saacho66

Makan Steak.

Yasmin mengacak rambutnya kesal seraya kedua tangannya bertumpu pada kemudi mobil yang tentunya saja milik Winara. Bahkan Yasmin sejak duduk di kursi kemudi, ia tidak berhenti bersumpah serapah pada Winara.

Pria itu terlihat baru saja keluar dari pintu lobby, membuat Yasmin menegakkan duduknya—layaknya seorang supir sesungguhnya. “Ck, lama banget dah kakinya jalan,” gerutu Yasmin melihat Winara yang berjalan masuk ke dalam mobil dengan pelan, seolah sengaja membuatnya kesal.

“Lama banget, anjir! Sumpah nih orang ngeselin bang—”

“Ngomong apa kamu?”

“Eh? Engga kok, Pak. Udah selesai kan, Pak? Biar saya anter pulang,” ucap Yasmin tersenyum kecil, atau lebih tepatnya tersenyum paksa. Ia menahan kedua ujung bibirnya agar terlihat senang melihat Winara walau sebenarnya tidak sama sekali.

Winara hanya menatap Yasmin aneh lalu duduk di kursi belakang. Dia benar memperlakukan Yasmin layaknya seorang supir sesungguhnya.

Lagi-lagi Yasmin mendengus menatap pantulan Winara yang tengah memejamkan kedua matanya—mungkin lelah.

Sama gue juga capek ngadepin tingkah gak jelas lo.

Dengan setengah hati, Yasmin menjalankan mobilnya. Dia belum tahu alamat pria tersebut. “Pak, maaf, alamat bapak kemana ya?”

“Jangan panggil saya bapak, saya masih muda.”

“Mas? Bang?”

“Winara.”

Yasmin mengangguk pelan lalu kembali menatap cermin sekilas seraya berkata, “Ini saya anter kemana ya? Saya gak tau alamatnya.”

“Kata siapa saya mau pulang?”

“Lah terus mau kemana beg—” Yasmin menutup mulutnya dengan cepat saat ia sadar, ia baru saja hampir mengatai bos nya tersebut 'bego'.

Winara terlihat acuh dengan ucapan Yasmin sebelumnya dan berkata, “Steak. Saya laper.”

Akhirnya makan gratis lagi.

“Restoran biasa, Pak?” Winara tidak membuka suaranya hanya menganggukkan kepalanya sembari memejamkan kedua matanya.

Dalam pikiran Yasmin, ia beberapa kali mencuri pandang kearah Winara saat melihat wajah pria itu terlihat begitu lelah. Namun ia membuang rasa kasihan tersebut jauh-jauh, mengingat pria itu selalu menyebalkan baginya.

Keduanya sampai di Restaurant Steak yang selalu Winara datangi, tanpa menunggu Yasmin, pria itu langsung keluar terlebih dahulu. Membuat Yasmin menatap pria itu aneh. “Ini gue diajak masuk gak sih?”

Karena Yasmin sendiri bingung ia diajak atau tidak, ia memilih mengikuti Winara masuk ke dalam. Mencari meja pria tersebut hingga menemui Winara yang telah duduk manis di meja samping kaca besar.

Yasmin mendudukkan bokongnya disana—didepan Winara, ia tersenyum sebaik mungkin walaupun dari hati terdalamnya ia tidak ingin tersenyum sedikitpun pada pria di hadapannya. Ia ingin makanan gratis.

Winara membolak-balikkan buku menu tak minat sampai ia mengangkat tangannya memanggil pelayan. Yasmin tidak sabar makan.

“Saya pesen A5 Kobe Strip Steak satu sama Wine.”

“Saya mau pe—”

“Kata siapa kamu ikut makan?” potong Winara saat Yasmin membuka mulutnya.

“Hah? Saya gak makan, Pak?” Winara menggelengkan kepalanya. “Kan yang laper saya, bukan kamu.”

Asli, nih orang nyebelinnya udah tingkat dewa.

Yasmin meneguk ludahnya tertahan seraya menurunkan buku menunya saat pelayan telah pergi. Winara menatapnya datar. Sedangkan Yasmin menahana untuk tidak mengatai pria dihadapannya saat ini, namun tidak bisa.

Asu,” gumam Yasmin dengan pelan.

Dan benar saja, Yasmin hanya melihat Winara memotong hingga menyuap Steaknya ke dalam mulut. Beberapa ia berusaha menahan air liurnya sampai,

“Kamu mau?”

Mau gimana?

Yasmin mengangguk ragu lalu menatap potongan steak Winara dengan melas. Ia sungguh ingin makan steak tersebut. Padahal Yasmin juga sudah memikirkan steak apa yang akan ia pesan.

“Aaa.”

Hah maksudnya gimana? Gue disuapin nih orang?

Memang dasarnya Yasmin menurut-nurut saja, ia membuka mulutnya sembari mencondongkan tubuhnya mendekati garpu yang Winara pegang hingga,

“Kamu pikir saya bakalan suapin kamu beneran?”

Anjir gue diboongin.

“Ambil sendiri.”

Untuk semua kata binatang di dunia, Winara cocok mendapatkan umpatan darinya saat ini. Yasmin harus menahan malu dan juga,

malu.

Intinya, Yasmin malu sekarang.

Percobaan.

Shylla memandang Gema yang duduk di meja belajarnya. Perempuan itu tengah mengerjakan tugas sekolah miliknya namun sembari menjaga dirinya. Katanya takut sewaktu-waktu Shylla butuh bantuan, walaupun Shylla yakin ia dapat melakukannya seorang

Seperti ingin ke kamar mandi, atau makan. Gema sangat ingin membantunya. Terkadang itu cukup membuat risih namun ia tidak dapat menolaknya.

Kaisar, Elang, dan juga Satria datang ke rumahnya sore tadi dan kembali menyuruhnya untuk beristirahat, namun ada yang salah dengan tatapan Kaisar tadi sore—sama seperti tadi pagi.

Kaisar memang selalu menatapnya tajam, namun tadi sore berbeda dari sebelum-sebelumnya. Shylla sampai memikirkan kembali apa yang telah ia lakukan sebelumnya sehingga laki-laki itu menatapnya dengan berbeda.

Setelah ketiga laki-laki itu pamit untuk pulang, tak lama Gema datang dengan kedua tangan yang penuh makanan. Perempuan itu benar membawa semua makanan untuknya. Tidak ada yang salah dengan Gema, tapi Shylla merasa perempuan itu selalu membahas betapa nyamannya rumah Shylla.

Entah perempuan itu melihat foto keluarganya, atau membahas kamarnya yang sangat nyaman, bertanya apa yang orang tuanya lakukan. Aneh, tapi Shylla menepis segala prasangka buruknya kepada Gema.

Karena bagaimana pun, Gema adalah kembarannya.

“Sil?” Shylla tidak menjawab namun menatap lurus kearah Gema yang juga menatap kearahnya. Perempuan itu terlihat ragu untuk membuka suaranya yang justru membuat Shylla merasakan jantungnya berdegup kencang.

Gema menghela nafasnya lalu membuka suaranya, “Tukeran posisi yuk, Sil.”

Shylla mengernyitkan keningnya tidak mengerti. “Maksudnya gimana, Gem?”

“Iya, lo jadi gue terus gue jadi lo. Kan nggak ada yang tau ini kalo lo punya kembaran, jadi aman aja kan.”

