Bina meringis saat melihat keadaan semua temannya sudah tidak berdaya. Yasmin yang tergeletak asal di atas sofa, Ara temannya yang gilanya melebihi Yasmin juga tergeletak dibawahnya, sementara temannya lain masih terkontrol. Bina menghampiri Yasmin, “Yas, sumpah besok kalo lo gak bangun gue nangis, Yas. Serius banget ini, kalo lo gak bangun gue beneran nangis kenceng.”
“Jangan kasih tau Winara ya! Kalo gak besok gue gak mau bangun,” ucap Yasmin setengah sadar membuat Bina menggelengkan kepalanya tak percaya.
Sedangkan temannya, Ara justru melakukan kopral secara tiba-tiba membuat semua temannya berteriak terkejut. Ini yang dimaksud oleh Bina dengan Ara yang lebih gila dari pada Yasmin. Gadis itu sangat gila. Tidak mabuk saja sudah gila, apa lagi saat seperti ini?
“Ara! Sumpah, Ara lo jangan gila please sekali aja!”
Berbeda dengan Bina yang memarahi Ara, justru temannya yang lain menyemangati gadis itu dengan berteriak, “Go, Ara! Go, Ara!”
Bina menarik nafasnya panjang. Tak beberapa lama, suara ponselnya berbunyi dengan nyaring.
Mas Odan.
Bina mengangkat panggilan tersebut setelah menjauh dari teman-temannya, “Halo, Mas?”
“Sayang!! Mas kangen banget!!“
Bina mengernyitkan keningnya seraya menjauh dari ponselnya, menatap tak percaya karena Mas Odan yang ia kenal jarang sekali berteriak semangat seperti itu padanya. Jadi ini aneh baginya. “Mas?”
“Bi, ya ampun Mas gak sabar banget mau ketemu kamu besok! Pasti kamu bakal cantik deh,“
“Eh tapi kamu mah emang selalu cantik dimata mas, kabina paling cantik sedunia!“
Bina terkekeh karena ia yakin seratus persen Mas Odan saat ini tengah mabuk bersama dengan teman-temannya yang lain, yang berarti Winara juga sama seperti Yasmin. Jadi, Bina memutuskan hanya mendengarkan Jordan berbicara. Lagi apa yang kalian harapkan dari seseorang yang sedang mabuk?
“Bi? Mas tuh sebenernya pantes gak sih nikah sama kamu sekarang? Mas banyak kurangnya, Bi.“
Kurang apanya, Mas? Mas Odan mah banyak lebihnya malah.
Bina menoleh kearah belakang saat mendengar suara meja jatuh, dan melebarkan kedua matanya saat melihat Yasmin mengakibatkan hal tersebut—Yasmin tidur di atas meja. Gadis itu, benar-benar gila.
“Bi? Bi? Kabi sayangnya Odan?“
Sebentar. Jordan jika mabuk seperti ini? Kalau begitu Bina akan sangat senang dipanggil 'sayangnya Odan' setiap kalau begini caranya. Tidak, Bina bercanda.
“Apa, Mas? Aku masih denger Mas ngomong kok.”
“Bi, do you love me?“
“Mas kayanya gak pernah nanya gitu deh ke kamu. Keliatan kaya Mas main asal aja ya? Maafin ya, Bi. Mas masih kagok soal hubungan kaya gini. Mas jarang cerita soal perasaan Mas ke kamu, nanya perasaan kamu ke Mas juga jarang. Tuh kan, Mas banyak kurangnya.”
Bina terdiam. Rasanya ia tidak tahu ingin menjawab apa ucapan pria ini. Karena Bina juga sama seperti Jordan. Jika dipikir-pikir, keduanya memang jarang mengungkapkan perasaan satu sama lain secara terus terang. Kalau begini yang ada Bina akan menangis sebelum hari pernikahannya. Padahal, sebelum ia melakukan bridal shower dengan yang lainnya, Kalvin menjadi orang yang paling sibuk mengantarnya kemana pun.
Kalvin memang tidak mengatakan apapun, hanya membantu Bina melakukan semuanya. Dari mulai mengantarnya ke butik, ke hotel, datang ke kamarnya setiap malam untuk bercerita, katanya Kalvin mungkin ia tidak bisa melakukan kebiasaan tersebut lagi jika Bina sudah menikah. Jika mengingat Kalvin, Bina menjadi sedih karena harus jauh dengan kakak tersayangnya itu.
“Mas bakal usaha jadi lebih baik, Bi. Buat kamu, buat kita berdua. Maaf ya, Bi, Mas gak ngasih kejelasan hubungan kita awalnya, cuman bisa ngomong Mas suka sama kamu terus mau hubungan serius tapi gak ngajak kamu pacaran.”
Mas Odan gak ngajak pacaran, tapi langsung nikah.
“Dan! Woi, jangan nangis anjing!“
“Stt, jangan berisik, Den! Gue lagi telfonan sama istri gue!!”
