, ia berada di belakangnya. Seolah menjaga dirinya.

Risa menatap heran saat langkahnya berhenti di sebuah pintu, terlihat seperti bukan club malam. Lana yang mengerti tatapan Risa pun berbisik, “Ini tuh namanya jalur orang dalem, Kath. Sih Zila kenal orang dalem.”

Ia mengangguk paham lalu kembali melangkahkan kakinya menuju ke dalam. Tatapannya mengedar ke arah sekitarnya dengan kening yang mengerut tidak nyaman. Tangannya bergerak menutup telonganya saat dirinya langsung disapa oleh suara besar.

Mereka semua duduk di sebuah meja yang telah Zila pesan, wanita itu menatap ke empat temannya dengan tatapan antusias. “Gue duluan, ya!” Sebelumnya mereka menjawab, Zila terlebih dahulu meninggalkan mereka semua.

Membuat Ona berdecak kesal melihat kelakuan temannya tersebut. Ia mengalihkan pandangannya pada Kana yang secara tiba-tiba ikut bangkit dengan senyum lebarnya, “Gue nyusul Zila. Bye semua!”

Lagi. Ona menggelengkan kepalanya tak percaya, begitu pun Lana. Lana mengalihkan pandangannya kepada Risa yang terlihat tidak nyaman tersebut, ia tersenyum seolah menenangkan temannya. “Kath, tempatnya kaya gini. Gak suka, kan?”

Risa menggaruk tengkuknya canggung lalu mengangguk pelan. Ia mendekatkan bibirnya menuju daun telinga Lana seraya berucap, “Kepala aku udah pusing, Lan!”

Lana tertawa mendengar ucapan Risa, berbeda dengan Ona yang menatap keduanya menelisik. Tatapannya mengatakan, gak ngajak gue?

“Lo gak pesen, Lan?”

“Lo mau, Na?” Ona mengangguk. “Kalo gitu gue pesen, lo tunggu disini jagain Kath, ya?”

“Iyalah!”

Lana meninggalkan keduanya yang duduk berdekatan tersebut, Risa yang mencari sosok Zila dan Kana membuat Ona menyentuh pundaknya, mengalihkan tatapan wanita itu. “Zila sama Kana, kalo udah kesini bakal susah dicari, Kath. Kecuali, mereka udah mabok banget, ya baru ketauan dimana.”

Risa meringis. “Kalo mereka kenapa-napa gimana, Na?”

Ona menggelengkan kepalanya. “Gak, kok. Zila sama Kana pinter jaga diri.” Risa masih tidak percaya dengan ucapan Ona membuat wanita itu menghela nafasnya. “Ini club punya om nya Zila. Pada kenal dia semua disini, Kath, jadi aman.”

“Tapi, kalian biasanya kesini?” Ona menggelengkan kepalanya. “Zila malah gak mau kesini, takut ketauan bokapnya. Tapi karna bawa lo, jadi kesini. Biar ada yang ngawasin juga.” Risa menganggukkan kepalanya bersamaan dengan Lana yang datang menatap keduanya heran.

Ketiganya memilih untuk saling bercerita satu sama lain, melupakan bahwa mereka tengah berada di keramaian orang yang tengah asik menggoyangkan pinggulnya kesana kemari—seperti Zila dan Kana.

Risa kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling club malam ini. Tatapannya mengitari seluruhnya dan mengamati satu per satu. Melihat bagaimana banyak orang yang tidak sadarkan diri membuat Risa hanya bisa terdiam. Bahkan, beberapa kali ada orang asing duduk di meja mereka. Membuat Ona langsung mengusirnya, dan juga dibantu oleh beberapa penjaga disana—kebetulan bawahan omnya Zila tersebut.

Ia meringis saat mengingat ia telah berbohong pada Galen dan mengatakan bahwa dirinya telah tidur di Apartment Lana dan Kana. Jika Galen tahu, apa yang akan pria itu lakukan padanya? Risa penasaran apakah Galen akan memarahinya? Atau, justru tidak sama sekali?

Lana tiba-tiba bangkit dan berkata, “Sumpah, gue gak tahan. Gue mau pup dulu, ya?” Ona mengernyitkan keningnya merasa jijik lalu menyuruh wanita itu untuk segera pergi.

Menyisakan Risa dan Ona yang berada di meja tersebut. “Mau kesini lagi gak, Kath?” Risa menggelengkan kepalanya.

“Gak deh, Na. Sekali ini aja. Aku gak suka deh.”

Ona menganggukkan kepalanya lalu mengulurkan tangannya—terdapat gelas kecil ditangannya. Minuman keras. “Mau coba?”

Risa kembali menggelengkan kepalanya. “Aku udah pernah coba, Na. Gak suka.”