“Terus nyokap bokap gue gimana?”

Gema mengedikkan bahunya, “Ya kan mereka nggak tau juga, Sil. Jadi aman juga lah.” Shylla menatap Gema tak yakin dengan ide perempuan tersebut. “Jadi, gimana? Kayanya bakal seru deh, Sil, kalo kita tukeran gitu.”

Shylla menggelengkan kepalanya lalu berkata, “Kayanya nggak bakal seru deh, Gem. Lo kan udah gue kasih tau sebelumnya, temen-temen gue semuanya peka banget. Jadi, bisa langsung ketauan. Jadinya nggak seru.”

Gema berdecak kesal, “Ya kan belom dicoba, Sil. Coba dulu. Ayolah!” Gema menghampiri Shylla dan duduk di samping tempat tidurnya dengan senyum lebar perempuan tersebut. Perempuan itu meraih tangan Shylla dan merematnya pelan, seolah memohon padanya untuk setuju dengan rencana perempuan tersebut.

“Yes! Seminggu ya, Sil?” Lagi, Shylla mengangguk pelan lalu tersenyum kecut.

Dan detik itu juga,

Shylla berdoa semoga Kaisar atau Satria tidak mengetahui rencana mereka berdua.

Semoga temannya tersebut tidak menyadari bahwa Shylla bukanlah Shylla.

Muncul Tiba-tiba.

Gema semakin hari semakin aneh menurut Shylla. Terkadang, Gema muncul secara tiba-tiba. Contohnya, saat Shylla bersama dengan Kaisar di supermarket, Gema tiba-tiba berada disana juga. Membuat Shylla beberapa kali menatap kearah Kaisar pergi—takut jika laki-laki itu mendapatinya berbincang dengan Gema. Orang asing bagi Kaisar.

Atau saat ia bersama dengan Satria belajar bersama di Cafe. Gema juga tiba-tiba berada disana. Memanggilnya diam-diam saat Satria meninggalkannya sendiri.

Shylla merasa aneh dan menanyakan hal tersebut kepada Gema, namun perempuan itu mengatakan, “Iya gue emang ngikutin lo, Sil. Gue mau deket-deket sama kembaran gue soalnya.”

Tidak aneh memang jika Gema ingin selalu berada di dekatnya, tapi tetap saja mereka berdua awalnya adalah orang asing.

Ia cukup sulit membiarkan perasaan tersebut, karena ia juga merasa ada sesuatu yang menganjal. Seperti sekarang, ia tengah bersama dengan Kaisar. Lagi-lagi, Kaisar berada di rumahnya. Tidak ada perbincangan antara keduanya. Kaisar sibuk dengan ponselnya, sedangkan Shylla yang sibuk menatap televisi.

Kedua orang tuanya juga belum menampakkan akan kembali dalam waktu dekat ini, sehingga waktunya bersama dengan Kaisar menjadi lebih lama.

“Lo punya temen baru?”

Shylla tersentak dari lamunan panjangnya. Laki-laki di sampinya ini, Kaisar, tengah memandang ke arahnya dengan serius. Seolah menunggunya menjawab pertanyaan laki-laki itu. Shylla hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

Ingat, Shylla dan Gema memutuskan untuk merahasiakan hubungan mereka dari semua orang, termasuk Kaisar.

Kaisar tidak mengatakan apapun, hanya terus memandang kearah Shylla dengan kedua tatapan yang tak dapat dijelaskan. Ia mendekat kearah Shylla membuat perempuan itu memundurkan tubuhnya menjauhi Kaisar. Shylla tidak menyukai Kaisar yang selalu ingin tahu seperti ini.

“Satria bilang lo punya temen baru.”

“Nggak ada.”

“Nggak usah boong. Rangga juga bilang lo punya temen baru.”

Shylla terdiam. Seperti yang Shylla katakan pada Gema, semua temannya adalah orang yang peka. Ia tidak pernah menunjukkan kepada mereka apa yang ia lakukan. Tapi lihat, mereka mengetahuinya. Mereka tahu tentang Gema.

“Kenalin.”

“Kenalin siapa, Sar? Gue nggak punya temen baru.”

“Kenalin ke gue, Sil.”

Shylla menghela nafasnya kasar. Sesungguhnya, ia sangat lelah dengan sikap Kaisar—sejak dulu—tapi ia selalu menahannya dan memilih untuk membiarkan laki-laki melakukan apapun yang ia mau.

“Nggak ada, Kaisar. Gue nggak punya temen baru.” Tatapan Kaisar pada Shylla semakin tajam, seolah memaksa perempuan itu untuk menjawab jujur pertanyaannya.

“Gue selalu bareng lo, Sar. Bareng Satria, Rangga juga. Gimana gue bisa punya temen baru kalo gue aja sama lo terus, Sar. Jadi nggak ada, Sar. Gue nggak punya temen baru, oke?”

Habis sudah pertahanan Shylla.

Kaisar menganggukkan kepalanya dan kembali menatap ponselnya. “Lo tau kan, lo harus selalu kasih tau ke gue apapun itu. Mau temen, atau mau pergi kemana,” ujar Kaisar tanpa menoleh kearah Shylla.

Shylla tidak lagi mendengarkan kata-kata Kaisar. Karena telinganya terasa berdengung yang cukup panjang. Dalam dengungan itu, terselip suara gesekkan pisau yang dimainkan dengan lihai. Apakah ia mulai mengalami hal yang aneh? Shylla memutuskan untuk bangkit meninggalkan Kaisar yang saat ini menatapnya aneh. Ia berkata ingin mengambil minum, meski sebenarnya ia mencoba melarikan diri dari perasaaan tak enak.

Menjauh dari Kaisar. Tidak lupa, Kaisar adalah orang yang sangat peka.

Kedua tangannya bertumpu pada meja makan, kepalanya menunduk saat nafasnya terasa sesak. Hingga ia merasakan sebuah tangan berada di pundaknya, merematnya dengan pelan—Kaisar.

“Kenapa? Sakit?”

Ia menggeleng seraya mendorong tangan Kaisar menjauh dari pundaknya. Dadanya masih terasa sesak. Nafasnya terasa sulit ia hirup namun ia berusaha terlihat normal di hadapan Kaisar.

Maka Shylla memutuskan menatap Kaisar dengan kedua mata yang lesu dan juga wajah pucatnya. “Sar, lo bisa pulang sekarang nggak? Kayanya gue mau tidur deh sekarang.”

Sangat jarang Kaisar langsung mengangguk setuju lalu membantu Shylla menuju kamarnya. Laki-laki itu hanya menatapnya dalam diam, Shylla tidak tahu apa yang ada dipikiran Kaisar padanya sekarang dan ia tidak peduli. “Gue kunci pintu, ya? Kalo masih nggak enak langsung telfon gue atau Satria.” Shylla mengangguk pelan.

Terdengar suara mesin motor milik Kaisar. Laki-laki itu telah pergi dari rumahnya, namun rasa sesak di dadanya justru semakin sakit. Nafasnya tercekat, giginya bergemeletuk, Shylla meringkuk diatas ranjangnya menahan rasa sakit.

Semakin lama semakin terasa sakit. Hingga ia melihat siluet yang cukup ia kenali berdiri di depan pintu kamarnya. Gema.

