saacho66


Risa menatap Galen saat mobil pria tersebut berhenti di depan Kosannya. Ia tersenyum pada Galen, begitu pun pria tersebut. Galen mengusap rambutnya dan berkata, “Yaudah, masuk. Soal tadi jangan terlalu dipikirin, ya? Nanti kita cari lagi jalan tengahnya gimana. Sekarang tidur aja dulu.” Risa mengangguk kecil.

Ia membuka seatbeltnya, membuka pintu mobil namun gerakkannya terhenti dan justru membalikkan tubuhnya. Dengan secepat kilat, Risa mengecup pipi Galen lalu membuka pintu mobil pria tersebut terburu-buru.

Sedangkan Galen, terdiam—termangu sesaat. Setelah mendapatkan kesadarannya kembali ia tertawa melihat Risa berada di luar mobilnya melambaikan tangan lalu masuk ke dalam Kosannya. Ia menggelengkan kepalanya tak percaya.

Saat ia tengah bersiap kembali menjalankan mobilnya, ia terhenti melihat siluet pria tinggi berada di hadapan Risa. Pria itu mengusap rambutnya. Rambut Risa. Rambut yang selalu ia usap dan juga ia acak saat merasa gemas dengannya.

Galen terdiam. Tidak berniat sedikit pun menjalankan mobilnya kembali, melainkan memilih untuk terdiam di sana dan mengawasi Risa. Pertanyaannya, siapa pria itu?

Galen mengernyitkan keningnya saat ia melihat Risa menarik tangan pria itu masuk lebih dalam, membuat beberapa pikirannya mulai berpikir aneh.

Ia keluar dari dalam mobil, menghampiri Risa dan pria itu yang tengah duduk di ruanh tamu Kosan duduk berhadapan. “Kak Angga, aku juga gak pengen sebenernya dari dulu, ta—”

“Siapa, Ris?”

Risa mengangkat wajahnya saat mendengar suara Galen, ia menatap pria itu terkejut. “Kamu belum pulang? Aku kira udah jalan,” ujar Risa membuat Galen menoleh ke arahnya lalu kembali menatap ke arah Angga.“Siapa, Ris?”

Risa tersenyum kecil lalu menatap ke arah Angga dan Galen bergantian. “Galen, ini Kak Angga. Kak Angga, ini Galen.”

Angga tersenyum lalu bangkit, meraih tangan Galen dan mengajaknya berjabat tangan. Senyum pria itu terlihat lebih manis dari pada senyuman miliknya, membuatnya ingin mendengus saat itu juga.

“Angga. Calon suaminya Kath.”

Galen menatap Risa datar lalu kembali menatap ke arah Angga datar. Ia tersenyum kecil padanya seraya berkata, “Galen. Pacarnya Risa.”

Angga tertawa. Mendudukkan bokongnya dan tetap tertawa, membuat Galen menatapnya penuh tanda tanya. “Kath, aku kira kamu boong bilang punya pacar, ternyata bener. Bagus deh. Kalo gitu kita beneran gak akan nikah,” ujar Angga.

“Terus Nenek gimana, Kak?”

Angga mengusap dagunya perlahan. “Susah sih, Kath. Aku juga takut Nenek gak mau. Kamu sendiri kan yang paling tau Nenek kaya gimana kalo udah yakin sama pilihannya,” Angga berhenti menatap Risa teduh. “Tapi, dicoba dulu aja. Aku juga udah ada pacar, Kath. Inget gak cewek yang aku ceritain dulu?” Risa mengangguk antusias. “Aku udah jadian sama dia. Aku serius sama dia, Kath.”

Angga menatap Galen sekilas lalu kembali menatap Risa. “Caranya cuman satu, Kath. Kamu yakinin Nenek kalo kamu itu gak perlu dijodohin dan bisa cari pasangan sendiri. Dan, juga,” Angga menatap Galen dengan senyum kecilnya. “Lo harus yakinin Neneknya Kath kalo lo itu pantes buat Kath.”

“Tanpa disuruh juga gue lakuin,” ucap Galen datar.

Angga menatap Risa terkejut—seolah mengejek Galen. “Pacar kamu dingin banget, Kath.” Risa tersenyum pada Angga lalu beralih pada Galen yang sejak tadi belum mendudukkan tubuhnya di atas sofa. Membuat Risa menepuk sofa di sampingnya, menyuruh Galen untuk duduk di sana. Pria itu dengan patuh duduk di sana dan menatap Angga datar.

“Aku tebak, Nenek bilang dia kaya berandal.” Risa membelalakan kedua matanya menatap Angga yang seolah sangat paham pada Neneknya. “Kak Angga?”

“Aku udah tau pikiran Nenek kamu sebenernya, Kath. Makanya aku ajak ketemu hari ini juga. Nenek nyuruh aku pindah ke kampus kamu, dan kamu tau aku gak bisa. Aku udah mau lulus, Kath. Ditambah Nenek cerita sama aku soal pacar kamu ini.” Angga melirik Galen sekilas lalu kembali melanjutkan ucapannya, “Nenek bilang pacar kamu cuman mau manfaatin kamu aja. Pacar kamu bukan orang baik-baik. Males. Sombong—congkak. Gak rapih. Gak ada sopan santun. Tipikal emosian. Aku gak percaya omongan Nenek karna kamu tau sendiri kan Nenek kaya gimana.”

“Sekarang aku liat langsung pacar kamu, pertama kalinya aku percaya omongannya Nenek.”

“Kak Angga!”

Angga tertawa mendengar Risa memanggil namanya dan juga menatapnya panik. Beda lagi dengan pria di samping wanita tersebut, pria itu menatapnya tajam seperti ingin menusuknya. “Bercanda.”

“Maksud aku, dia gak seburuk yang Nenek bilang, Kath. Kecuali, congkaknya sih.” Angga tersenyum melihat Galen yang menatapnya tajam. Tipikal pria yang gampang terpancing menurut Angga.

“Yaudah, aku balik deh ya. Udah malem, kamu juga mau istirahat kan pastinya. Calon dokter harus banyak istirahat, Kath, nanti bakal sibuk banget kan kamu.” Risa mengangguk dan ikut bangkit saat Angga bangkit dari atas sofa—bersiap untuk pulang. “Kak Angga kesini naik apa?”

“Kereta.”

“Kereta ada jam segini, Kak?”

Angga mengangkat kedua bahunya . “Gak tau, aku belum liat. Tapi kayanya aku cari Hotel aja. Besok pagi baru balik.”

“Dari sini pesen ojek, Kak?” Angga kembali mengangguk. “Bareng gue aja.” Angga dan Risa menatap Galen saat pria itu menawari tumpangan pada Angga.

“Dapet tumpangan gratis. Ayok, anterin gue cari Hotel ya!” ujar Angga membuat Risa menatap Galen tidak enak.

Ia mendekati Galen dan berbisik pada pria tersebut, “Maaf ya, aku ngerepotin kamu.” Galen menggelengkan kepalanya seraya tersenyum kecil, tangannya bergerak mencubit pipi wanita tersebut dan berkata, “Gak, Risa. Gak ngerepotin sama sekali kok. Udah lo tidur aja, ya? Besok masih ada kelas, kan?” Risa mengangguk. “Besok gue jemput.”

Angga yang melihat interaksi keduanya pun tersenyum kecil. Setidaknya, jika bukan ia yang harus menjaga Risa, ada orang lain yang akan dengan senang hati menjaga wanita tersebut. Bukan berarti Angga tidak mau menjaga Risa, hanya saja ia menganggap wanita itu sebagai Adik saja, tidak lebih.

“Kath, aku balik dulu, ya? Kamu jangan lupa makan.”

Keduanya berjalan masuk ke dalam mobil. Meninggalkan Risa yang menatap keduanya dengan perasaan yang entah ia sendiri pun tidak mengerti.

Hari ke Sebelas ; Ketemu Nenek.


Risa menegakkan tubuhnya, masih terbalut oleh selimut di depan dadanya. Ia menatap Galen yang berada di sampingnya, pria itu menyingkirkan helaian rambut seraya tersenyum kecil. “Galen, tas aku ada dimana ya?” tanya Risa saat tak menemukan letak tasnya berada. Sedangkan Galen bangkit dan meraih tas Risa yang sebelumnya ia taruh dalam lemari pakaiannya.

Risa meraih tasnya dan merogoh dalam tas, mencari keberadaan ponselnya. Saat melihat isinya, ia melebarkan kedua matanya—panik. Terdapat banyak telepon dan pesan dari teman-temannya. Bertanya dimana keberadaannya.

Hingga ponselnya kembali bergetar tanda telepon masuk yang sebelumnya ia menggunakan nada getar. Risa mengangkat telepon dari Lana tersebut, “Halo, Lana?”

“Woi, Kath! Lo dimana? Sama Galen?! Ih, sumpah kita semua cariin lo! Sih Galen juga gak bisa dihubungin!”

Risa menatap Galen yang terlihat penasaran tersebut. “Iya, Lana. Aku masih sama Galen, ada apa ya?”

“Kath! Lo pasti kaget dengernya! Nenek lo di sini, an—”

“Kath! Kita bilang lo lagi survey buat praktikum, terus hp lo lowbat, anjir! Lagi Nenek lo kenapa tiba-tiba bisa dateng ke sini, sih?!” pekik Kana merebut ponsel Lana.

Risa loncat dari atas ranjang Galen, melupakan bahwa ia hanya mengenakan kaus kebesaran milik Galen. Ia rapihkan tasnya dan mengenakannya dengan terburu-buru. “Terus, Nenek aku dimana sekarang?”

“Di Kosan lo! Nenek lo mau nunggu di Kosan katanya, padahal gue suruh ke Apartment gue aja biar lo aman. Aduh, Kath! Gue panik banget! Sekarang dimana?”

“Rumahnya Galen,” ujar Risa seraya melirik ke arah Galen. Ia menyiratkan pada Galen untuk mengantarnya pulang, dan tanpa sadar ia membuka pintu kamar Galen, melupakan bahwa ia masih mengenakan pakaian pria tersebut. Sontak, Galen menarik tangan Risa, menghalau wanita itu keluar dari dalam kamarnya. “Galen, Nenek aku nunggu di Kosan. Kalo gak cepet yang ada nanti Nenek cur—”

“Iya, tau. Tapi, lo pake celana dulu, Ris.”

Terdengar gelak tawa di sebrang sana. Lana dan Kana mendengar ucapannya dengan Galen tadi, membuatnya meringis malu menatap Galen. “Pake celana dulu, Kath. Astaga, bisa-bisanya panik sampe lupa belom pake celana,” gelak tawa Lana dan Kana semakin kencang.

“Kath, kasih hpnya ke Galen deh, mau ngomong.”

Risa memberikan ponselnya pada Galen, dan langsung diterima oleh pria tersebut. “Kenapa?”