“Kapan?”

“Pas awal ketemu Galen, aku minun alkohol dia.”

Kedua mata Ona melotot terkejut. “Pantesan ih, Kath!”

“Kenapa, Na?”

“Gak jadi.”

Dilain sisi, seorang pria menyipitkan kedua matanya menatap ke arah meja Risa, mengamati wajahnya dengan seksama hingga ia terbelalak dan mengeluarkan ponselnya buru-buru. Menghubungi satu nama yang entah akan marah atau, ia tidak tahu.

Ia kembali menatap ke arah Risa sembari jarinya mengetik di atas layar ponselnya, mengirim pesan kepada temannya, Galen.


Risa mendengar ucapan tentang Angga—calon suaminya tersebut, akhir-akhir ini. Angga dan Risa tidak lebih hanyalah Adik dan Kakak. Teman kecil. Hingga Sang Nenek mengusulkan ide yang sangat mereka tidak setujui. Angga dan Risa mengatakan pada Nenek untuk tidak menjodohkan keduanya, tapi saat itu keduanya hanya bisa terdiam karena tidak ada yang bisa melawan Neneknya.

Begitu pula Angga. Kehidupannya bergantung pada keluarga Risa—atau lebih tepatnya, Nenek dan Kakeknya. Rasa bersalah menghampiri dirinya karena Angga mau tidak mau harus menerima perjodohan ini. Perjodohan yang menurutnya sangatlah aneh ini.

Ia tidak lagi berinteraksi dengan Risa seperti dahulu. Ia membatasi diri karena ia takut jika Risa menyukainya. Hanya disaat yang penting saja, Angga akan mengajak Risa berbicara satu sama lain.

Hingga akhirnya, Angga harus berkuliah di luar kota, membuatnya terpisah dari gadis itu. Memikirkan bagaimana keadaan Risa dibawah tekanan Sang Nenek membuat rasa bersalah Angga semakin besar.

Ia tiba kembali ke rumah, bertemu dengan Risa dan juga Nenek dan Kakek. Lalu ia menemukan seorang pria yang mengatakan bahwa dirinya menyukai Risa. Ia tidak masalah dengan pria itu jika menyukai Risa, ia justru akan berterima kasih karna telah menyukai Adiknya, tapi semuanya sirna setelah mendengar kalimat yang membuat Angga kesal.

“Bodynya, Kath, tuh bagus banget diliat, pasti enak deh.”

Tanpa berpikir dua kali, Angga menghampiri orang tersebut dan melayangkan beberapa pukulan kepadanya. Tidak. Angga tidak pernah mengatakan pada Risa apa yang sebenarnya yang membuat memukul pria tersebut, ia hanya bisa jika ia akan selalu memarahi semua pria yang mendekati Risa.

Sejak saat itu, kepercayaan Risa padanya mulai menghilang perlahan-lahan. Tak ada lagi sapaan semangat dari wanita tersebut saat melihatnya pulang ke rumah, atau tak ada lagi cerita bagaimana wanita itu menjalani hari-harinya. Angga kehilangan kepercayaan Risa. Tapi ia tidak peduli, selagi ia bisa menjaga wanita tersebut dari pria brengsek, Angga tidak masalah.

Sampai, dua tahun yang lalu Risanya kembali. Ia menceritakan bagaimana ia mempunyai keempat teman yang baik di tempatnya berkuliah. Angga cukup bersyukur mendengarnya. Dan memutuskan mengawasi wanita itu dari jauh. Angga bersyukur Risa mempunyai teman yang baik, namun bukan berarti ia menyukai teman-teman wanita itu. Angga tidak menyukainya jika boleh jujur. Mereka semua terlalu membatasi Risa dengan pergaulan bebas—ya, itu baik tapi bukan berarti Risa tidak boleh mengetahuinya sedikitpun.

Risa sudah dewasa dan harus mengetahui hal tersebut. Untuk menjaga dirinya. Lalu ia mendengar kabar dari Sang Nenek yang mengatakan Risa mempunyai seorang kekasih, Angga tidak berpikir kembali untuk datang menemui wanita tersebut.

Galen.

Namanya Galen.

Congkak. Terlihat tidak menyukai siapapun. Selalu menatap orang lain dengan tatapan yang menyebalkan. Angga tidak menyukainya, namun ia tepis perasaan tersebut saat melihat kedua mata Risa saat menatap pria aneh itu.

Ia memang tidak menyukai Galen, tapi Risa menyukainya. Maka, Angga harus menyukainya juga.

Ia juga perlu—ah, tidak, tapi harus, berterima kasih pada Galen. Karena pria itu yang akan menghentikan perjodohan ini. Yang pada akhirnya,

perjanjiannya dengan Sang Nenek akan selesai.