“Sil, minta tolong tuh nggak apa-apa.” Perempuan itu berjalan menuju ranjangnya seraya menarik selimut guna menutupi tubuh Shylla. “Gue bikinin lo makanan, ya? Sebentar.” Gema keluar dari kamarnya.

Lagi,

Gema muncul secara tiba-tiba.

contoh

Akhirnya, setelah perdebatan panjangku dan Satria, kami memutuskan untuk pergi secara diam-diam. Jika Satria tidak mengajak pergi, sebenarnya aku yang akan mengajak laki-laki itu. Sudah ku katakan, bukan? Satria sering membicarakan tentang film atau buku padaku—kami mempunyai kegemaran yang sama. Hanya saja terkadang aku malas mendengarnya bicara.

Tapi, Satria adalahtemanku. Laki-laki itu selalu menjadi teman sebangku ku selama dua tahun ini. Entah, teman atau bukan. Karena aku hanya kasian padanya. Kami saling mengkasihani satu sama lain.

Kami mengendarai motor Satria menuju Mall. Hanya berdua. Jangan berpikir aneh, Aku dan Satria sudah sering berpergian bersama seperti ini. “Lo yakin Kaisar nggak ikut, Sil?”

Sebenarnya, aku tidak percaya jika Kaisar dengan mudah membiarkanku pergi dengan Satria. Apa lagi dalam keadaan kedua orang tuaku meminta Kaisar untuk menjagaku selama mereka berdua keluar kota. Karena Kaisar tidak pernah membiarkanku pergi tanpa dirinya. “Nggak kayanya.”

“Gue nggak yakin sih, Sil, kalo Kaisar nggak ngikutin kita sekarang. Gue bisa baca pikiran tuh orang,” kata Satria seraya berkacak pinggang saat kami berdua tengah mengantri tiket.

Benar. Aku sendiri tidak yakin jika Kaisar tidak mengikuti kami saat ini. Bahkan, Satria terlihat mengedarkan pandangannya ke sekeliling bioskop lalu menatapku terkejut. “Gue nggak nemu Kaisar, tapi lo harus liat sih, Sil. Arah jam 9.”

Aku menoleh kearah yang Satria tunjuk. Rangga dan Elang. Tak hanya mereka berdua, namun ada dua perempuan yang cukup membuatku kesal. Adhisty dan juga Hana. Mengapa mereka berempat berada disini juga?

Mengapa harus sekarang?

Aku kembali menatap kearah Satria, “Gue ke toilet dulu ya. Nggak apa-apa kan kalo gue tinggal dulu?”

“Santai sih, Sil.” Aku mengangguk lalu meninggalkan Satria berdiri sendiri di dalam barisan tersebut.

Bohong jika aku pergi ke toilet untuk buang air kecil, karena aku menghindari ke empat orang tersebut. Rangga, Elang, Adhisty, dan juga Hana. Aku tidak ingin menemui mereka semua saat ini. Tidak hari ini, dan juga esok.

Aku sudah pernah bilang, bukan? Bahwa aku adalah seorang pengecut. Ya, sekarang kalian melihat sendiri bagaimana kedua kakiku melangkah tergesa menuju toilet Bioskop.

Aku duduk dan terdiam di dalam bilik toilet. Menghitung hingga seratus dalam hati.

Ya, setelah seratus ku sebut, maka itu adalah waktu dimana aku harus keluar. Aku perlu menenangkan diri. Aku membasuh wajahku berusaha membuat wajahku terlihat segar hingga aku mendapati seorang perempuan berdiri dengan kedua tangan melipat di dada.

“Sama siapa, Sil?”

Aku tersenyum lebar padanya, Gema. Walaupun aku harus melihat ke empat orang tersebut, tapi kini aku melihat saudara kembarku masih lengkap dengan seragam sekolahnya. Ngomong-ngomong, Gema terlihat cantik hari ini.

Ia memakan sebuah permen dimulutnya seraya menatap kearahku berbinar, “Seneng banget gue nemuin lo disini. Gue tadinya mau ngajak lo ketemu lagi, tapi temen gue ngajak nonton tiba-tiba.”

“Nanti malem ke rumah gue lagi aja, Gem.”

Gema menggelengkan kepalanya membuat kedua mataku meredup sendu. “Nggak mau ah, Sil. Nanti temen lo dateng lagi terus ganggu waktu berdua kita.”

Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. “Nggak, semalem dia ingetin gue kunci pintu tapi gue nggak ngecek pintu lagi jadinya dia bisa masuk. Nanti malem gue langsung kunci pintu deh. Terus kita ngobrol di kamar tamu aja.”

“Kamar lo kenapa?”

Nggak aman, Gem.” Gema mengangguk paham, membuatku sedikit bernafas lega karena Gema masih mau datang ke rumahku kembali.

“Jadi, lo sama siapa ke sini?”

“Sama temen gue, Gem.”

“Temen apa temen nih?”

“Temen, Gem! Astaga!” Aku tertawa saat melihat Gema berusaha menggodaku. Seperti saat Kaisar menelfonku. Ku pikir, aku dan Gema memiliki pemikiran yang sama. Aku tidak ragu lagi, Gema memang benar saudara kembarku.

“Gue mau bab dulu, Sil. Lo keluar gih jangan dengerin gue bab, gue malu.” Aku tertawa kencang mendengar ucapannya lalu mengangguk paham.

“Nanti malem chat gue lagi ya, Gem. Jangan lupa dateng ke rumah gue juga!”

“Iya, iya, Shylla. Gue dateng nanti malem. Tungguin aja.” Sekali lagi aku mengangguk lalu melambaikan tanganku padanya dan keluar dari toilet.

Aku seperti melihat tatapan aneh.

Saat aku membuka pintu toilet, aku langsung berhadapan dengan Kaisar. Tunggu dulu, bagaimana? Maksudku, kenapa Kaisar ada disini?

“Gue udah bilang nggak sih, Sil. Gue. Nggak. Izinin. Lo. Pergi.”

Aku menelan air liurku. Mendengar nada suara Kaisar yang penuh penekanan seperti ini, membuat nyaliku menciut. Mati. Aku mati. Tamat riwayatku saat ini.

Tanpa mengatakan apapun lagi, Kaisar menarik tanganku. Membuat tubuhku dengan patuh mengikutinya. Aku pasrah dibawa olehnya hingga kedua mataku bertabrakan dengan Satria yang menggerakkan mulutnya seolah ia mengatakan, “Sorry, Sil. Sorry. Gue nggak tau.

Aku hanya mengangguk memaklumi Satria saat aku dan Kaisar melewatinya. Hingga aku dapat melihat Rangga, Elang, Adhisty, dan juga Hana turut melemparkan tatapan mereka ke arahku dengan prihatin—atau harus aku katakan mengejek?

Aku tidak tahu kemana Kaisar menarik tanganku hingga aku tersadar kami telah sampai di Basement, berdiri di depan pintu mobil milik laki-laki tersebut. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kaisar yang marah dan menyuruhku masuk ke dalam mobil.

Benar. Kami berada di dalam mobil saat ini. Dengan keadaanku yang hanya dapat menundukkan kepalanya, saling meremat kedua tanganku gelisah. Aku merasa deja vu. Aku pernah berada dikeadaan seperti ini sebelumnya.

Tapi, mengapa terasa samar?