“Anterin Kath balik buruan! Neneknya ada di Kosan! Siap—”

“Siap-siap kepala lo di gorok sama Neneknya Kath, Galen!! Mampus lo!” teriak Kana di sebrang sana dengan kencang. Sedangkan, Galen menjauhkan ponselnya dan memberikannya pada Risa.

“Lana, Kana, kalo gitu aku siap-siap dulu ya takut Nenek nunggu kelamaan,” ujar Risa.

“Iya, Kath. Semangat ya, semoga Nenek lo gak marah. Bye!”

Risa menyimpan ponselnya ke dalam tas lalu menatap Galen tidak enak, menggaruk tengkuknya canggung seraya memandang kedua kakinya. Sementara itu, Galen bergerak mengambil pakaian Risa dan menyerahkannya pada wanita tersebut. “Baju lo. Ganti di sini aja, gue tunggu luar, ya?” Galen mengacak rambutnya lalu beranjak dari sana. Meninggalkan Risa yang memeluk pakaiannya, memikirkan apa yang Neneknya akan lakukan nanti.

Selamat, Risa.


Risa membuka seatbeltnya dengan tergesa-gesa, ia menoleh ke arah Galen dengan panik. “Galen, makasih ya udah anterin. Aku langsung keluar, ya? Dah!” pamit Risa dengan nada panik. Wanita tersebut tidak menunggu ucapan Galen selanjutnya dan langsung masuk ke dalam Kosannya.

Terlihat Sang Nenek tengah duduk di depan Kosannya. Kedua matanya bertemu dengan Sang Nenek pun berteriak senang, “Nek!”

“Kamu kemana, Risa? Nenek nunggu di sini dari tadi,” ucap Sang Nenek seraya menarik tubuh Risa dalam dekapannya. Risa pun ikut memeluk tubuh Sang Nenek—penuh kerinduan. “Nenek, kok gak kabarin Risa kalo mau ke sini?”

“Nenek cuma sebentar aja, kok. Cuma mau mampir liat kamu, Ris, sekalian angkut beras ke sini.” Risa mengangguk paham. Namun, seakan lupa dengan satu hal, “Ini siapa, Risa?”

Kedua matanya terbelalak saat mencoba menjauh dari tubuh Sang Nenek, berbalik dan bertemu dengan sosok Galen yang tengah tersenyum padanya dan juga Sang Nenek. Dengan gelapan, Risa berucap, “Ini teme—”

“Saya Galen, Nek. Pacarnya Risa,” potong Galen seraya mengulurkan tangannya, bersalaman pada Sang Nenek sebagai tanda kesopanan.

Jantungnya berdegup kencang mendengar ucapan Galen. Menunggu reaksi Sang Nenek dengan waspada. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun, hanya terdiam menatap Galen. Hingga kedua ujung bibirnya tertarik, Neneknya tersenyum pada Galen seraya berkata, “Wah, ganteng ya, Risa, pacar kamu..”

Neneknya menoleh ke arah Risa dengan senyuman yang sangat Risa pahami. Ia ikut tersenyum pada Neneknya lalu menoleh ke arah Galen dengan senyum kecil. “Nenek udah ketemu kamu, Risa. Jadi, Nenek pulang, ya.”

“Eh? Nenek gak nginep di sini?” Neneknya menggelengkan kepala. “Kang Ari, nungguin Nenek dari tadi. Kasian.”

“Tapi, udah malem, Nek.”

“Biasanya juga pagi buta, Risa. Kamu makan yang banyak, ya? Kurus gini, Nenek jadi khawatir,” ucap Sang Nenek seraya memijat tangan Risa dengan lembut. Senyumnya tidak menghilang saat menatap wajah Sang Cucu. “Nenek, pulang, ya?” Risa memberengut sedih lalu memeluk Neneknya erat.

Sedangkan Galen, hanya terdiam menatap keduanya dengan senyum kecilnya. Hingga pandangannya Sang Nenek beralih pada Galen. Neneknya tersenyum teduh padanya seraya meraih jemarinya, memijatnya perlahan dan berucap, “Jagain, Risa, ya? Risa baru ngerasain ngerantau, jadi dia gak punya siapa-siapa buat jagain dia. Nenek minta tolong, ya.” Galen mengangguk dan senyum lebar.

Keduanya mengantar Sang Nenek hingga ke depan Kosan Risa, hingga mobil yang ditumpangi mulai menjauhi tempatnya berdiri. Membuatnya merangkul pundak Risa dan mengusapnya perlahan saat ia mendengar Risa menangis pelan hingga berubah menjadi lebih kencang. Ia menarik tubuhnya dan mendekapnya erat.

Terkekeh pelan seraya mengusap rambutnya—berusaha menenangkannya. Ia mengecup puncak kepala Risa saat tubuh wanita tersebut semakin bergetar. Dengan sesegukkan, Risa berucap, “Kalo tadi aku angkat telfon Nenek lebih cepet, pasti ketemunya lebih lama.”

“Aku tidurnya terlalu kebo ya, Galen?” Pecah sudah tawa yang sejak tadi Galen tahan mendengar pertanyaan Risa. Membuat wanita tersebut memberengut kesal saat mendengar Galen yang menertawainya. “Udah nangisnya, ya? Besok ada kelas, kan?” Risa mengangguk seraya mengusap kedua matanya.

“Nanti sembab matanya.” Risa mengangguk cepat layaknya seorang anak kecil yang baru saja jatuh dari atas sepeda dan ditenangkan dengan iming-iming dibelikan sepotong es krim.

Galen mengacak rambutnya gemas lalu mengusap matanya dengan lembut. Mendekatkan wajahnya, mengamati wajah Risa yang terlihat bengkak saat ini. “Gue pulang sekarang, gak apa-apa?”

Risa mengangguk. “Gak apa-apa, Galen. Udah malem juga loh ini, serem di jalannya.” Galen mencubit pipi Risa gemas melihat wajah tersebut berusaha mengatur suaranya yang masih sesegukkan tersebut.

“Nanti telfon aja kalo ada apa-apa, biar gue bisa langsung ke sini.” Risa mengangguk lagi. Ia mendorong tubuh Galen pelan seraya berkata, “Yaudah, kamu pulang gih. Nanti kemaleman lebih serem loh jalannya.” Galen tersenyum lalu mengecup pipi Risa seraya berkata, “Good night, Risa! Bye! Mimpi indah, ya!” Galen mencubit pipinya lagi lalu beranjak dari sana.

Masuk ke dalam mobilnya, membuka kaca mobik seraya melambaikan tangannya pada Risa dengan senang. Mobil tersebut pun jalan menjauh hingga ia tidak dapat melihat mobil Galen lagi dalam pandangannya sehingga ia memutuskan untuk masuk ke dalam Kosannya.

Ia menarik nafasnya dalam-dalam saat kembali mengingat senyuman Sang Nenek. Ia sangat mengerti senyuman macam apa itu. Ia meneguk ludahnya saat merasa kerongkongannya terasa sangat kering. Ia melirik ponselnya saat mendapatkan sebuah pesan dari Sang Nenek.

Saat itu, Risa tahu. Tidak ada yang mulus dalam kehidupan ini. Risa terdiam dan memilih untuk membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Menatap langit kamarnya sendu.

Lagi.

Neneknya kembali melakukan hal ini padanya. Membuat Risa memejamkan kedua matanya, menahan segala rasa ingin marah. Risa harus kembali menahannya, atau

justru harus melepaskannya?

Hari ke Sebelas ; Baju Robek.


Risa merapihkan buku-bukunya dan memasukkan beberapa barang yang dapat masuk ke dalam tasnya. Sedangkan Lana dan Zila, hanya dapat menatap Risa yang terlihat sangat bersemangat. Keduanya saling bertatapan lalu kembali menatap Risa. “Ketemu Galen lagi, Kath?” Risa mengangguk tanpa melihat kedua temannya tersebut.

Tangan Lana langsung melingkari lengan atas Risa, menyandarkan pipinya pada lengan wanita tersebut. “Gue kangen lo banget, Kath. Tapi, lo sekarang jalan mulu sama Galen. Tapi, gak apa-apa gue seneng lo jadi punya cowok sekarang.”

Risa tersenyum kecil saat Zila turut memeluk lengan atasnya, namun ia menoleh cepat pada Lana yang mencolek tangannya berulang kali lalu menunjuk ke arah depan pintu kelasnya. Galen.

“Udah dijemput bebeb Galen tuh, Kath. Bye! Nanti malem pulangnya ke Apartment gue, ya?” Risa mengangguk kecil. “Nanti aku telfon kamu ya, Lan.”

“Sip! Bye, Kath! Semoga lancar ngedate yang kesekian kalinya.” Ucapan Lana membuat Zila tertawa keras. Wanita itu menarik tubuh Risa ke dalam pelukannya seraya berkata, “Bye, Kath! Jangan lupa pake pengaman kalo mau main sam—Awh! Sakit, Lana!”

“Mulut lo dijaga ya, Zila!”

“Kenapa sih, Lan? Kan safety first can be fun,” ujar Zila menaik turunkan alisnya menggoda Risa yang wajahnya sudah memerah malu. Sekali lagi, ia melambaikan tangannya pada Lana dan juga Zila sebelum menghampiri Galen yang berdiri di depan pintu kelasnya.

Pria itu tersenyum pada Risa seraya mengacak rambutnya. Kedua matanya bertemu dengan kedua teman Risa, Lana dan Zila, menatap keduanya datar lalu merangkul pundak Risa dan beranjak dari sana.

Galen menatap Risa yang berada di sampingnya seraya tangannya mengusap pipi wanita tersebut. “Udah makan?”

“Belum.”

Galen mengernyitkan keningnya, “Kok? Katanya tadi dichat udah makan, Risa.” Wanita itu seolah tertangkap basah hanya dapat tersenyum pada Galen. Membuat pria menarik pipinya gemas. “Yaudah, cari makan aja, ya?” Risa mengangguk.

Keduanya masuk ke dalam mobil pria tersebut, saat ia dan Risa tengah mengenakan seatbelt, seseorang mengetuk kaca mobilnya, Hatzel. Pria tersebut terlihat sangat panik, lantas Galen membuka kaca mobilnya dengan khawatir. “Kenap—”

“Gal, cek ke rumah deh sekarang! Gue lupa udah matiin kompor atau belom tadi!”

Galen berdecak kesal. “Lo bego banget sih, Zel! Kalo rumah meledak gimana?!”

“Makanya, tolong cek sekarang! Lo mau balik, kan?” tanya Hatzel, namun kedua matanya menemukan sosok Risa pun tersenyum kecil. “Eh, Risa, maaf ya ganggu waktunya sama Galen. Tapi, ini genting banget gue lupa sama kompor tadi pas berangkat.”

