saacho66

Nadine memeluk ke dua lututnya, dan menaruh dagunya disana. Memandang kosong ke arah meja di ruang tengah miliknya. Sedangkan Chandra, ia juga hanya terdiam tidak tahu harus bagaimana melihat Nadine lagi-lagi seperti ini. Memintanya datang, namun tidak tahu untuk apa. Wanita itu selalu seperti ini, hanya butuh ditemani saja.

“Chan.” Chandra menoleh ke arah wanita itu, menatapnya bertanya. Akhir-akhir ini, Nadine memang sedikit berubah padanya. Dulu wanita itu tidak mau capek membalas pertanyaannya, atau sekedar berbincang padanya. Wanita itu selalu malas jika berhadapan dengannya, namun sekarang berbeda.

Setelah ia mengetahui hubungan Nadine dengan Jenar, semuanya berubah. Nadine menjadi sedikit lebih berubah padanya. Wanita itu juga sering membalas pesannya. Pergi dengannya hampir setiap hari. Kali ini tidak hanya Chandra yang berbicara, tapi Nadine juga. Dan itu adalah hal yang Chandra selalu tunggu-tunggu.

“Hmm? Kenapa, Nad?” Tak kunjung mendengar jawaban Nadine, membuat Chandra sedikit takut dengan ucapan wanita itu. Kalimat apa yang akan keluar dari mulut wanita tersebut. Ia memandang Nadine menunggu wanita itu berbicara.

“Lo sebenernya, pengen hubungan kita kaya apa, Chan?”

Chandra terdiam untuk sesaat lalu menatap Nadine serius. “Gue mau hubungan yang lebih dari sekarang, Nad. Gue gak mau punya hubungan sekedar temen cerita lo aja. Gue gak mau cuma jadi label teman tidur lo juga. Gue mau lebih dari itu, Nad. Jujur, gue udah ngerasa cukup jadi orang yang selalu ada buat lo, yang selalu lo butuhin sekarang. Tapi gue pengen lebih, Nad. Dan lo tau maksud gue apa, kan? Gue juga sering mikir, Nad, kalo gue capek sama lo. Tapi gue gak mau berenti. Gue mau terus usaha dapetin lo. Gue gak mau nyerah gitu aja. Karena seiring waktu lo pasti bakal luluh juga, kan? Ini cuman soal waktu aja, dan gue harus sabar nunggu.”

Nadine memandang Chandra sendu. “Gue serius, Nad, sama lo. Selalu serius. Kalo gue gak serius, gue seharusnya udah pergi dari lama, kan?” Nadine menggigit pipi dalamnya, gugup.

Tubuhnya bergerak maju meraih tubuh Chandra, memeluk pria itu erat. Menenggelamkan wajahnya di dada pria yang selalu mengisi pikirannya akhir-akhir ini. Menghirup aroma tubuh yang selalu Nadine ingat akhir-akhir ini, aroma yang pasti akan ia rindukan suatu saat nanti. Aroma yang akan menuntunnya pulang.

Chandra turut membalas pelukan tersebut dan semakin merengkuh tubuh Nadine erat. “Lo masih mau nunggu gue lagi gak, Chan?” Nadine mengangkat wajahnya, menatap Chandra dengan kedua mata sendunya. Chandra mengangguk sebagai jawaban, lalu berkata lembut,

“Selalu, Nad. Gue pasti selalu nunggu lo.”

Chandra

Chandra tidak pernah berharap lebih dengan kehidupan yang dijalaninya sebenarnya. Jika kalian bertanya, apakah ia bersyukur mendapatkan kehidupannya yang sekarang? Jawabannya, sangat. Chandra sangat bersyukur.