Aku menoleh kearah Kaisar yang ternyata ia menatap kearahku dengan tajam. Tatapan itu. Mengapa harus bertemu dengan tatapan itu lagi?

Sebelum berada di kursi penumpang, aku hanya terdiam dan menatap langkah kaki kami. Maksudku, aku sedang memikirkan apa yang akan Kaisar lakukan padaku nanti. Aku sudah memikirkan berbagai kemungkinan terbaik hingga yang terburuk. Kaisar sulit dibaca.

Aku pernah mendengar desas-desus Kaisar memukul seorang perempuan sebelumnya—hanya mendengar, belum merasakannya. Maka dari itu, aku cukup gemetar saat ini.

“Susah ya Sil buat dengerin omongan gue?”

Tidak. Sebenarnya sangat mudah mendengar ucapan Kaisar, aku terbiasa tunduk dengan ucapannya. Hanya hari ini, aku sangat ingin lergi bersama dengan Satria. Entahlah, seperti ada gairah tersendiri melawan ucapan Kaisar. Terlebih pria itu baru saja mengakui menaruh kamera di kamarku. Aku menggelengkan kepalaku menjawab pertanyaan laki-laki itu.

“Kalo nggak susah, kenapa masih pergi sama Satria?”

Layaknya sepasang kekasih yang tengah bertengkar karena salah satunya tertangkap selingkuh. Ya, kami terlihat seperti itu saat ini. Aku tidak suka. Kaisar terlalu mencampuri urusanku. Tapi aku terlalu malas juga berdebat dengannya, maka itu aku memilih untuk mengalah darinya.

“Maaf, Sar. Nggak gue ulangin lagi.”

Aku melirik kearah Kaisar sekilas, laki-laki itu terlihat menghela nafasnya panjang sebelum menepuk kepalaku pelan dan melajukan mobilnya meninggalkan Mall.

Rencanaku gagal.

Jika kalian pikir aku akan dengan mudah mendapatkan izin dari Kaisar, maka kalian salah. Sulit. Sangat sulit.

Aku tidak mengerti dengan laki-laki itu, mengapa ia selalu membatasi segala ruang yang aku miliki? Seolah-olah, aku harus mendapat izin darinya.

Maka disinilah kami saat ini. Belakang Sekolah, dengan keadaan Kaisar mengenggam tanganku erat—atau kalian bisa menyebutnya kasar.

“Mau ngapain?”

Aku meringis pelan saat Kaisar menarik tanganku agar mendekat dengannya, “Mau nonton, Sar.”

“Kenapa harus sama Satria?”

Terdengar seperti cemburu, namun kalian salah. Kaisar lebih terdengar seperti..

Laki-laki brengsek. Aku benar-benar membencinya.

Satria? Entahlah dimana laki-laki itu yang kemarin malam mengatakan akan membantunya izin dengan Kaisar, tapi keberadaannya saja tidak diketahui.

Satria takut dengan Kaisar.

“Jawab, Sil.”

“Ya, mau nonton, Sar. Lagi ini bukan pertama kali kan gue sama Satria nonton bareng. Dari dulu jug—”

“Dulu. Sekarang nggak, Sil. Gue nggak izinin lo.”

Lucu, bukan? Laki-laki ini memang terlihat pintar melucu, ya?

Aku tidak membutuhkan izin dari Kaisar sebenarnya. Aku bisa saja pergi tanpa diketahui laki-laki itu, tapi saat pelajaran berlangsung, Satria membisikkan sesuatu padaku, “Izin dulu ya, Sil. Gue nggak mau lo kenapa-napa.”

Awalnya aku biasa saja, tapi semakin lama itu semakin menganggu pikiranku. Antara memilih izin pada Kaisar yang notabenenya bukan siapa-siapaku, atau tidak memberitahunya dan kemungkinan mendapat konsekuensi besar darinya.

Maka aku memilih opsi pertama. Izin pada Kaisar.

Dasar pengecut.

Kaisar menatapku tajam, aku dapat merasakan rematan ditanganku olehnya. Aku tidak suka jika Kaisar berbuat kasae seperti ini. “Sar, apaan sih.”

Aku menatap Kaisar marah, dan berusaha melepas genggaman tangannya. Ini benar terasa sakit. “Gue lepasin, tapi lo nggak nonton sama Satria.”

“Hah?”

“Pilih gue lepasin dan nggak nonton sama Satria, atau gue bakal tetep kaya gini, Sil.”

Kaisar memang laki-lakibrengsek. “Iya, gue nggak jadi pergi sama Satria. Sekarang, lepasin!'

Kaisar tidak kunjung melepas tanganku, membuatku mau tidak mau memberikan tatapan memohon. Aku cukup pandai berakting. Kaisar akhirnya melepaskan genggamannya. Masih menatapku dengan tajam dan dingin. Tatapan yang paling ku benci. Kaisar selalu berusaha terlihat menyeramkan, padahal ia.. ya, kalian bisa menebaknya sendiri.

“Gue nggak mau nemuin lo sama Satria diem-diem pergi nonton ya, kaya dulu pergi ke toko buku nggak bilang gue.” Aku mengangguk dengan cepat. Jika mengingat hari itu, aku rasa aku memilih untuk tidak pergi dengan Satria.

Sekali lagi Kaisar menatapku sebelum membalikkan tubuhnya meninggalkanku sendiri disini. Tapi ada hal yang perlu ku tanyakan padanya. Hal yang sangat menganjal dipikiranku. Sejak semalam.

“Kaisar!” Ia kembali berbalik namun tetap berdiri ditempatnya, tak berusaha untuk melangkah maju kearahku. Dia hanya terdiam disana dan itu adalah bagus. Aku tidak ingin berdekatan dengannya saat menanyakan hal ini.

“Di kamar gue,” Aku berusaha membaca raut wajah Kaisar saat ini, tapi wajahnya justru tetap datar seolah ia tidak peduli dengan apa yang akan aku ucapkan. “Lo taruh kamera, kan?”

Tetap datar. Ia terlihat tidak terusik dengan pertanyaanku hingga langkahnya membawa dirinya mendekatiku. Bagai seeker predator yang siap memangsa korbannya. Ya, aku adalah korbannya.

“Lo tau?”

“Hah?” Kaisar tersenyum saat berhenti tepat di depanku. “Lo baru tau gue taruh kamera di kamar lo?”

Maaf? Tapi apakah aku salah mendengar?

Kaisar,

Ia mengakuinya.

Kaisar mengakui bahwa dirinya menaruh kamera di kamarku. Membuatku terdiam dan menatapnya terkejut. “Maksud lo apa, Sar?” “Berapa yang lo temuin?”

Aku terdiam lalu menjawab pertanyaannya dengan pelan, “Empat.”

“Ding! Salah, gue nggak naruh empat kamera, Sil.” Kaisar tersenyum. Catat, Kaisar tersenyum padaku. Lalu ia menepuk kepalaku dengan pelan, lalu menjadi elusan dikepalaku. Aku takut.

“Nanti sampe di rumah, di itung lagi ya ada berapa.”

Sial, jadi tidak hanya ada empat saja ia menaruh kamera di kamarku?

Mesum.

Kaisar pergi meninggalkan aku yang masih bertanya-tanya apa maksud darinya menaruh kamera di kamarku? Lalu mengapa ia me jawab pertanyaanku tanpa mengelak? Seperti ia sudah siap atau membiarkanku tahu bahwa ia menaruh kamera di kamar.