Galen menatap Hatzel kesal karena kecerobohan pria tersebut. “Yaudah, gue balik! Besok kalo mau keluar liat dulu, Zel!”

“Iya, sorry. Makasih ya, Ris, Galenku tersayang.”

Hatzel pergi, menyisakan Galen yang menoleh ke arah Risa tidak enak. “Ke rumah gue gak apa-apa, kan? Takut beneran kompor gak dimatiin sama Azel.” Risa mengangguk mengerti.

“Gak apa-apa, kok. Kalo mau nanti aku numpang masak di rumah kamu aja.” Ucapan Risa membuat Galen menganggukkan kepalanya dan menjalan mobilnya dengan cepat menuju rumahnya. Jantungnya cukup berdegup kencang—takut jika Hatzel benar belum mematikan kompor.


Galen menghela nafasnya saat menemukan bahwa ternyata kompor di rumahnya telah mati. Tidak seperti yang ditakutkan oleh Hatzel. Ia memandang Risa saat menemukan wanita tersebut tengah duduk di meja makan. “Ternyata udah mati,” ujar Galen pada Risa.

Wanita tersebut tersenyum kecil dan bangkit dari atas kursi meja makan mendekati Galen. “Berarti makan di sini atau di luar? Kalo di sini, nanti aku yang masakkin.”

Galen terdiam. Ia berjalan menuju lemari es, membuka lebar-lebar, lalu tangannya seolah menyiratkan Risa agar mendekatinya. Menyuruh wanita tersebut untuk melihat sendiri isi lemari esnya. “Bahannya ada ini aja. Ada yang bisa lo masak dari sini?”

Risa menganggukkan kepalanya dan menoleh ke arah Galen dengan senyum kecilnya. “Aku masak nasi goreng, gak apa-apa, kan?” Galen mengangguk. “Makan apa aja gue suka, kok. Apa lagi hasil buatan lo.” Galen mengurai helaian rambut Risa saat wanita itu melihat isi lemari es milik Galen. Hanya terdapat empat butir telur sebenarnya yang Risa lihat, maka itu ia memutuskan membuat nasi goreng. Namun, tangan Galen yang berada di kepalanya ini membuat otaknya seolah berhenti bekerja.

Ia tiba-tiba lupa ingin melakukan apa. Bahkan, tangannya untuk meraih dia butir telur pun rasanya sangat susah. Risa merasa gugup berada sedekat ini dengan Galen. Seolah mengerti dengan apa yang Risa alami, Galen tersenyum kecil lalu menjauhkan tangannya dari kepala wanitanya. Membiarkan Risa memasak dengan tenang.

Namun, sepertinya Galen tidak dapat mewujudkan ucapannya, karena pada kenyataannya, Galen berdiri di samping Risa. Menatap wanitanya yang tengah menggoreng nasi tersebut. Membuat Risa beberapa kali salah gerakkan, ia sangat gugup karena mata pria tersebut mengawasi pergerakkannya.

Risa ingin sekali menyuruh Galen untuk duduk saja, dan membiarkannya membuat nasi gorengan dengan tenang, namun ia merasa tidak enak. Akhirnya, dari awal ia membuat nasi goreng hingga selesai pria itu berada di sampingnya. Ia juga langsung mengambil kedua piring di tangannya dan menaruhnya di atas meja. Tak lupa, Galen juga mengambil dua buah gelas berisikan air putih untuknya dan juga Risa.

Keduanya makan dalam diam—walaupun Galen beberapa kali menatap lekat ke arah Risa, membuat wanita itu menundukkan kepalanya menyembunyikan wajahnya yang memerah malu.

Setelah makanan keduanya habis, Galen langsung membawa kedua piring tersebut dan mencucinya. Membuat Risa langsung menarik pakaian Galen secara spontan, menahan Galen agar ia mencuci piring keduanya.

Tapi, Risa salah menarik baju Galen, karena baju pria tersebut langsung robek. Keduanya terdiam dan saling menatap satu sama lain. Risa melirik ke arah bagian tubuh Galen yang sedikit terbuka tersebut. “Maaf! Aku gak sengaja!” pekik Risa menatap Galen merasa bersalah.

Pria itu menggelengkan kepalanya berulang kali, seolah mengatakan pada Risa bahwa dirinya tidak apa-apa. Namun, Risa merasa tidak enak pada pria itu dan menarik baju Galen. Meminta pria itu untuk melepaskannya. “Kamu punya alat jahit gak? Nanti aku jahit. Aku bisa jahitin kok. Jadi, bajunya dibuka aja, ya?” tanya Risa dengan nada panik.

Sedangkan Galen, ia terdiam lama. Apa lagi saat Risa menarik ujung bajunya ke atas dan tangan wanita itu mengenai perutnya. Galen terdiam. Tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan, bajunya telah di lepaskan oleh Risa. Dengan gelagapan, Galen berkata, “Aaa-ada di kamar gue, seben—”

“Ayok kita ke kamar kamu, Gal! Maaf, aku gak sengaja. Aku kalo jahit cepet kok.”

Risa menarik tangan Galen agar pria itu menunjukkan letak kamarnya dimana. Ketika sampai di depan kamar pria itu, tanpa berpikir apapun Risa membukanya dan duduk di atas ranjang Galen dengan baju pria tersebut berada di tangannya.

Galen meraih alat jahitnya yang berada di dalam laci mejanya. Memberikannya kepada Risa, tubuhnya tidak terbalut apapun kecuali celana jeansnya. Ia melipat kedua tangannya di dada saat Risa dengan cepat memasukkan benang pada jarum, dan mulai menjahit bajunya. Risa terlihat sangat takut dan juga panik. Membuat Galen merasa bersalah, padahal wanita itu tidak perlu merasa panik apa lagi merasa takut padanya.

Lagi pula, baju itu bisa dijahit kapan pun. Galen bisa mengganti pakaiannya karena ia sedang berada di dalam rumahnya sendiri. Mungkin Risa merasa panik jadi wanita itu tidak memikirkan hal tersebut dan langsung ingin menjahitnya. Ia tertawa kecil menatap Risa.

“Udah! Ah, maaf ya, Galen. Aku gak sengaja beneran de—”

“Risa?” Risa yang tengah mengulurkan baju pria tersebut menariknya kembali ke dalam pelukannya. Apa lagi saat ia menyadari bahwa pria itu tengah bertelanjang dada. Ia meneguk ludahnya susah payah lalu menatap Galen.

“Padahal gue masih punya banyak baju. Jadi, gak perlu cepet buat dijahit. Tapi, makasih ya, manis.” Galen mengusap rambut Risa seraya tertawa renyah mengingat kepanikan Risa.

“Bajunya udah balik lagi kaya awal. Tapi, gue gak bisa balik kaya awal lagi. Gimana dong?”

Saat itu, Risa hanya dapat terdiam dan menutup mulutnya. Meremat baju Galen yang berada di dekapannya dengan erat. Menatap kedua mata Galen dengan seksama. Ia mengigit bibir bawahnya saat menyadari bahwa ia hampir melakukan sebuah kesalahan.

“Risa? Jadi, gimana?”

Hari pertama; Malam sekian.


Risa melirik ke arah Lana dan juga Kana yang tengah tertidur lelap. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Jelas jika keduanya sudah terlelap seperti itu. Namun, Risa mendapatkan telepon oleh Galen yang menanyakan apakah ia masih bangun atau tidak. Sebenarnya, Risa sudah tertidur tadi, tapi mendengar suara dering ponselnya berbunyi ia menjadi terbangun.

Membaca pesan Galen bahwa pria itu berada di bawah Apartment Lana dan Kana.

Membuat Risa tanpa berpikir apapun mengenakan kardigan miliknya dengan cepat. Sekali lagi ia melirik ke arah Lana yang sebelumnya tidur memeluk tubuhnya, ia mengusap rambut wanita tersebut dan berjalan keluar.

Ia merapatkan kardigannya seraya mengusap kedua matanya yang masih merasa mengantuk tersebut. Berjalan dengan hati-hati dan perlahan.

Hingga ia menemukan sosok Galen berada di depan gedung Apartment Lana dan Kana. Pria itu tengah memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya, menatap kedua kakinya seraya menendang kecil kerikil di bawah kakinya.

Saat mengangkat kepalanya, ia langsung tersenyum lebar pada Risa—memperlihatkan deretan giginya. “Gue bangunin lo, ya?” Risa menggelengkan kepalanya pelan walaupun sebenarnya pria itu memang membangunkannya.

Tangannya terulur mengusap kening wanita tersebut dengan lembut. “Muka lo keliatan banget baru bangun tidur itu,” ujar Galen diiringi sebuah tawa. Membuat Risa menundukkan wajahnya malu.

“Kamu kenapa ngajak ketemu?”

“Gue kangen.”

“Tapi, kita baru ketemu tadi.”

Galen mengangkat pundaknya. “Gak tau, kayanya gue kangen lo setiap menit deh.” Galen tertawa lalu mengacak rambut Risa. “Yaudah, naik lagi gih.”

Risa mengernyitkan keningnya, “Kamu nyuruh aku turun cuman kaya gini aja?”

“Emang lo pengen gue ngapain?”

Risa menggigit bibir bawahnya—merasa gugup saat Galen mendekatkan wajahnya, tangan pria itu melepas gigitannya pada bibir bawahnya dengan ibu jari. Kedua matanya mengamati wajah Risa dengan senyum teduhnya.

“Oh, lo pengen gue cium, Risa?”

Risa dengan panik mengibaskan tangannya berulang kali—tidak bermaksud seperti yang Galen katakan. Galen tertawa namun tetap mendekatkan wajahnya pada wajah Risa. “Lo cantik banget sih, Ris.”

Semburat merah muncul di wajahnya mendengar ucapan Galen. Menolehkan kepalanya ke samping sembari melihat keadaan sekitar, apakah ada orang yang melihat mereka berdua atau tidak. Sepi. Tidak ada siapapun. Saat ia kembali menoleh ke arah Galen, hidungnya justru bertabrakan dengan pria itu.

Membuat jantungnya seketika berdegup kencang—sangat kencang. “Boleh?”

Risa menatap kedua mata Galen secara bergantian lalu mengangguk pelan. Ia membuka matanya lebar-lebar saat pria itu semakin mendekat hingga ia dapat merasakan deru nafas pria tersebut menabrak di depan bibirnya.

Hingga ia dapat merasakan bibir pria tersebut melumat bibirnya dengan lembut. Menghantarkan hawa panas di perutnya. Dadanya seolah ingin meledak karena antusias dan juga rasa bahagia. Bagaikan kupu-kupu yang berterbangan bebas dalam tubuhnya. Ia tidak menutup kedua matanya, karena ia merasa tidak nyaman awalnya. Namun, saat merasakan sebuah usapan di pipinya, ia memejamkan kedua matanya.

Bulan pada malam itu menjadi saksi bagi keduanya.