“Calon anjing! Lo berdua nikahnya besok! Mending tidur deh sekarang! Gue udah rapihin tempat tidur!“
Bina dapat mendengar jelas percakapan Jordan dan Denis disebrang sana, membuatnya tertawa pelan mendengar interaksi keduanya. Setidaknya, Bina tidak terlalu khawatir dengan keadaan Jordan karena ada Denis yang cukup dapat dihandalkan.
“Yah, Bi! Mas udah disuruh tidur nih sama sih Denis ngeselin. Kabi sayangnya Odan, wanita paling cantik sedunia yang Odan paling sayan—“
“Najis, Odan! Lo geli banget sumpah! Kaget gue liat lo begini ke Bina.“
“Selamat malam, Bi, calon istri Odan!“
Sambungan terputus sepihak. Mungkin, Denis yang mematikan panggilan mereka dan menarik pria itu ke atas kasur. Maka itu, besok Bina akan berterima kasih dengan Denis.
Dan kembali lagi dengan teman-temannya, Yasmin dan Ara semakin melakukan hal gila lainnya. Bina benar-benar harus memperbanyak sabar berteman dengan keduanya.
Setelah malam yang panjang, pagi pun datang. Dimana hari yang paling Bina dan Jordan tunggu-tunggu akhirnya tiba. Saat matahari terbit, Bina berusaha keras membangunkan Yasmin dan ia hampir saja menangis karena gadis itu tak kunjung membuka kedua matanya.
Karena, jika Yasmin tidak ada dalam pernikahannya, Bina akan benar-benar menangis kencang dengan gaun pernikahannya.
Yasmin tak berhenti memukulnya saat lagi-lagi ia menangis. Bukan karena sedih, tapi karena kedua matanya sangat sensitif. Ia tidak bisa menggunakan eyeliner. Atau saat Yasmin dan Ara membantunya memakai gaun, keduanya tak berhenti berteriak semangat dan mengoceh panjang lebar betapa Bina terlihat sangat mempesona.
Ibu dan Ayah juga turut memujinya, betapa cantiknya ia hari ini. Atau, aura yang ia keluarkan saat ini sangatlah bagus. Bahkan, kedua orang tua Jordan juga telah menemuinya. Hanya satu yang belum menemui dirinya, Kalvin.
Sebenarnya, sejak ia mulai siap didandani hingga ia telah rapih dan siap mengucap janji. Ia menunggu kehadiran Kalvin datang ke ruangannya. Atau, Bina sangat ingin keluar dan mencari Kalvin untuk memamerkan betapa cantiknya ia hari ini. Namun, Yasmin melarangnya dan sebagai gantinya ia yang akan mencari Kalvin dan membawanya kemari. Tapi hingga saat ini Yasmin belum juga kembali. Padahal Bina hanya ingin pamer pada Kalvin.
“Bang Apin gak mau liat gue apa ya, padahal Adeknya udah cantik gini,” sungut Bina seraya menatap dirinya dipantulan cermin. “Biarin aja nanti kalo ketemu gue jenggut nih Bang Apin.”
Bina masih berdiri di hadapan cermin besar, kepalanya masih memikirkan banyak hal jika nanti Kalvin masuk kemari ia akan langsung marah pada pria itu dan tidak lupa juga ia akan memamerkan gaunnya. Ia sudah membayangkan betapa kesalnya wajah Kalvin nanti.
Namun, itu semua hanya berada dipikirannya, bukan? Karena nyata, Bina hanya diam tak berkutik saat Kalvin memasukki ruangannya. Hanya ada mereka berdua. Mungkin, karena Kalvin tersenyum padanya dengan senyuman yang Bina dapat artikan sebagai—sebagai kagum pada dirinya saat ini.
Jika begini, yang ada Bina akan menangis. Dan benar saja.
“Cantik banget,” puji Kalvin memandang pantulan Bina dari cermin. Sedangkan Bina justru melakukan pose seolah ingin menunjukkan kepada Kalvin bahwa ia memang terlihat cantik saat ini. “Iyalah, Ina mah kapan sih gak cantik.”
Kalvin tertawa renyah. Tidak bisa dibohongi bahwa pria itu sudah siap menitikkan airmatanya melihat Bina saat ini. Maka, Bina menghampiri Kalvin lalu menarik pria itu ke dalam pelukkannya. “Bang Apin!! Ina beneran mau nikah!”
Kalvin mengangguk lalu membalas pelukkan Bina sama eratnya. “Iya, Ina. Bang Apin tau kok kamu mau nikah.”
Bina tersenyum kecil lalu menjauh guna melihat wajah Kalvin, jika seperti ini Bina akan menangis. Karena senyum Kalvin sangatlah berbeda saat ini. Bina tidak dapat menjelaskannya karena ia juga merasa sedih.
“Bang Apin, Ina beneran mau nangis ini kalo Bang Apin liatin Ina kaya gitu terus.”
“Abisnya, Adeknya Bang Apin cantik banget sih. Gimana Bang Apin gak terpesona liatnya.”