Apapun itu tujuan Kaisar, laki-laki itu tetap saja gila dimataku.

Dan juga,

menyeramkan.

Bina meringis saat melihat keadaan semua temannya sudah tidak berdaya. Yasmin yang tergeletak asal di atas sofa, Ara temannya yang gilanya melebihi Yasmin juga tergeletak dibawahnya, sementara temannya lain masih terkontrol. Bina menghampiri Yasmin, “Yas, sumpah besok kalo lo gak bangun gue nangis, Yas. Serius banget ini, kalo lo gak bangun gue beneran nangis kenceng.”

“Jangan kasih tau Winara ya! Kalo gak besok gue gak mau bangun,” ucap Yasmin setengah sadar membuat Bina menggelengkan kepalanya tak percaya.

Sedangkan temannya, Ara justru melakukan kopral secara tiba-tiba membuat semua temannya berteriak terkejut. Ini yang dimaksud oleh Bina dengan Ara yang lebih gila dari pada Yasmin. Gadis itu sangat gila. Tidak mabuk saja sudah gila, apa lagi saat seperti ini?

“Ara! Sumpah, Ara lo jangan gila please sekali aja!”

Berbeda dengan Bina yang memarahi Ara, justru temannya yang lain menyemangati gadis itu dengan berteriak, “Go, Ara! Go, Ara!”

Bina menarik nafasnya panjang. Tak beberapa lama, suara ponselnya berbunyi dengan nyaring.

Mas Odan.

Bina mengangkat panggilan tersebut setelah menjauh dari teman-temannya, “Halo, Mas?”

Sayang!! Mas kangen banget!!

Bina mengernyitkan keningnya seraya menjauh dari ponselnya, menatap tak percaya karena Mas Odan yang ia kenal jarang sekali berteriak semangat seperti itu padanya. Jadi ini aneh baginya. “Mas?”

Bi, ya ampun Mas gak sabar banget mau ketemu kamu besok! Pasti kamu bakal cantik deh,

Eh tapi kamu mah emang selalu cantik dimata mas, kabina paling cantik sedunia!

Bina terkekeh karena ia yakin seratus persen Mas Odan saat ini tengah mabuk bersama dengan teman-temannya yang lain, yang berarti Winara juga sama seperti Yasmin. Jadi, Bina memutuskan hanya mendengarkan Jordan berbicara. Lagi apa yang kalian harapkan dari seseorang yang sedang mabuk?

Bi? Mas tuh sebenernya pantes gak sih nikah sama kamu sekarang? Mas banyak kurangnya, Bi.

Kurang apanya, Mas? Mas Odan mah banyak lebihnya malah.

Bina menoleh kearah belakang saat mendengar suara meja jatuh, dan melebarkan kedua matanya saat melihat Yasmin mengakibatkan hal tersebut—Yasmin tidur di atas meja. Gadis itu, benar-benar gila.

Bi? Bi? Kabi sayangnya Odan?

Sebentar. Jordan jika mabuk seperti ini? Kalau begitu Bina akan sangat senang dipanggil 'sayangnya Odan' setiap kalau begini caranya. Tidak, Bina bercanda.

“Apa, Mas? Aku masih denger Mas ngomong kok.”

Bi, do you love me?

Mas kayanya gak pernah nanya gitu deh ke kamu. Keliatan kaya Mas main asal aja ya? Maafin ya, Bi. Mas masih kagok soal hubungan kaya gini. Mas jarang cerita soal perasaan Mas ke kamu, nanya perasaan kamu ke Mas juga jarang. Tuh kan, Mas banyak kurangnya.”

Bina terdiam. Rasanya ia tidak tahu ingin menjawab apa ucapan pria ini. Karena Bina juga sama seperti Jordan. Jika dipikir-pikir, keduanya memang jarang mengungkapkan perasaan satu sama lain secara terus terang. Kalau begini yang ada Bina akan menangis sebelum hari pernikahannya. Padahal, sebelum ia melakukan bridal shower dengan yang lainnya, Kalvin menjadi orang yang paling sibuk mengantarnya kemana pun.

Kalvin memang tidak mengatakan apapun, hanya membantu Bina melakukan semuanya. Dari mulai mengantarnya ke butik, ke hotel, datang ke kamarnya setiap malam untuk bercerita, katanya Kalvin mungkin ia tidak bisa melakukan kebiasaan tersebut lagi jika Bina sudah menikah. Jika mengingat Kalvin, Bina menjadi sedih karena harus jauh dengan kakak tersayangnya itu.

Mas bakal usaha jadi lebih baik, Bi. Buat kamu, buat kita berdua. Maaf ya, Bi, Mas gak ngasih kejelasan hubungan kita awalnya, cuman bisa ngomong Mas suka sama kamu terus mau hubungan serius tapi gak ngajak kamu pacaran.”

Mas Odan gak ngajak pacaran, tapi langsung nikah.

Dan! Woi, jangan nangis anjing!

Stt, jangan berisik, Den! Gue lagi telfonan sama istri gue!!”

Calon anjing! Lo berdua nikahnya besok! Mending tidur deh sekarang! Gue udah rapihin tempat tidur!

Bina dapat mendengar jelas percakapan Jordan dan Denis disebrang sana, membuatnya tertawa pelan mendengar interaksi keduanya. Setidaknya, Bina tidak terlalu khawatir dengan keadaan Jordan karena ada Denis yang cukup dapat dihandalkan.

Yah, Bi! Mas udah disuruh tidur nih sama sih Denis ngeselin. Kabi sayangnya Odan, wanita paling cantik sedunia yang Odan paling sayan—

Najis, Odan! Lo geli banget sumpah! Kaget gue liat lo begini ke Bina.

Selamat malam, Bi, calon istri Odan!

Sambungan terputus sepihak. Mungkin, Denis yang mematikan panggilan mereka dan menarik pria itu ke atas kasur. Maka itu, besok Bina akan berterima kasih dengan Denis.

Dan kembali lagi dengan teman-temannya, Yasmin dan Ara semakin melakukan hal gila lainnya. Bina benar-benar harus memperbanyak sabar berteman dengan keduanya.


Setelah malam yang panjang, pagi pun datang. Dimana hari yang paling Bina dan Jordan tunggu-tunggu akhirnya tiba. Saat matahari terbit, Bina berusaha keras membangunkan Yasmin dan ia hampir saja menangis karena gadis itu tak kunjung membuka kedua matanya.

Karena, jika Yasmin tidak ada dalam pernikahannya, Bina akan benar-benar menangis kencang dengan gaun pernikahannya.

Yasmin tak berhenti memukulnya saat lagi-lagi ia menangis. Bukan karena sedih, tapi karena kedua matanya sangat sensitif. Ia tidak bisa menggunakan eyeliner. Atau saat Yasmin dan Ara membantunya memakai gaun, keduanya tak berhenti berteriak semangat dan mengoceh panjang lebar betapa Bina terlihat sangat mempesona.

Ibu dan Ayah juga turut memujinya, betapa cantiknya ia hari ini. Atau, aura yang ia keluarkan saat ini sangatlah bagus. Bahkan, kedua orang tua Jordan juga telah menemuinya. Hanya satu yang belum menemui dirinya, Kalvin.