Risa yang kembali jatuh pada pria tersebut, dan Galen yang menjatuhkan dirinya pada Risa. Ia meremat jaket pria tersebut saat Galen memundurkan wajahnya, menatap wajah Risa dengan senyum lebarnya. Mengacak rambut Risa dan mengenggam tangan wanita tersebut. “Gue anter ke atas, ya?” Risa mengangguk saat pria itu mengenggam tangannya dan berjalan kembali masuk ke dalam gedung.

Udara sangat dingin malam itu, tapi mengapa Risa merasa hangat?

Hari Pertama; Sarapan Bareng.


Risa kembali berteriak di balik bantalnya, menggerakkan kakinya menendang udara sekitar dengan tendangan kecil. Ia akan makan bersama Galen hari ini. Cukup membuatnya sangat bersemangat.

Hingga suara deringan telepon membuat perhatiannya teralihkan, ia meraih ponselnya dan mengangkat panggilan tersebut. Ona.

“Kath? Nanti jam setengah 8 gue jemput, ya!”

Risa meringis melupakan bahwa dirinya selalu berangkat bersama dengan Ona. Mungkin, karena sudah sering bersama Ona sampai lupa jika semalam ia sudah bilang akan berangkat bersama dengan Galen. “Ona, maaf. Aku hari ini dijemput sama Galen.”

“Ohiya! Gue lupa, Kath! Kebiasaan ih!” teriak Ona di sebrang sana lalu tertawa keras. “Dia jemput lo jam berapa?”

Risa tersenyum kecil. “Dia bilang mau kesini jam 6, mau ngajak makan juga.”

“Udah langsung makan bareng?”

Risa bergumam, menatap pantulan dirinya di cermin lalu berkata, “Ona, aku malu deh mau ketemu dia lagi. Apa aku langsung berangkat sendiri aja, ya?”

“Lo mau kabur gitu maksudnya?”

“Iya.”

“Dasar. Lo malu banget ya, Kath? Gue bisa aja jemput lo sekarang banget, tapi jatohnya kaya main tarik-ulur sama dia. Kasian.” Ona menghela nafasnya di sebrang sana. “Walaupun emang dia deserve sih lo gituin, tapi kasian. Makanya, kemaren ditanya lo siap gak kalo tiba-tiba harus ketemu dia setiap hari? Karna keliatannya tuh cowok mau serius sama lo.”

Risa duduk di atas ranjang, “Aku gak tau, Na. Menurut kamu, kalo aku deket sama dia gimana?”

“Ya, gak apa-apa sih. Lumayan ganteng. Terus nih ya, Kath, kayanya orang kaya sih.” Ona tertawa keras membuat Risa ikut tersenyum lebar mendengar suara tawa sahabatnya. “Bercanda. Tapi, menurut gue sih dia oke, Kath. Paling masalahnya satu sih,”

“Nenek sama Kakek lo gimana kalo tau lo deket sama cowok? Mereka bakal oke?”

Ah ya, Risa lupa jika Nenek dan Kakeknya melarang dirinya untuk dekat dengan seorang pria di sini. Menurut Neneknya, tak ada pria yang dapat dipercaya, begitupun juga Kakeknya yang sangat melarangnya dekat dengan seorang pria. Membuat Risa kembali ragu untuk merespons Galen. Takut jikalau Nenek dan Kakeknya tahu. “Kath? Kath?”

“Kenapa, Na?”

“Kalo lo beneran suka sama dia, gue sama yang lain bakal bantuin buat ngomong sama Nenek lo. Tenang aja, gue bakal bantuin jelasin kalo tuh cowok baik, tapi gue mau liat dulu sebulan ini perlakuan dia ke lo gimana. Kalo ternyata ga sesuai sama yang kita kira, lo siap tinggalin dia ya, Kath?”

Risa mengangguk pelan walaupun tahu jika Ona tidak dapat melihatnya mengangguk padanya. Ia mengerti maksud Ona. Jika Galen bukanlah pria baik, Risa harus menjauh dari pria itu. Bukan baik dari mata teman-temannya, tapi dari matanya sendiri. Jadi, Risa harus mulai melihat apakah Galen orang yang tepat untuk dekat dengannya atau tidak. Pria yang tepat untuk dikenalkan pada Nenek dan Kakeknya atau tidak.

“Tapi, bukannya lo udah dijodohin, ya?”

Dan Risa lupa akan hal itu.


Galen tersenyum saat mendapati bangunan kosan Risa mulai terlihat dari sini, ia memberhentikan mobilnya tepat di depannya lalu menghubungi wanita itu. Hingga senyumnya semakin lebar melihat sosok Risa berdiri di balik pintu gerbang, mengernyit menatap mobilnya.

Risa berdiri di samping mobil Galen, membuat pria membuka kaca mobil dan menyapa wanitanya. “Pagi! Masuk. Mau langsung cari makan, kan?”

Risa menggaruk tengkuknya canggung melirik kearah pintu gerbang dan kembali melirik ke arah Galen. “Kita mau cari sarapan sekarang?”

Galen mengangguk. “Iya, ayok masuk.”

“Aku ambil tas dulu.” Lantas, Risa kembali masuk ke dalam kosannya, meraih semua barang yang harus ia bawa dan kembali ke depan setelah mengunci semuanya ia berlari kecil menghampiri mobil Galen. Membukanya dan duduk di samping pria itu.

Memasang seatbeltnya terburu-buru, sementara kedua mata pria itu mengamati setiap pergerakkan kecilnya hingga Risa menoleh kearahnya dan tersenyum kecil. “Udah.”

“Udah?” Risa mengangguk.

“Suka makan bubur, kan?” Risa mengangguk. “Kamu mau makan bubur?”

“Gue biasanya gak sarapan sih, tapi pengen makan bubur aja. Lo gak apa-apa kan kalo makan bubur?”

“Gak apa-apa, kok.” Galen mengelus pipinya dengan ibu jarinya sembari tersenyum kecil pada Risa, menepuk puncak kepalanya lalu kembali menegakkan tubuhnya seraya menatap lurus, senyumnya masih tak hilang disana membuat Risa menatap Galen heran karena pria itu tak kunjung menjalankan mobilnya.

“Eh, kenapa? Muka aku ada yang aneh, ya?” Galen terkekeh melihat Risa yang mengusap pipinya seraya melirik sekilas dan kembali mengusap pipinya.

Galen menggelengkan kepalanya, dan menyandarkan tubuhnya—masih dengan menatap Risa. “Cuman kagum aja, kok ada orang secantik lo ya.”

Semburat merah muncul di wajah Risa, ia memalingkan wajahnya menghadap kaca mobil—tidak mau menatap Galen yang tengah tersenyum padanya. Galen mengacak rambut Risa seraya tertawa renyah dan memutuskan menjalankan mobilnya menjauhi bangunan kos Risa.

Keduanya terdiam dan terlihat fokus dengan pikiran masing-masing. Galen yang dengan serius menatap jalanan, sedangkan Risa yang menghindari tatapan Galen dengan melihat ke arah jendela mobil. Ia terkesiap dan menoleh ke arah Galen saat merasakan tangannya digenggam oleh pria itu tanpa menoleh kearahnya.

Kedua mata Galen menatap lurus ke arah jalanan, sedangkan tangannya mengenggam tangan Risa dengan erat—terkadang ibu jarinya mengusap tangan wanita itu dengan lembut. Sukses membuat perutnya kembali menghangat, menghantarkan rasa kupu-kupu di dadanya. Tanpa sepengetahuan pria itu, Risa tersenyum kecil.

Galen memberhentikan mobilnya di sebuah parkiran, di sampingnya terdapat gerobak bubur yang ramai. Membuatnya berdecak dan menatap Risa—masih dengan tangannya yang mengenggam tangan wanita itu. “Kayanya rame, gak ada bangku. Makan di mobil aja, ya?” Risa mengangguk.

“Gue pesen dulu. Lo ada yang gak mau dipake gak? Kaya, kacang mungkin?”

Risa menggeleng, “Aku pake semua aja. Sebelumnya, makasih ya.” Galen mengangguk sebelum mengelus pipinya dan turun dari dalam mobil. Membuat Risa langsung menghembuskan nafasnya panjang mendapat perlakuan tersebut dari Galen.

Berada didekat Galen, membuat Risa harus menahan nafasnya dan mengatur detam jantungnya. Pria itu sangat tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Dan Risa tetap menyukai hal tersebut.

Galen kembali dan membawa dua buah mangkuk, memberikan satu mangkuk tersebut pada Risa. Keduanya makan dalam diam sampai Galen mengusap ujung bibirnya yang terkena bubur. Jantungnya kembali berdetak cepat. Tidak berani menoleh ke arah Galen. Namun, tampaknya Galen tidak menganggap hal tersebut sebagai hal besar dan melanjutkan makannya dalam diam.

Sedangkan Risa, ia harus mati-matian mengatur nafas dan jantungnya. Selama berkuliah, Risa tidak tahu jika cara kerja jantung akan bertambah cepat hanya karena sebuah elusan di pipi, atau jangan-jangan Risa tidak normal, ya?

Galen melirik ke arah jam tangannya. “Masih ada satu jam lagi. Mau langsung gue anter ke kampus atau—”

“Ke kampus aja, gak apa-apa, kan?” Galen mengangguk. “Lo semangat banget ya kuliah.”

“Iya, soalnya kata Nenek harus cepet selesai biar bisa cepet pulang.”

“Lo tinggal sama Nenek?” Risa mengangguk. Galen tersenyum lebar. “Kalo gitu gue harus cepet anter cucu kesayangan Nenek biar bisa cepet selesai kuliah.”

“Biar gue bisa ketemu Nenek lo. Dan ngelamar lo secepatnya.” Galen tertawa dan mengacak rambut Risa gemas.

Sedangkan jantung Risa kembali berdetak cepat. Sangat cepat. Mendengar kata nikah dari mulut pria itu, membuatnya ragu. Memang, Neneknya akan setuju?

See You Again.


Galen menatap Arka dengan kedua mata terkejutnya. Lalu melempar ponsel pria tersebut seraya bangkit dari atas sofa, berjalan kesana kemari sembari mengacak rambutnya frustasi. “Jadi, namanya bukan Risa?” ujar Galen penuh tanda tanya seraya menatap Arka yang hanya dapat mengedikkan bahunya tidak tahu.

Anjir, gue ditipu dong?”

“Bisa jadi.”

Galen menggeram kesal lalu memilih untuk keluar dari ruanh tunggu, meninggalkan Arka yang menatapnya khawatir. Karena, seingat Arka, Galen adalah tipe orang yang mudah tersulut emosi. Apalagi jika menyangkut wanita, kata Hatzel.