Bina tertawa mendengar ucapan Kalvin, tanpa komanda kedua matanya mengeluarkan airmata. Membuat Kalvin langsung menatapnya panik. “Dek, ya ampun jangan nangis ih! Makeup kamu nanti ancur. Ya Tuhan! Kabina ih astaga jangan nangis.” Kalvin berlari mencari tissue untuk mengusap airmata Bina saat ini, namun Bina justru tertawa kencang melihat Kalvin yang sangat sibuk dan juga panik itu.
Sedih, tapi lebih ke lucu melihat Kalvin. Kalvin memang selalu seperti ini. Saat dirinya nangis atau mengadu padanya, pria itu pasti akan panik. Kalvin kembali menghampiri Bina lalu mengusap airmata gadis itu dengan perlahan—berusaha keras agar tidak menghancurkan makeup gadis itu.
“Bang Apin jelek banget kalo lagi panik gitu. Ina jadi ketawa padahal tadi suasananya udah pas banget buat nangis.”
“Jangan nangis, Na. Nanti Bang Apin jadi ngerasa bersalah banget udah bikin pernikahan kamu jadi sedih gini.”
Bina mengangguk lalu kembali memeluk tubuh Kalvin, “Udah diem! Ina mau peluk Bang Apin sepuasnya dulu sebelum acara mulai!”
Keduanya memang tidak mengatakan dengan jelas tapi semua orang tahu jika keduanya saling menyanyangi satu sama lain. Layaknya seorang kakak dan adik. Kalvin yang selalu berusaha menjaga Bina, dan Bina yang selalu berlindung pada Kalvin. Mulai saat ini, Bina akan berhenti berlindung pada Kalvin. Karena tugas Kalvin menjaga Adik satu-satunya telah selesai.
Kalvin melepaskan Adiknya.
Suara tepuk tangan begitu meriah terdengar diseluruh ruangan. Beberapa dari kerabat turut menitikkan airmatanya saat kedua mempelai telah selesai mengucap janji.
Yasmin menjadi orang yang paling banyak menitikkan airmatanya melihat temannya, sahabatnya, bahkan keluarganya telah menjadi tanggung jawab pria disamping gadis itu. “Udah sih, Yas. Jangan nangis gitu, malu diliatin yang lain.”
“Diem! Gak liat apa ya temennya nikah! Kalo Bina nikah, aku makan nasi gila sama siapa?!”
Winara menatap Yasmin aneh walaupun tangan kanannya tetap merangkul pundak gadis itu dengan lembut. “Ya, sama aku?”
“Heh! Kamu aja gak mau makan di tempat kaya gitu! Aku mau join keluarga Bina aja deh kalo gini.”
“Astaga, Yasmin. Jangan gitu.” Yasmin mengusap kedua matanya.
Sedangkan pasangan yang baru saja mengucap janji suci tersebut saling berhadapan, senyum keduanya tak kunjung luntur. Jordan tak berhenti mengucap betapa cantiknya Bina saat ini di hadapannya, dalam hati. Bina juga tersenyum lebar menatap kedua mata Jordan bahagia.
Terlepas Bina menjadi tanggunh jawab Jordan dan berpisah dengan Kalvin, Sang Kakak. Bina sangat bahagia saat ini. Apa lagi saat dirinya melihat Yasmin dan juga Winara yang saling mengenggam tangan satu sama lain. Maka dari itu, saat pelemparan bunga, Bina tidak melemparnya dan justru menyerahkannya kepada Yasmin. Karena Bina berdoa untuk sahabatnya tersebut agar segera menyusul dirinya.
Apa lagi saat melihat Ara yang sangat cepat berbaur dengan teman-temannya Jordan, membuatnya menggelengkan kepalanya. Ara memang tipe gadis yang easy-going. Jika gadis itu tidak memilih tinggal diluar negeri, mungkin ia, Yasmin dan juga Ara akan menjadi orang yang sangat gila bersama.
Perhatiaan Bina teralih kepada Jordan yang mengenggam tangannya secaar tiba-tiba, seolah memang ingin memanggilnya. “Bi?”
“Kenapa, Mas?”
Jika melihat wajah Jordan saat ini, Bina menjadi ingat kejadian tadi malam. Apakah Jordan sadar dan ingat betul apa yang ia katakan padanya?
Jordan menggelengkan kepalanya dengan senyum teduhnya, “Gak apa-apa. Mas cuman mau manggil kamu aja.”
“Ih apaan sih, Mas.”
Bina dan Jordan tertawa bersama. Genggaman tangan keduanya semakin erat. Jordan memamerkan deretan balok putih di mulutnya memperlihatkan senyuman lebar. “Mas? Mau bilang kalo aku cantik ya?”
“Engga,” Jordan tertawa. Bina memberengut kesal—berpura-pura. “Bi, kamu mau tau gak arti kamu dihidup Mas apa sekarang?”
Bina memiringkan kepalanya beberapa derajat ke arah samping, menatap Jordan penasaran seraya berkata, “Aku.. penting?“
“Ya, seperti detak jantung.”
“Gombal deh, Mas. Udah makan dulu sini aku suapin.”
“Mana? Aaaa—”
END.