Sebenarnya, sejak ia mulai siap didandani hingga ia telah rapih dan siap mengucap janji. Ia menunggu kehadiran Kalvin datang ke ruangannya. Atau, Bina sangat ingin keluar dan mencari Kalvin untuk memamerkan betapa cantiknya ia hari ini. Namun, Yasmin melarangnya dan sebagai gantinya ia yang akan mencari Kalvin dan membawanya kemari. Tapi hingga saat ini Yasmin belum juga kembali. Padahal Bina hanya ingin pamer pada Kalvin.

“Bang Apin gak mau liat gue apa ya, padahal Adeknya udah cantik gini,” sungut Bina seraya menatap dirinya dipantulan cermin. “Biarin aja nanti kalo ketemu gue jenggut nih Bang Apin.”

Bina masih berdiri di hadapan cermin besar, kepalanya masih memikirkan banyak hal jika nanti Kalvin masuk kemari ia akan langsung marah pada pria itu dan tidak lupa juga ia akan memamerkan gaunnya. Ia sudah membayangkan betapa kesalnya wajah Kalvin nanti.

Namun, itu semua hanya berada dipikirannya, bukan? Karena nyata, Bina hanya diam tak berkutik saat Kalvin memasukki ruangannya. Hanya ada mereka berdua. Mungkin, karena Kalvin tersenyum padanya dengan senyuman yang Bina dapat artikan sebagai—sebagai kagum pada dirinya saat ini.

Jika begini, yang ada Bina akan menangis. Dan benar saja.

“Cantik banget,” puji Kalvin memandang pantulan Bina dari cermin. Sedangkan Bina justru melakukan pose seolah ingin menunjukkan kepada Kalvin bahwa ia memang terlihat cantik saat ini. “Iyalah, Ina mah kapan sih gak cantik.”

Kalvin tertawa renyah. Tidak bisa dibohongi bahwa pria itu sudah siap menitikkan airmatanya melihat Bina saat ini. Maka, Bina menghampiri Kalvin lalu menarik pria itu ke dalam pelukkannya. “Bang Apin!! Ina beneran mau nikah!”

Kalvin mengangguk lalu membalas pelukkan Bina sama eratnya. “Iya, Ina. Bang Apin tau kok kamu mau nikah.”

Bina tersenyum kecil lalu menjauh guna melihat wajah Kalvin, jika seperti ini Bina akan menangis. Karena senyum Kalvin sangatlah berbeda saat ini. Bina tidak dapat menjelaskannya karena ia juga merasa sedih.

“Bang Apin, Ina beneran mau nangis ini kalo Bang Apin liatin Ina kaya gitu terus.”

“Abisnya, Adeknya Bang Apin cantik banget sih. Gimana Bang Apin gak terpesona liatnya.”

Bina tertawa mendengar ucapan Kalvin, tanpa komanda kedua matanya mengeluarkan airmata. Membuat Kalvin langsung menatapnya panik. “Dek, ya ampun jangan nangis ih! Makeup kamu nanti ancur. Ya Tuhan! Kabina ih astaga jangan nangis.” Kalvin berlari mencari tissue untuk mengusap airmata Bina saat ini, namun Bina justru tertawa kencang melihat Kalvin yang sangat sibuk dan juga panik itu.

Sedih, tapi lebih ke lucu melihat Kalvin. Kalvin memang selalu seperti ini. Saat dirinya nangis atau mengadu padanya, pria itu pasti akan panik. Kalvin kembali menghampiri Bina lalu mengusap airmata gadis itu dengan perlahan—berusaha keras agar tidak menghancurkan makeup gadis itu.

“Bang Apin jelek banget kalo lagi panik gitu. Ina jadi ketawa padahal tadi suasananya udah pas banget buat nangis.”

“Jangan nangis, Na. Nanti Bang Apin jadi ngerasa bersalah banget udah bikin pernikahan kamu jadi sedih gini.”

Bina mengangguk lalu kembali memeluk tubuh Kalvin, “Udah diem! Ina mau peluk Bang Apin sepuasnya dulu sebelum acara mulai!” Keduanya memang tidak mengatakan dengan jelas tapi semua orang tahu jika keduanya saling menyanyangi satu sama lain. Layaknya seorang kakak dan adik. Kalvin yang selalu berusaha menjaga Bina, dan Bina yang selalu berlindung pada Kalvin. Mulai saat ini, Bina akan berhenti berlindung pada Kalvin. Karena tugas Kalvin menjaga Adik satu-satunya telah selesai.

Kalvin melepaskan Adiknya.


Suara tepuk tangan begitu meriah terdengar diseluruh ruangan. Beberapa dari kerabat turut menitikkan airmatanya saat kedua mempelai telah selesai mengucap janji.

Yasmin menjadi orang yang paling banyak menitikkan airmatanya melihat temannya, sahabatnya, bahkan keluarganya telah menjadi tanggung jawab pria disamping gadis itu. “Udah sih, Yas. Jangan nangis gitu, malu diliatin yang lain.”

“Diem! Gak liat apa ya temennya nikah! Kalo Bina nikah, aku makan nasi gila sama siapa?!”

Winara menatap Yasmin aneh walaupun tangan kanannya tetap merangkul pundak gadis itu dengan lembut. “Ya, sama aku?”

“Heh! Kamu aja gak mau makan di tempat kaya gitu! Aku mau join keluarga Bina aja deh kalo gini.”

“Astaga, Yasmin. Jangan gitu.” Yasmin mengusap kedua matanya.

Sedangkan pasangan yang baru saja mengucap janji suci tersebut saling berhadapan, senyum keduanya tak kunjung luntur. Jordan tak berhenti mengucap betapa cantiknya Bina saat ini di hadapannya, dalam hati. Bina juga tersenyum lebar menatap kedua mata Jordan bahagia.

Terlepas Bina menjadi tanggunh jawab Jordan dan berpisah dengan Kalvin, Sang Kakak. Bina sangat bahagia saat ini. Apa lagi saat dirinya melihat Yasmin dan juga Winara yang saling mengenggam tangan satu sama lain. Maka dari itu, saat pelemparan bunga, Bina tidak melemparnya dan justru menyerahkannya kepada Yasmin. Karena Bina berdoa untuk sahabatnya tersebut agar segera menyusul dirinya.

Apa lagi saat melihat Ara yang sangat cepat berbaur dengan teman-temannya Jordan, membuatnya menggelengkan kepalanya. Ara memang tipe gadis yang easy-going. Jika gadis itu tidak memilih tinggal diluar negeri, mungkin ia, Yasmin dan juga Ara akan menjadi orang yang sangat gila bersama.

Perhatiaan Bina teralih kepada Jordan yang mengenggam tangannya secaar tiba-tiba, seolah memang ingin memanggilnya. “Bi?” “Kenapa, Mas?”

Jika melihat wajah Jordan saat ini, Bina menjadi ingat kejadian tadi malam. Apakah Jordan sadar dan ingat betul apa yang ia katakan padanya?

Jordan menggelengkan kepalanya dengan senyum teduhnya, “Gak apa-apa. Mas cuman mau manggil kamu aja.”

“Ih apaan sih, Mas.”

Bina dan Jordan tertawa bersama. Genggaman tangan keduanya semakin erat. Jordan memamerkan deretan balok putih di mulutnya memperlihatkan senyuman lebar. “Mas? Mau bilang kalo aku cantik ya?”