Ia berjalan mengikuti langkah Galen. Kedua matanya menemukan sosok Darel yang tengah berbincang dengan seorang wanita. Terlihat asing, namun juga tidak terlalu asing di kedua matanya. Entahlah. Arka kembali mengikuti Galen yang berhenti di depan Darel dan wanita tersebut.

“Rel, lo udah nemu?”

Seolah ingat tentang janji, Darel tersenyum lebar pada Galen. “Gal, kebetulan temen gue anak kedokteran nih, Zila namanya. Coba tanya deh.” Zila menatap Darel heran lalu berganti menatap Galen dengan kedua alis yang menyatu tidak suka. Dilihat dari sini saja ketahuan jika pria ini tidak punya manner. Ia meringis melihat Galen yang menatapnya tajam. Sinis. Dingin.

“Kenapa, Rel?”

“Itu, Zil. Temen lo ada yang namanya Ris—”

“Kathrine. Lo punya temen yang namanya Kathrine?” sela Galen membuat Zila menatapnya heran dan semakin heran mendengar nama temannya tersebut disebut oleh pria asing. Membuatnya bertanya-tanya, apakah Kath mencari masalah dengan para pria ini?

“Kathrine?” Galen mengangguk cepat dengan kedua mata tajamnya menunggu jawaban dari Zila.

Hingga wanita itu memejamkan matanya dan mengusap pelipisnya, tampak seolah tengah berpikir akan sesuatu. Ia kembali menatap Galen dengan tatapan tajam—setajam pisau, melayangkan tasnya kecil ke pundak pria tersebut berulang kali. “Cowok brengsek! Lo ngapain temen gue, anjing?!” Ia terus melayangkan tasnya ke Galen walaupun pria itu menangkis tas Zila berulang kali masih dengan tatapan tajamnya.

Sementara itu, tubuh Zila ditahan oleh Darel begitu juga Arka yang melindungi Galen. “Lo! Lo ngapain anjir tidurin temen gue?! Gue gak tau kalo ternyata cowok brengsek modelan lo yang boongin temen gue! Tanggung jawab!”

“Lo kenal, Zil?”

Kedua matanya memerah, bercampur antara marah dan juga sedih. Ia menatap Darel dengan mata berairnya seraya berkata, “Bukan cuman kenal, Rel. Udah gue anggep keluarga banget.” Ia kembali mengalihkan pandangannya pada Galen yang terdiam menatap Zila.

Wanita itu mendengus ke arah Galen lalu kembali ke Darel. “Rel, sorry kayanya gue gak bisa liat lo manggung. Gue harus jauhin nih cowok dari temen gue.”

“Risa kesini?”

Zila siap melayangkan tasnya kembali jika tidak ditahan oleh Darel. Wanita itu menatapnya tajam. “Apaan lo manggil nama Kath pake Risa?! Emang lo keluarganya? Gue sama temen gue yang lain kenal bertahun-tahun aja gak bisa tuh manggil dia pake nama Risa!”

“Berarti gue spesial buat dia.” Zila mendengus kesal dan membuang wajahnya. Galen menahan tangan Zila seraya berkata, “Anter gue ketemu dia. Ada yang mau gue omongin sama dia.”

“Gak! Apaan lo ketemu-ketemu temen gue!”

Galen berdecak kesal dan berkata tegas, “Gue keluar di dalem.” Ucapan Galen sukses membuat kedua mata ketiga orang disana membulat terkejut. Zila menatap pria itu tak percaya, sedangkan kedua temannya lebih menatap Galen tidak percaya.

Sebenarnya bohong. Galen tidak keluar di dalam. Ia hanya ingin bertemu dengan Risa. Tidak ada cara apapun lagi selain berkata bohong seperti itu agar ia dapat bertemu.

Zila menelan ludahnya susah payah, menatap kedua kakinya bingung tidak tahu harus bagaimana. Ia menyilangkan kedua tangannya di dadanya seraya menatap Galen datar. “Gue bawa lo ketemu. Tapi janji, lo harus tanggung jawab kalo ada yang aneh nantinya.” Galen mengangguk yakin saat wanita itu mengeluarkan ponselnya dan berbicara dengan seseorang di sambungan telepon tersebut.

Ia beberapa kali mendengar nama Kath disebutkan. Ditambah wanita di hadapannya melirik ke arahnya sesekali. “Ayo, ikut gue. Kath udah sampe.”

Galen menatap Darel dan juga Arka bergantian. “Sebentar aja, kita masih ada satu jam lagi, kan?” Keduanya mengangguk pelan. “Telfon gue aja nanti.”

“Iya, Gal. Good luck!”

Ia mengikuti langkah kecil Zila dari belakang. Wanita itu terlihat sangat terburu-buru seolah memang ingin meninggalkan Galen, namun juga tidak mau Galen tertinggal. Ia terus mengikuti langkahnya sampai ia mendapati sosok yang telah ia cari selama ini dengan baju yang cukup membuat rahangnya mengeras namun berubah menjadi senyum kecil saat sampai di depan wnaita itu, Risa.

Ia tersenyum kecil padanya, sedangkan Risa terbelalak terkejut mendapati kehadiran Galen di hadapannya. Sontak, ia mengenggam tangan Lana dengan kuat. Ia gugup bertemu Galen.

Pria itu melirik ke arah genggaman tangan Risa pada temannya dan kembali menatap wanita tersebut. “Hai?” Jika boleh jujur, jantung Risa rasanya ingin loncat keluar dalam tubuhnya melihat sosok pria yang sangat ia hindari berdiri di hadapannya dengan senyum kecilnya. Terlihat manis namun juga seram baginya.

Lana menoleh ke arah Risa. “Lo kenal, Kath?”

“Hah?” Risa menatap semua temannya yang juga menatapnya bertanya-tanya. Apakah wanita itu sungguh mengenal pria di hadapannya atau tidak.

Zila bertepuk tangan tiga kali, mendapatkan semua perhatian temannya dan Galen. “Guys, kenalin ini cowok yang tidurin Kath. Cowok yang pengen kita jenggut!”

“Woi, anjing lo!” Kana berusaha menjenggut rambut Galen namun tertahan saat Risa berdiri di hadapan pria tersebut dan berkata pada temannya. “Jangan. K-kasih.. Kasih aku waktu ngomong sama dia dulu, ya?”

“Udah, Kana. Biarin nih orang dua ngobrol dulu deh. Pukul-pukulannya nanti aja,” Zila menatap Galen tajam. “Setelah keputusan, Kath, kita baru serang nih cowok!”

“Awas lo!”

Galen mengejek teman Risa saat wanita itu menarik tangannya keluar dari sana, entah kemana langkah kaki wanita itu membawanya—terlihat kebingungan karena wanita itu hanya ingin membawa Galen menjauh dari teman-temannya. Sampai akhirnya Galen mengenggam tangannya dan membawa tubuhnya mengikuti langkah kakinya.

Ia melangkahkan kakinya perlahan, tidak cepat maupun tidak lambat agar Risa tidak terseret olehnya. Mengenggam tangan wnaita itu dengan erat, sesekali menoleh kearahnya memastikan bahwa Risa tidak ketinggalan walaupun tangannya mengenggam tangan wanita itu.

Ia membuak pintu ruangannya, menampilkan sosok Darel dan juga Arka yang menatap kedatangan keduanya dengan heran. Apalagi saat melihat Galen mengenggam tangan wanita itu. Mereka langsung sadar bahwa wanita yang dibawa oleh Galen adalah Risa. Wanita yang ia cari selama ini.

“Pinjem ruangan sebentar, Ka, Rel.” Seolah mengerti, keduanya bangkit meninggalkan ruangan yang sebelumnya menepuk pundak pria tersebut, melirik sekilas kearah Risa dengan senyum dan keluar.

Galen menarik nafasnya dan berbalik berhadapan dengan Risa, wanita itu menatap kedua kakinya canggung. Ditambah pakaiannya saat ini sangatlah tidak baik menurutnya. “Kok pake baju ini? Emang suka?” Risa mengangkat wajahnya, menatap Galen yang tersenyum kecil padanya. “S-suka..”

Galen melepas jaketnya dan memakaikannya pada tubuh Risa dan berkata, “Tapi, gue gak suka liatnya. Gue gak suka milik gue diliat orang lain.” Galen mengelus pipi merah Risa dengan lembut.

“Jadi? Kenapa kabur?”

“Aku bilang, jangan cari aku.”

“Tapi, aku maunya cari kamu. Gimana dong?” Risa menatap Galen yang tersenyum mengejek kearahnya. Risa tahu sejak awal jika Galen adalah tipe pria keras kepala yang akan membuatnya pusing nantinya.

“Unblock gue, Risa. Gue mau hubungin lo gak bisa.”

“Maaf, tapi aku sengaja biar kamu gak perlu hubungin aku lagi.”

Galen meraih tas Risa dan mengambil ponsel wanita itu. “Buka block gue, atau gue ambil hp lo?” Ia mengangkat ponsel Risa, membuat wanita itu menatapnya bingung namun memang dasarnya Risa gampang luluh, ia membuka block Galen. Membuat pria itu tersenyum puas.

“Nanti abis manggung, balik sama gue. Ada banyak yang pengen gue omongin sama lo.” Risa menggigit pipi dalamnya gugup, kedua tangannya saling bertautan satu sama lain. Ia tidak tahu hari seperti ini akan datang pada hidupnya. “Tentang kelanjutan hubungan kita berdua.”

Demi apapun, Risa ingin lari saat ini juga.

Perasaan Satu Sama Lain.


Yasmin melihat dress yang diberikan oleh Winara dengan khawatir. Pasalnya dress tersebut terlihat sangat mahal untuknya, dan terlihat sangat cantik. Yasmin berpikir ia tidak akan membuat dress ini kusut. Ia akan berjalan dengan hati-hati saat memakainya. Tidak akan mengambil makanan yang bersaus. Ia akan menghindari itu semua demi menjamin dressnya terlihat rapih dan cantik.

Ia berputar di depan cermin. Melihat bagaimana dress tersebut mengikuti lekukan tubuhnya. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum Winara menjemputnya. Dan jantungnya sudah berdetak cepat sejak beberapa jam yang lalu. Yasmin tidak tahu jika berjalan dengan Winara akan seperti ini, padahal dulu saat ia memesan Ur NEED ia tidak begitu gugup seperti ini.

Ia membuka jendela kamarnya saat mendengar suara deru mesin mobil berhenti di depan rumahnya. Mobil Winara. Mengapa pria itu datang lebih cepat?

Sosok tegap itu keluar dari dalam mobil dan menatap rumahnya dengan kedua tangan berada di saku celananya, lalu berjalan ke arah pintu rumahnya. Seketika ia melotot mengingat Winara akan bertemu dengan Ibunya di bawah nanti.

Dengan cepat, Yasmin turun tangga dan benar saja. Ibunya bertemu dengan Winara. Terlihat Ibunya mengusap tangan Winara layaknya Ibunya bertemu dengan seorang calon mantu. “Pak?”

Perhatian Winara teralihkan ke arah Yasmin yang mengenakan dress pemberiannya. Terlihat cantik dan pas. Winara tidak pernah membayangkan jika dress pilihannya akan terlihat sebagus ini dikenakan oleh Yasmin.

Ibunya pergi setelah Yasmin menggerutu melihat Ibunya menggoda ia dan juga Winara yang terlihat cocok satu sama lain. Membuat Winara tidak dapat menyembunyikan senyumannya. Ia berdeham membuat Yasmin kembali menatapnya. “Udah siap?”

“Udah, Pak. Sebentar saya ambil tas dulu di atas, ya.” Winara mengangguk dan Yasmin berlari kecil kembali ke kamarnya. Mengambil tas kecilnya dan menemui Winara dengan cepat. Tanpa sadar, ia tersenyum pada pria itu. “Udah, Pak.”

Winara mengangguk kecil dan berjalan lebih dahulu menuju mobilnya. Ia menggaruk tengkuknya canggung melirik kearah Yasmin, berpikir haruskah ia membantu wanita itu berjalan ke mobilnya atau berpura-pura tidak tahu saja. Dan Winara memilih untuk berpura-pura tidak tahu.

Yasmin mendengus saat jaraknya tidak begitu dekat dengan Winara. Ia menyumpahi pria itu karena tidak membantunya yang kesusahan payah mengangkat dress panjangnya agar tidak jatuh. Saat di dalam mobil pria itu juga hanya diam saja. Tidak berkata apapun. Suasana begitu hening dan juga canggung.

Ia merasa takjub mengetahui undangan tersebut ternyata di sebuah hotel mewah. Yasmin siap sekali bercerita tentang ini pada Bina nanti. Hotel yang sangat megah. Ia berpikir berapa yang harus dikeluarkan untuk menyewa gedung ini.

“Yasmin?”

Perhatian kembali tertuju pada Winara yang berada di balik kemudi. Pria itu menatapnya lekat. “Gak usah panggil saya Bapak atau Pak, ya? Winara aja.”

“Tapi, saya gak enak, Pak.” Bohong. Yasmin bisa memanggil pria itu dengan Winara saja. Ia hanya berpura-pura karena ia menunggu saat ini sejak dulu. Winara. Winara. Winara. Lihat, ia menyebut nama pria itu tanpa embel Pak.

“Panggil saya Nara, Yasmin!”

“Eh iya, Nara.” Winara mengangguk dan membuka pintu mobilnya, meninggalkan Yasmin yang masih di dalam mobil dan berusaha membuka seatbeltnya, namun saat ingin membuka pintu. Pintu tersebut terbuka oleh Winara yang mengulurkan tangannya pada Yasmin.

“Kenapa diem? Ayo, keluar.” Dengan gelagapan, Yasmin meraih tangan Winara. Pria itu mengenggam tangannya dengan erat. Membuat jantungnya berdetak sangat cepat. Ia berdoa semoga ia masih dapat menemui hari esok.

Yasmin menatap ke arah tangannya dan tangan Winara yang saling bertautan. Ia tersenyum kecil. Sudah lama sekali tidak ada yang mengenggam tangannya seperti ini, jadi rasanya saat ini sangatlah beda. Seolah ada ribuang kupu-kupu yang berterbangan dalam perutnya. Perutnya terasa hangat tiba-tiba.

Apa lagi saat Winara memperkenalkan dirinya pada kerabatnya. Bagaimana perlakuan pria itu sangatlah berbeda padanya. Atau, memang beberapa hari ini perlakuan Winara terasa beda? Dan Yasmin tidak menyadari hal itu.

Ia duduk di salah satu meja seorang diri. Winara izin pergi sebentar untuk menemui salah satu temannya dan menyuruh untuk duduk karena ia memakai heels yang cukup tinggi. Dan benar, kakinya terasa sangat sakit. Dan pegal.

Matanya mencari keberadaan Winara hingga menemui sosok pria itu di ujung sana tengah berbincang dengan beberapa orang. Ia meringis dan bergumam, “Gila. Gue tiba-tiba jadi suka banget sama Pak Winara cuman gara-gara di pegang tangan doang. Disuruh duduk disini biar ga pegel katanya. Dibawain minuman.” Yasmin tertawa pelan.

“Balik dari sini bisa bikin gue jadi..” Pikirannya menerawang. Memikirkan kata yang akan keluar dari mulutnya selanjutnya. Ia tidak mungkin kan bersungguh-sungguh menyukai Winara? Ya, ia tahu Winara tampan dan ia sangat menyukai pria itu. Tapi, Yasmin meringis mengingat Winara bukanlah levelnya. Pria itu terlalu tinggi. Dilihat dari koneksinya. Lihat saja, kerabat pria itu mengadakan pesta di tempat semegah ini.

Yasmin bukanlah tandingan Winara.

Tatapannya bertemu dengan tatapan Winara dari jauh sana. Pria itu menatapnya khawatir dan terlihat menyudahi pembicaraannya dan menghampirinya dengan cepat. Membuat jantungnya kembali berdetak dengan cepat, apa lagi saat Winara berada di depannya.

“Mau balik?”

Kedua tangan mengibas, tidak bermaksud untuk pulang. “Gak kok, Pak—Eh maksudnya, Winara. Gak apa-apa kok, tadi cuman kebetulan lagi nyari Bap—Nara ada dimana.”

Winara tidak mengangguk, justru pria itu menatap kedua mata Yasmin bergantian seolah memeriksa apakah benar wanita itu baik-baik saja. “Beneran saya gak apa-apa kok.” Lantas Winara mengangguk dan menarik kursi agar lebih dekat dengan Yasmin.

Secara tiba-tiba, pria itu menunduk dan melihat kedua kaki Yasmin yang terlihat lecet. “Sepatunya kekecilan?”

“Gak kok. Saya jarang pake sepatu yang ini aja, jadinya masih keras. “

Pria itu menatap ngeri kedua kaki Yasmin yang terlihat lecet. Lalu bangkit dari atas kursi dan mengulurkan tangannya pada Yasmin. “Ayo, balik.”

“Eh?”

“Ayok balik, Yasmin.” Tangan Winara meraih tangan Yasmin yang tidak menerima uluran tangannya. Pria itu terlalu gemas melihat Yasmin yang selalu terdiam lama seolah berpikir yang entah apa itu. Pria itu menuntun tubuh Yasmin berjalan keluar gedung dan masuk ke dalam mobilnya dengan hati-hati.

“Dibuka aja sepatunya.” Yasmin mengangguk dan membuka sepatunya saat berada di dalam mobil. Suasana kembali hening, sampai Yasmin berteriak.

“Ini kearah mana, Pak? Rumah saya bukan kearah sini?!”

Winara tertawa mendengar nada panik pada suara Yasmin. “Temenin saya sebentar ya.”

Sial, ini mau dibawa kemana lagi.

Yasmin meringis saat mobil Winara berhenti dipinggir sungai yang terlihat sepi. Ia cukup waspada pada pria itu saat Winara keluar dari dalam mobil dan bersandar di depan kap mobilnya. Ia masih di dalam mobil melihat apa yang pria itu lakukan.

Sampai suara Winara berteriak memanggilnya, “Yasmin, kamu mau di dalem sana aja terus?”

Lantas ia membuka pintu mobilnya dengan dan menghampiri Winara. Berdiri di samping pria itu dan ikut bersandar di mobil. Hanya suara serangga malam yang mengisi keheningan mereka berdua. Winara sibuk memandang air yang bergoyang. Sedangkan Yasmin, sibuk dengan pikirannya.

“Saya mau minta maaf sama kamu, Yasmin.”

Yasmin menoleh ke arah Winara yang ternyata menatap kearahnya juga. Pria itu menatapnya dengan serius dan cukup berbeda dari biasanya. “Maaf kalo saya sering nyuruh-nyuruh kamu.” Yasmin mengangguk karena ia cukup paham dengan apa yang dimaksud dengan Winara. Pria itu akhirnya merasa bersalah selalu menyuruh-nyuruhnya.

Winara tersenyum. “Saya udah bilang belum ke kamu, kalo kamu cantik pake dress itu?”

“Eh, iya, Pak?”

“Manggil saya Bapak lagi denda 50 juta ya, Yasmin.”

“Jangan, Pak!”

“50 juta.”

Yasmin meringis mendengar ucapan Winara. Apa lagi saat pria itu mengulurkan tangannya seolah meminta uang padanya. “Saya gak punya uang.”

“Kalo gitu bayar pake ciuman bisa gak?”

“Hah?”

Kedua mata Yasmin terbelalak mendengar ucapan Winara. Pria itu mengatakan hal tersebut seolah tidak ada beban, padahal jantungnya serasa ingin melompat. Yasmin bisa gila. Ah tidak, ia sudah gila saat ini.

“Pa—Nara, ah maksudnya gimana ya, P—Nara?” Winara tertawa pelan mendengar Yasmin yang kesulitan memanggil namanya.

“Saya cium kamu, boleh gak?”

“Kenapa tiba-tiba mau cium saya?”

Winara mengangkat bahunya tidak tahu. “Soalnya, saya suka sama kamu?”

Bina, tolongin gue please! Tau gini ikut lo sama Bang Apin aja deh! Gue gak bisa nafas disini.

Yasmin mengalihkan pandangannya dan menatap kedua tangannya yang bertaut gugup. “Yasmin?” Ia mengangkat wajahnya, dan langsung bertatapan dengan Winara. Pria itu menangkup sisi kanan wajahnya dan tersenyum lebar.

“Saya bercanda.”

Akhirnya, Yasmin bernafas lega.

“Tapi, saya gak bercanda kalo saya suka sama kamu. Saya izin deketin kamu, ya?”

Tidak. Yasmin tidak bisa bernafas lagi.

Malam itu, Winara dan Yasmin hanya saling bertatapan ditemani oleh terangnya bintang malam. Keduanya hanya saling diam dan bertukar tatapan, mencari sesuatu di kedua mata masing-masing. Mencari pembenaran atas perasaan mereka.

Winara memilih mengalah pada perasaannya. Ia membiarkan perasaannya mengambil alih seluruh tubuh dan pikirannya. Ya, ia memilih untuk mengejar Yasmin dengan cara yang lebih baik.

Begitu juga dengan Yasmin. Ia benci Winara, tapi saat ini? Semuanya seolah lenyap—hilang. Perasaan benci berubah menjadi perasan yang lain.

Benar kata orang, benci dan cinta itu beda tipis. Dan Yasmin paham akan hal itu sekarang. Dengan menatap kedua mata Winara, ia tahu ia harus menyerahkan semuanya. Perasaannya. Ya, Yasmin mengaku kalah akan perasaannya saat ini.

Semoga hari esok akan menjadi awal yang lebih baik. Janji mereka pada diri masing-masing.