“Engga,” Jordan tertawa. Bina memberengut kesal—berpura-pura. “Bi, kamu mau tau gak arti kamu dihidup Mas apa sekarang?”

Bina memiringkan kepalanya beberapa derajat ke arah samping, menatap Jordan penasaran seraya berkata, “Aku.. penting?“

Ya, seperti detak jantung.”

“Gombal deh, Mas. Udah makan dulu sini aku suapin.”

“Mana? Aaaa—”

END.

Mereka tidak tahu jika aku telah hancur.

Untuk kesekian kalinya, aku melirik ke arah Kaisar yang berada di meja sebelah kananku. Kedua matanya tidak berhenti menatap ke arahku dengan curiga. Aku tidak suka dengan tatapannya. Jadi aku memutuskan untuk membalas tatapannya dan berkata, “Kenapa?”

Laki-laki itu hanya menggelengkan kepalanya, namun tetap menatap lurus kedua mataku. Lagi, Kaisar membuatku tidak nyaman.

Tidak banyak yang dapat aku jelaskan tentang Kaisar. Dia hanya laki-laki muda seperti pada umumnya. Nakal. Dingin. Pintar. Tampan. Dan juga menyebalkan. Tatapan tajamnya, membuatku selalu patuh dengannya. Hari ini, Kaisar membiarkan rambutnya jatuh—tidak seperti biasanya laki-laki itu suka memakai gel rambut. Rambut hitam tebal yang membuat siapa pun melihatnya ingin merasakannya. Membawa jemari mereka menari ke rambut tersebut.

Kaisar memang tampan bagi semua orang, tapi tidak bagiku.

Walau terkadang detakkan itu sering kali datang, aku tetap mencoba untuk biasa saja.

Sama halnya dengan Elang yang beberapa kali menoleh kearahku lalu memberikan sebuah kedipan mata jauh—membuatku menggeliat geli dalam hati. Dia menjijikkan.

Aku menelan air liurku saat merasakan sebuah tatapan menghunusku, Adhisty. Nama perempuan tersebut yang tengah menatap tajam ke arahku. Dia salah satu perempuan yang menyukai Elang. Mungkin, aku akan kembali mendapatkan tamparan di wajah.

Tidak apa.

Aku menyukainya.

Satria yang berada di sampingku mulai menepuk pundakku dengan pelan—bisa tidak ia berhenti menepuk pundakku? Aku tidak menyukainya.

“Lo katanya lagi baca buku baru. Tentang apa?”

Berisik.

Aku tersenyum padanya seraya menjawab, “Gatau, belom selesai baca. Mau baca?” Laki-laki itu mengangguk dengan antusias—muka dua.

“Besok gue bawa ya, Sat.”

“Lo mau baca buku yang gue ceritain kemaren nggak?”

“Tentang misteri itu?” Satria mengangguk semangat padahal aku tidak tahu buku mana yang ia maksud. Aku hanya berusaha membuatnya senang, dan berpura-pura bahwa aku sama antusias dengannya.

Satria mengeluarkan buku dalam tas nya lalu menyerahkannya padaku. Buku yang tidak terlalu tebal, berjudul “We Were Liars”.

Apa ini?

Aku menatap Satria—tatapan aneh seperti biasanya saat aku tidak mengerti atau aku ingin mendengarnya bercerita. Kali ini aku tertarik dengan bukunya.

Satria membuka lembaran pertama seraya bercerita padaku, “Ini tuh cerita bagus, Sil. Lo harus baca! Gue nggak mau ceritain ke lo karna ini buku mindblowing banget sih!”

Mendengar ucapan Satria, aku justru merasa tertarik. Karena, sebenarnya mimpiku adalah menjadi seorang penulis. Aku membaca halaman pertama lalu berlanjut menjadi halaman berikutnya hingga aku menoleh ke arah Satria, tersenyum pada laki-laki itu. “Gue pinjem ya, Sat.” Satria memang selalu baik padaku, maka ia mengangguk cepat.

“Sengaja gue bawa buat lo sih itu.”

Mungkin Satria tidak menyadarinya, tapi aku melihat dengan jelas. Laki-laki itu menyeringai. Apa yang kau sembunyikan Satria? Atau, apa yang kau rencanakan sebenarnya?

Jam istirahat.

Aku memilih untuk pamit pada Satria, dan berjalan menuju toilet. Sebelumnya, aku sempat menoleh ke arah Kaisar yang menatapku datar. Selalu.

“Kantin?” tanya Elang menghalangi jalanku. Aku hanya menggelengkan kepala seraya menjawab, “Mau ke toilet.”

“Oke, bye!”

Saat membuka pintu kamar mandi wanita, aku menemukan dua perempuan yang sangat aku tidak sukai. Adhisty dan juga Hana. Dua manusia yang selalu mengusik hidupku. Terkadang aku berharap salah satu dari mereka menghilang dari bumi. Atau, keduanya.

Adhisty melirik pantulan diriku dari cermin dan berkata, “Eh sih manis nongol.”

“Ya?” Aku hanya ingin menggunakan toilet dan kembali ke kelas dengan damai.

“Ya? Haha. Emang lo manis?” ujarnya seraya memoles sebuah lip tint ke bibirnya. Bibir yang ingin sekali aku tarik—sangat berisik. Selalu mencibir.

Aku memilih mendiamkannya dan masuk ke dalam bilik toilet lalu menguncinya dari dalam. Dari dalam sini aku masih mendengar jelas ucapan Adhisty pada Hana, “Boleh ambil Kaisar, tapi jangan ambil Elang juga dong. Jadi cewek kok maruk banget sih.”

Aku memejamkan kedua mataku menahan segala gejolak amarah yang ada dalam tubuhku. Adhisty. Perempuan satu itu hanya iri padaku karena aku mendapat perhatian Elang dengan mudah. Ya, kami teman. Teman? Aku tidak yakin juga.

Adhisty sangat menyukai Elang—sama seperti perempuan pada umumnya di sekolah ini. Salah satu perempuan yang selalu mengangguku hanya karena laki-laki aneh bernama Elang Pratama. Jika mereka tahu betapa busuknya laki-laki itu, aku yakin mereka semua akan lari.

Hampir saja kata kotor keluar dari mulutku saat seseorang memukul bilik toiletku dengan keras. Ya siapa lagi kalau bukan Adhisty pelakunya. Sudah ku katakan, bukan?

Adhisty,

selalu

mengangguku.

Aku membuka pintu toilet dan langsung berhadapan dengannya. Kedua matanya menatap diriku tajam, berusaha membuatku terpojok. Ya, dia berhasil karena kedua kakiku mundur perlahan tanpa aku sadari. Karena jujur, aku juga takut dengannya.

Adhisty menyeramkan.

Ia menarik rambutku dengan kencang, mengenggamnya erat seolah ia ingin membuat rambutku lepas dari kulit kepala. Sakit. Sangat sakit. Dan bodohnya, aku hanya diam sembari meringis pelan.

Percayalah, aku ini pecundang.

“Awas ya kalo besok gue liat lo naik motor sama Elang lagi.”

Aku meringis saat perempuan jahat ini semakin menarik rambutku, lalu melepaskannya dengan kasar. Membuat kepalaku tak sengaja membentur dinding samping dengan keras.

“Gue bikin kaki lo patah!”