Sebelum Winara Bilang Suka.


Winara memandang gelasnya yang berisikan minuman spesial dari Fariz. Malam ini, ia memutuskan untuk datang ke restoran pria itu. Melihat bagaimana Fariz melayani pelanggannya hingga pria itu menutup restoran. Tak ada Haikal. Tak ada siapapun. Hanya mereka berdua dan beberapa pegawai Fariz.

Pria itu duduk di meja dekat jendela seorang diri hingga Fariz duduk di hadapannya dengan sebuah kopi panas. Pria itu ikut menatap ke arah luar jendelan mengikuti arah pandang Winara. Ia menatap Winara dengan khawatir, pasalnya Winara datang dengan wajah yang kusut.

“Kenapa, Win?” tanya Fariz lalu meminum kopinya dengan perlahan saat Winara memijat keningnya, terlihat sangat lelah di mata Fariz. “Kerjaan?” Winara menggelengkan kepalanya pelan, kedua matanya menatap ke arah gelas yang telah kosong.

“Terus?”

Winara menghembuskan nafasnya gusar. Lalu menatap Fariz kesal, “Kayanya gue kena pelet deh, Riz.”

“Hah?”

“Iya. Lo tau, cewek yang gue bilang gue deketin itu. Gue awalnya emang kepikiran terus sama dia karna,” Winara berhenti sejenak, pikiran menerawang mengingat wajah Yasmin. “Karna aneh aja ada yang bilang kalo gue ngeselin di kantor. Terus gue emang niat mau deketin, tapi gue gak tau kalo efeknya kaya gini, Riz.”

Fariz tersenyum tertahan melihat Winara bercerita seolah ini adalah hal yang sangat salah. “Riz, gue kepikiran mulu sama nih cewek. Rasanya mau liat muka dia terus. Gue beneran kaya dibuat gila tau gak?!”

“Lo jatuh cinta, Win.”

“Gak. Gue cuman penasaran, Riz.”

Fariz menggelengkan kepalanya dan menaruh kopinya ke tas meja. Menangkup kedua tangannya seraya menatap Winara dengan serius. “Lo suka itu cewek. Tapi, lo gak mau kalo faktanya lo suka sama itu cewek. Lo nolak perasaan lo yang gue gak tau kenapa. Cuman lo yang tau, kan? Dicoba aja, Win. Jangan ditahan.”

“Maksudnya?”

Fariz kembali tersenyum. “Jangan ditahan perasaannya. Biarin aja ngalir. Kalo bisa lo bilang ke dia sekarang juga kalo lo suka dia.”

“Gue gak mau.”

“Kenapa?”

“Cinta. Cinta. Gak jelas. Gak ada, Riz, cinta itu gak ada. Cinta ap—”

“Kata siapa? Cinta itu ada, Win. Selama ini emang perlakuan anak-anak ke lo atau perlakuan lo ke anak-anak bukan termasuk cinta? Lo sayang sama Haikal, kan? Itu juga bisa dibilang cinta loh, Win, cinta sama adek.”

Winara menghela nafasnya. Jika membawa Haikal, ia kalah. Sebenarnya juga tidak ada yang salah kalau ia memang benar menyukai Yasmin, hanya saja seperti ada yang salah yang entah apa itu. Winara tidak tahu pasti permasalahannya.

“Sekarang apa yang ngeganggu pikiran lo? Takut kalo lo bilang suka itu cewek pergi? Atau lo takut ternyata cuman cinta bertepuk sebelah tangan?” Winara mengangguk. “Kayanya gue takut cuman bertepuk sebelah tangan deh, Riz.”

“Kalo gitu, coba confess ke dia. Oh iya, sama kurangin nyuruh-nyuruh dia, Win. Ada cara lain buat bisa liat muka dia setiap hari.”

Winara mengernyitkan keningnya. “Contoh?”

Fariz mengangkat bahunya. “Makan siang? Kaya Odan ke Bina misalnya. Atau, ajak keluar kaya nonton film, jalan-jalan di taman, yang lain deh, Win, selain nyuruh-nyuruh dia.”

Winara mengangguk dan kembali menatap gelas kosongnya. “Kalo bisa jangan nyuruh-nyuruh dia lagi, ya? Gue takut dia sumpahin lo terus nantinya.”

Winara tersenyum kecil jika mengingat bagaimana reaksi Yasmin jika ia menyuruh wanita itu membelinya makan siang. Mungkin, setelah ini Winara akan memakai cara yang lebih sehat. Tidak ada suruhan aneh lagi pada wanita itu. Ia akan berlaku baik, layaknya seorang pria sejati.

Thanks, Riz.”

Don't Go.


Chandra dan juga Raka sampai di perkarangan Apartment Jenar. Beberapa kali Raka melirik kearah Chandra yang menampilkan senyum selebar tiga jari, membuat pria tersebut bertanya-tanya apa yang membuat sahabatnya ini senang. “Lo lagi seneng banget ya, Chan?”

Chandra mengedikkan bahunya, keduanya tetap melangkahkan kaki menuju ke gedung Apartment Jenar. “Hawa lo lagi bagus banget,” ujar Raka kembali.

“Lo sama Nadine jadian ya?” Chandra menggeleng. “Gak jadian. Tapi, lebih bagus dari sebelumnya lah.”

Raka mengangut kepalanya—paham dengan ucapan pria tersebut. Karena terkadang beberapa hubungan percintaan seseorang agak sulit untuk dijelaskan. Seperti hubungan Chandra dan juga Nadine. Raka tidak terlalu memikirkan hubungan mereka. Karena selagi sahabatnya bahagia, maka ia akan tetap mendukung pria tersebut.

Keduanya memasukki lift dalam diam hingga Raka membuka suaranya. “Chan, lo sama Jenar beneran gak ada apa-apa, kan?” Raka menoleh kearah Chandra khawatir. “Lo berdua bilang gak ada apa-apa, tapi gue ngerasa banget sebenernya lo berdua tuh kaya jadi jaga jarak.”

“Gak ada apa-apa, Rak. Serius, gue sama Jenar baik-baik aja.”

Raka mengangguk lalu berkata, “Kalo lo udah bilang baik-baik aja, yaudah.”

“Tapi, makasih, Rak.”

Keduanya sampai di lantai Apartment Jenar dan berjalan menuju Apartment pria tersebut dalam diam setelahnya. Raka merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Juan yang mungkin sudah sampai terlebih dahulu untuk membuka pintu.

Sebelum pria itu menghubungi Juan, Chandra lebih dulu menekan bell seraya berteriak, “Woi buka!”

Yang langsung dibuka oleh Juan dengan senyum lebar. “Bawa minum gak?” Chandra dan Raka menggeleng sebagai jawaban, membuat Juan berdecak kesal dan berjalan masuk meninggalkan keduanya di luar.

Saat Chandra masuk ke dalam, kedua matanya langsung disuguhkan berbagai macam botol alkohol di atas meja dengan Juan yang langsung mengesap minumannya tanpa ragu. Di sampingnya, Jenar hanya terdiam dan fokus kepada ponselnya lalu mengangkat kepalanya saat mendengar suara langkah Chandra dan juga Raka.

“Rak, Chan!” sapa Jenar pada keduanya yang hanya dibalas anggukan kepala saja. Raka terlebih dahulu duduk di hadapan Juan seraya berkata sengit, “Belom apa-apa udah mabok duluan lo, Juan!”

“Ya makanya minum juga buruan, Rak!”

“Berisik!”

Sedangkan Jenar dan juga Chandra hanya diam menonton keduanya yang tengah berdebat satu sama lain, saling berebut botol alkohol yang terkadang membuat Chandra tertawa. Namun, tak sengaja netranya saling bertemu dengan Jenar sehingga senyuman di wajahnya menghilang. Chandra menatap Jenar datar. Keduanya seolah paham dengan maksud satu sama lain.

Hingga Jenar menjadi yang pertama memutus tatapan keduanya dengan meraih botol, dan menuangkannya dalam gelas miliknya. Ia mengesap seolah tiada hari esok lalu kembali menatap Chandra menantan pria tersebut.

“Gue gak minum,” ucap Chandra menolak tantangan Jenar padanya.

“Terus lo ngapain ikut kesini?”

“Kumpul sama temen gue.” Chandra yang tetap pada pendiriannya dengan tidak minum hari karena perlu diketahui, esok adalah hari dimana Nadine akan pergi. Jauh darinya. Maka, Chandra hanya ingin bermalam disini bersama dengan lainnya, tapi tidak dengan minum. Ia takut akan tertinggal flight gadisnya.

Selang beberapa lama, Raka dan juga Juan telah tertidur pulas. Juan yang tertidur di dapur, sedangkan Raka yang tertidur di sofa dengan kedua paha Chandra menjadi bantalnya.

Hening.

Tak ada pembicaraan diantara keduanya. Chandra mau pun Jenar tidak berniat sama sekali mengeluarkan suatanya, atau sekedar basa-basi.

“Besok lo ngenter Nadine?” Chandra menatap Jenar sekilas lalu mengangguk menjawab pertanyaan pria tersebut. “Flight jam berapa?”

“Emang nyokap lo gak kasih tau?”

“Kasih tau. Tapi gue cuman mau basa-basi aja sama lo.”

Chandra mendengus lalu terkekeh seolah mengejek ucapan Jenar padanya. Pria itu tahu, sangat tahu jika Chandra tidak ingin berbicara banyak padanya. “Lo nganter juga?” Kali ini Chandra yang membuka suaranya, membuat Jenar menganggukan kepalanya.

“Jam 10, kan?”

“Iya.”

Jenar berdecih, “Pantes lo gak mau mabok ya. Takut ketinggalan flight ternyata.”

Tanpa disadari, Chandra mengepalkan tangannya menahan emosi. Sebenarnya, ucapan Jenar biasa saja. Hanya ia sudah terlalu malas mendengar pria itu bicara. Seolah ia sudah muak dengan semua perkataan yang keluar dari mulutnya. Terutama karena bibir pria tersebut pernah atau bahkan sering mengecup bibir Nadine.

“Minum satu gelas juga gak bakal bikin lo mabok kan, Chan?” Jenar mengedikkan kepalanya kearah botol yang berada di depan Chandra, menyuruh pria tersebut untuk ikut minum bersamanya. “Lo kan kuat.” Lagi. Jenar mencoba menggoda pria tersebut.

Dan Jenar berhasil. Chandra meneguk alkohol tersebut, menanggasnya dengan cepat melewati tenggorokannya. Mengalir dengan cepat. Dan memberikan efek yang sangat cepat juga.

Chandra lupa akan sesuatu, ia justru menambah kembali alkoholnya membuat Jenar hanya dapat menatap pria tersebut dalam diam. Kedua bola matanya mengikuti setiap gerakkan Chandra yang menegak alkoholnya. Pria itu mengusap dagunya lalu melirik ke arah Raka dan juga Juan, dan kembali menatap Chandra.