Itu menjadi kalimat terakhirnya sebelum menendang pintu bilik toilet lalu pergi keluar kamar mandi dengan Hana yang sejak awal hanya memperhatikan kami berdua dari jauh. Ia hanya mengawasi. Tidak banyak bicara. Tidak juga menganggu. Seperti yang ku katakan, ia hanya mengawasi.

Mengawasi dalam arti buruk.

Aku berjalan menuju wastafel lalu membasuh wajahku tergesa. Kesekian kalinya, Adhisty melakukan hal ini padaku. Dan aku hanya diam layaknya seorang pecundang bodoh. Malu? Tentu saja.

Takut? Sangat.

Tidak mengadu? Pada siapa.

Kaisar? Tidak, Kaisar tidak peduli. Ia hanya menginginkan sesuatu dariku. Dan ia tidak pernah berpikir membantuku.

Rangga? Dia tidak peduli.

Satria? Hanya laki-laki lemah berkedok kata 'keren' dan 'misterius'.

Elang? Dia sumber masalah.

Jadi, aku harus bergerak sendiri, bukan?

Shylla melirik ke arah belakangnya dengan was-was, ia masih dapat merasakan sebuah tatapan menusuk punggung belakangnya.

Orang tersebut masih mengawasinya.

Ia berharap Rangga cepat sampai disini, dan membawanya pergi dengan aman. Shylla menundukkan kepalanya, berpura-pura seolah ia tengah membaca bukunya walaupun kedua matanya melirik kearah orang tersebut.

Hingga Shylla terkesiap saat sebuah tangan menepuk pundaknya, lalu ia melihat seorang gadis dengan wajah yang sama dengannya. Rambut panjang, hitam, dan lurus. Kedua mata yang sama persis dengannya—sangat mirip.

Shylla sempat terdiam beberapa saat, memandang wajah tersebut terheran hingga gadis tersebut mengeluarkan suaranya. “Lo Shylla Anindya, kan?”

Shylla memilih untuk tidak menjawab pertanyaan gadis itu—ia sangat tidak suka dengan orang asing. “Lo Shylla Anindya, kan?” tekan gadis itu sekali lagi. Membuat Shylla mau tidak mau menganggukkan kepalanya pelan.

“Gue Gema. Gema Zakeisha. Kembaran lo.”

“Maaf, gimana?”

Gadis itu berdecak lalu mengulurkan tangannya—berharap Shylla menjabat tangannya seraya berkata, “Gue Gema. Gue kembaran lo, Sil. Kembaran yang kepisah jauh sama lo.”

Shylla mengernyitkan heran—tak percaya dengan ucapan gadis dihadapannya saat ini. Gema? Shylla tidak pernah mendengar nama tersebut selama hidupnya. Bahkan, Bunda dan Ayahnya tidak pernah menyebut nama tersebut. Jadi, haruskah Shylla percaya pada gadis dihadapannya saat ini?

Entahlah, Shylla memilih untuk percaya kali ini. Lantas, Shylla membalas jabatan tangan Gema. “Gue udah ikutin lo dari lama, tapi gue cari waktu yang pas buat nemuin lo. Sorry, kalo gue bikin lo kaget kaya sekarang ini,” ujar Gema seraya melepaskan jabatan tangannya dari Shylla.

Gadis dihadapannya, Gema, melirik kearah sekitarnya dengan was-was. Lalu kembali menatap Shylla dengan serius. “Gue tau lo masih kaget, tapi kita beneran kembar, Sil. Lo sama gue kembar. Gue baru tau selama tiga bulan ini, dan gue juga kaget. Gue cari tau tentang lo, dan ketemu.”

“Gue seneng ternyata gue punya saudara kandung selama ini. Ternyata, gue nggak sendirian.” Gema menarik tubuh Shylla ke dalam dekapannya—erat. Shylla awalnya merasa aneh, dan tidak membalas pelukan hangat gadis itu. Namun, lama kelamaan ia luluh dan memeluk tubuh Gema sama eratnya.

Sebuah fakta yang cukup membuatnya terkejut.

Jauh dari pandangannya, ia melihat siluet seorang laki-laki yang sangat ia hafal. Rangga. Laki-laki itu telah sampai disini. Lantas, Shylla melepas pelukkan mereka berdua. “Ada temen gue mau kesini,” ujar Shylla.

“Gue harus pergi kalo gitu.”

Shylla menyerahkan ponselnya kepada Gema, dan berkata, “Seenggaknya kasih gue nomor lo. Biar gue bisa tanya lebih jauh soal kita berdua.” Gema mengangguk dan mengetik beberapa angka diponsel Shylla lalu kembali menyerahkannya kepada Shylla.

Gema mengenggam kedua tangan Shylla dengan serius seraya berkata, “Jangan pernah kasih tau soal gue ke orang lain. Jangan ada yang tau kalo kita berdua kembar, atau lo punya kembaran, Sil. Please, jadiin ini rahasia kita berdua, oke?” Shylla mengangguk.

“Gue pergi. Hubungin gue nanti malem.”

Shylla melihat kepergian Gema, lalu menoleh kearah Rangga yang menatapnya heran. “Ngomong sama siapa, Sil?” Shylla menggelengkan kepalanya.

“Nggak sama siapa-siapa, Ga.”

Rangga mengangguk, melihat kearah pandangannya gadis itu sebelumnya, lalu mengambil alih beberapa buku yang Shylla bawa seraya berkata, “Ayok, gue bayarin buku lo.”

Kaira mendengar kembali suara itu berulang-ulang di kepalanya—teriakkan seseorang yang sangat ia kenali. Menggema di kepala, tidak mau berhenti. Kedua matanya sudah terpejam erat. Tubuhnya meringkuk di dalam selimut, meremat seprai dengan kuat. Dia—benci—keadaannya.

Keringat dingin mengalir melalui tengkuk. Giginya bergemeletuk seolah memahan rasa sakit yang ditimbulkan. Semakin diingat, semakin kuat rematan tangannya.

“Gue engga mau ngeliat muka lo lagi!”

“Seharusnya emang kita berdua engga perlu ketemu, Ra. Seharusnya dulu gue engga nembak lo!”

Kaira semakin meremat seprai dengan kuat, kepalanya terasa berputar hingga kedua matanya terbuka sekejap. Netranya langsung mendapati langit kamarnya yang sangat familiar baginya. Deru nafasnya tersengal-sengal lalu ia kembali memejamkan kedua matanya.

Mimpi itu.

Kaira kembali memimpikan kenangan tersebut. Makin lama, kenangan itu menjadi sebuah rutinitas yang muncul ke dalam mimpinya setiap malam. Kedua tangannya mengepal erat, terasa lengket karena keringat yang mengumpul, dan juga derita yang dialaminya selama tujuh tahun belakangan ini.

Ia mengusap peluh dingin yang membasahi keningnya dan juga tengkuknya. Kedua matanya melirik kearah jam dinding sekilas yang menunjukkan pukul dua pagi. Lagi-lagi pukul dua pagi mimpi itu datang.

Lantas kedua kaki gadis tersebut turun dari atas ranjang lalu berjalan menuju kamar mandi. Mengambil air di keran lalu membasuh wajahnya dengan tergesa. Nafasnya sedikit tersengal saat ia memandangnya pantulan dirinya di cermin.

Kaira menarik nafas panjang sebelum mengatakan, “Gue harus mulai konsultasi lagi.”