Chandra mengernyitkan keningnya saat merasakan kerongkongannya terasa panas. “Chan?”

“Hm?” gumam Chandra seraya membaringkan tubuhnya di atas sofa. Lengannya bergerak menutup kedua matanya, kepalanya terasa berputa dan pusing. Chandra bukanlah orang yang gampang mabuk. “Kalo lo gak bisa ketemu Nadine lagi, gimana?”

“Bisa gila gue, Jen.”

“Tapi lo kan emang bener gak bakal ketemu Nadine lagi. Dia pergi ke Paris.”

Chandra membuka kedua matanya dan menatap Jenar. “Tapi gue masih bisa kesana, Jen. Gue masih bisa ketemu Nadine disana. Atau, kita bisa video call bareng. Ada banyak cara buat ngehubungin dia.”

Jenar mengangguk kepalanya mengerti. “Lo sebenernya suka Nadine gak sih, Jen?”

“Suka. Lebih dulu dari pada lo.”

“Terus kenapa diem?”

“Gak punya kesempatan.”

“Kata siapa?”

Jenar menatap Chandra tajam. “Kata gue. Kata keadaan. Gue emang gak ditakdirin buat bareng sama Nadine, Chan.” Chandra kembali mengubah posisi duduknya. “Gue mau jujur sama lo,” ujar Jenar.

“Apa?”

“Nadine minta gue bikin lo mabok sebenernya.” Chandra terdiam. Kedua tangannya menyatu dan saling meremat. Mendengar ucapan Jenar, membuat dalam tubuhnya mendidih. “Gue sebenernya gak mau, Chan, tapi Nadine minta gue. Dia bilang, dia gak mau liat lo di Bandara besok. Dia takut.”

Chandra menundukkan kepalanya, rahangnya mengeras dengan kedua tangan berkepal. “Dia takut ninggalin lo.”

“Mending lo ke Apartment Nadine. Kasih tau kalo lo gak mau dia pergi, Chan. Nadine mau lo nahan dia, Chan.”

“Gue gak mau nahan mimpi dia, Jen. Dia cerita bokapnya baru ngasih dia izin pergi kesana terus cuma karena gue dia harus ngerelain lagi? Gue gak seegois itu, Jen.”

Jenar menggelengkan kepalanya. “Lo lebih penting buat Nadine sekarang. Dia percaya sama lo. Dari dulu.”

“Maksud?”

“Lo ke Apartment dia sekarang. Tanya ke dia. Gue gak bisa kasih tau.”

What Do You Mean?

Yasmin mengurai rambutnya sehabis mencuci rambut panjangnya. Hari ini cukup mudah ia lalui, tidak seperti hari sebelumnya. Penuh akan pria menyebalkan, Winara.

Hari ini, pria itu membiarkannya pulang lebih cepat. Tidak ada antar-mengantar. Atau menyuruhnya membeli makan malam. Yasmin bebas. Maka itu ia menikmati mandi malam dengan bahagia.

Setelah membalas pesan Bina, ia memutuskan untuk memejamkan kedua matanya dan terlelap. Berusaha untuk tenggelam dalam buah tidurnya. Hingga dering ponsel memenuhi telinganya.

“Astaga, udah malem ini kenapa nelfon?!” gerutu Yasmin meraih ponselnya di atas nakas tanpa membuka kedua matanya. Jika itu Bina, tidak apa. Yasmin tidak akan marah. Tapi jika bukan, ia akan berteriak mampus dan menyumpahi orang tersebut.

Hal—

“Woi anjir! Gak liat apa ya udah jam berapa ini?! Gue ngantuk asu!” suntuknya saat mendengar suara pria dan suara bising dibelakangnya. Keningnya mengernyitkan kesal karena waktu tidurnya diganggu.

Hari ini adalah hari bahagianya lepas dari Winara. Mengapa harus ada yang menganggu?

Maaf, apakah benar ini 'Babuyi'?

Babuyi?

Nama payah macam apaan itu. Siapa yang punya nama Babuyi, anjir? Freak banget!

“Bukan! Ini Yasmin. Ini saha sih? Malem-malem nelfon,” ucap Yasmin masih belum berniat melihat nama yang menghubunginya saat ini.

Maaf bu, tapi di kontaknya dinamai 'Babuyi' dan ada dipanggilan teratas, jadi saya hubungi Ibu langsung.”

“Yaudah terus kenapa? Saya lagi tidur nih,” jawab Yasmin dengan malas.

Ini yang punya ponselnya mabuk berat. Saya gak tau harus dianter kemana. Ibu bisa kesini?

Yasmin berusaha keras membuka kedua matanya lalu menatap kearah layar ponselnya dengan susah payah, hingga kedua matanya melebar terkejut. Nama panggilan tersebut adalah,

Jangan dibales yas!!

Jadi, pria mabuk itu Winara?

Halo, bu? Jadi bisa kesini gak? Saya kirim alamatnya ya, Bu.

“Bawa ke hot—”

TUT

Yasmin menatap tidak percaya, “Anjir, dimatiin dong. Terus ini gue jemput sih Winara gitu? Ah, ogah! Gue ngantuk.”

Ia menarik selimutnya, menutupi tubuhnya hingga ke kepalanya. Menyembunyikan dirinya dibawah selimut. Berusaha keras untuk memejamkan kedua matanya dan kembali terlelap. Namun pikirannya selalu melayang kembali ke keadaan Winara.

Apa yang pria itu lakukan hingga mabuk?

Apa ini alasannya Winara selalu terlihat melamun saat menyuruhnya melakukan sesuatu?

Sialan, mengapa Yasmin jadi sibuk memikirkan pria itu?

Dengan perasaan yang sangat kesal, Yasmin membuka selimutnya lalu menendangnya kesal. Ia bersumpah serapah pada Winara dan pria yang menghubunginya tadi. Tidak bisakah memberinya hari libur sehari?

“Nih Winara kalo gue udah sampe sana, rambutnya gue tarik sampe copot! Bodo amat! Siapa suruh ganggu orang tidur, hah?!” gerutunya sembari mengganti pakaiannya. Karena hanya berniat menjemput pria itu, ia hanya mengenakan hoodie dan juga celana training biasa.

Pokoknya setelah mengantar pria itu ia akan langsung pulang dan kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Urusan Ibunya marah, itu urusan belakang. Karena Yasmin juga tak yakin Ibunya tahu ia sudah sampai rumah sejak tadi.

Setelah beberapa lama berjalan menuju tempat Winara, ia sampai di sana dan langsung menatap malas tempat tersebut. Club malam.

Tempat terlarang. Tempat yang tidak akan pernah ia masukki lagi setelah lulus kuliah, tapi bohong. Ia sering masuk ke tempat ini tanpa sepengetahuan Bina. Temannya sangat protektif melebihi seorang kekasih. Omong-omong tentang Bina, Yasmin jadi kangen dengannya.

Sebelumnya menginjakkan kakinya di dalam tempat aneh tersebut, Yasmin menghela nafasnya sekali lagi lalu menghubungi nomor Winara dengan malas. “Halo? Dimana ya?”

Halo, Bu. Ibu sudah sampai? Ada di lantai 2 ya, Bu. Ruang nomor 203.

Tanpa menunggu lagi, Yasmin langsung masuk dan naik ke lantai 2 menuju ruangan tersebut hingga netranya bertemu dengan Winara yang membaringkan tubuhnya di atas sofa dengan kedua mata yang terpejam. Pria itu mabuk.

Dengan kesal, Yasmin memukul pipi Winara, menatap nyalang lalu menarik rambutnya, “Ngapain, hah?! Ngapain minum, anjir?! Sampe mabok gini lagi.”

“Bangun gak!” teriak Yasmin menarin tubuh Winara agar duduk di sofa. Membuat Winara harus membuka kedua matanya lalu tersenyum lebar melihat Yasmin. “Eh Babuyi udah dateng.”

“Babuyi? Nama apaan anjir itu?! Jelek banget!” Dengus Yasmin memutar kedua bola matanya malas. Berdecak kesal saat melihat seorang wanita membuka pintu ruangan dengan pakaian minim. “Pak, ini say-” Ucapan wanita terputus saat melihat Yasmin yang menatapnya tajam.

“Siapa lo?”

“Oh, Mbak istrinya?”

“Hah, anjir lo kira gue istrinya?” Wanita itu mengangguk heran. “Kalo nih orang suami gue, udah gue tarik kepalanya, gue copotin rambutnya satu-satu, terus gue tarik keluar. Gue pukulin ke-”

“Eh iya, Mbak saya paham kok. Mau saya bantu bawa keluar gak?”

Seakan tersadar dengan apa yang ia ucapkan, Yasmin bangkit dan berdiri di samping pria tersebut dan meraih tangan kanan Winara, melingkarkannya di sekitar lehernya.“Boleh. Tahan tangan kirinya ya.”

Kedua nya membawa tubuh Winara ke dalam mobil pria tersebut. Membiarkannya duduk di samping kursi kemudia. Yasmin menghela nafasnya kasar lalu beralih menatap wanita sebelumnya dengan senyum lebar.

“Mbak, makasih ya mau bantuin saya bawa nih beban.”

Wanita tersebut terkekeh mendengar ucapan Yasmin dan mengangguk pelan, lalu meninggalkan Yasmin yang masih berdiri di luar mobil menatap Winara dengan pandangan berbeda. Wanita itu khawatir.

“Lo kenapa sih sampe mabok gini? Patah hati? Apa duit lo abis lagi jangan-jangan makanya stress?!”

Winara yang setengah sadar tersebut terkekeh, lengan kanannya menutup kedua matanya. “Saya tuh lagi bingung, Yasmin.”

Yasmin yang sedang menarik seatbeltnya pun kembali bertanya, “Bingung kenapa lagi? Ada aja nih hidupnya.” Yasmin melupakan tata krama pada pria tersebut karena dirinya terlewat kesal.

Winara kembali terkekeh, menolehkan kepalanya menatap kearah Yasmin dengan senyum kecilnya. Membuat Yasmin yang baru saja mengalihkan pandangannya terkejut. Ia mengelus dada berulang kaki dan sedikit menyumpat.

Winara masih menatap kedua mata Yasmin, namun tidak lagi dengan sebuah senyuman. “Kata temen saya,” Winara menahan ucapannya, memastikan Yasmin memberikan seluruh perhatiannya pada pria tersebut. Jantungnya berdegup kencang menanti ucapan selanjutnya dari Winara.

Apa pria itu sungguh kehabisan uang?

Apa benar patah hati?

Ah, apa Winara terlilit hutang?

Yasmin masih setia menatap kedua mata Winara, begitu pun pria tersebut. “Kata temen saya, saya suka sama kamu.”

Hah?