Ia memiliki kedua orang tua yang utuh dan selalu mendukungnya, selalu menyanyanginya. Ia selalu mendapatkan apapun yang diinginkannya dengan mudah tanpa bersusah payah. Menginginkan mainan, Ayahnya akan langsung memberikannya. Ingin suatu makanan, saat itu juga makanannya sampai dihadapannya. Ia ingin sebuah motor atau mobil pun dia dapatkan dengan mudah. Bahkan ketika ia menginginkan seorang wanita di sekolahnya, ia akan mendapatkannya dengan mudah hanya dengan satu kali percobaan pendekatan. Segalanya ia dapatkan dengan mudah. Tanpa sadar, ia menganggap mudah semua hal.

Sampai usianya 18 tahun dan mulai masuk ke dalam dunia perkuliahan. Ia bertemu dengan seorang gadis bernama, Nadine Chalondra. Saat itu ia mengetahui satu hal, bahwa tidak semua keinginannya dapat tercapai dengan mudah seperti dia dapatkan dalam sekejap—Nadine sebagai pengecualian.

Chandra harus berbicara sepanjang waktu di depan gadis itu, berusaha menarik perhatiannya, walaupun hasilnya selalu nihil. Tidak pernah berhasil. Nadine selayaknya kulkas sepuluh pintu, sangat dingin. Hampir semua orang tahu bahwa dirinya menaruh perasaan pada Nadine, hingga ia juga sering menyatakan perasaannya pada gadis itu. Namun selalu mendapat penolakan.

Chandra tidak pernah berhenti.

Ia kembali mencoba berulang kali. Menemaninya saat di Perpustakaan, mengajaknya makan bersama, mengantarnya pulang, bahkan Chandra rela melakukan banyak hal lainnya demi Nadine. Yang Chandra tanpa sadari adalah, ia tidak pernah seperti ini sebelumnya.

Hingga ia yakin, bahwa Nadine memang anugerah yang dikirimkan oleh Tuhan padanya. Ia seolah melihat masa depan jika bersama Nadine. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia berpikir untuk menuju jenjang yang serius. Ia ingin menikah dengan Nadine.

Malam itu, Chandra masih mengingat jelas bagaimana tubuh Nadine menggigil kedinginan. Lantas Chandra memberi jaket miliknya bertujuan agar gadis itu tidak kedinginan lagi. Tapi tahu apa yang Nadine lakukan? Ia malah membuang jaketnya dan pergi meninggalkan yang mematung tidak tahu harus melakukan apa.

Besoknya, gadis itu pergi rapat dan yang ia ketahui akan selesai dini hari. Sebenarnya Chandra sudah berjaga-jaga takut Nadine akan selesai rapat pukul 2 atau 3 pagi, dimana itu sangatlah rawan untuk seorang gadis sepertinya jalan sendiri. Ia menunggu di tempat biasa ia berkumpulnya bersama Juan, Raka dan juga Jenar sembari menahan kantuk. Sampai tanpa sadar ia sudah terlelap saat itu—melupakan suatu hal yang ia tunggu-tunggu.

Brisa menghubungi berkali-kali dan meminta untuk menjemlut Nadine karena gadis itu sangat keras kepala tidak ingin diantar pulang oleh mahasiswa lain. Lantas Chandra mengendarai motornya menuju Nadine saat itu.

Dan benar saja, ia menemukan Nadine yang digoda oleh dua orang mabuk. Beberapa kali kedua pria itu berusaha menyentuh Nadine walaupun Nadine juga berusaha menghindar. Ia memberhentikan motornya dan langsung memberikan pukulan pada kedua orang tersebut tanpa berpikir kembali bagaimana keadaan kedua orang tersebut esok hari.

Karena bagi Chandra yang terpenting adalah Nadine selamat.

Hari itu, Chandra mendengar kabar bahwa Bunda Nadine telah berpulang untuk selamanya. Saat itu juga Chandra mengendarai sepeda motornya menuju rumah gadis tersebut yang telah ramai banyak orang yang datang untuk berduka cita padanya.

Sejak hari pertama ia datang, ia tidak pernah meninggalkan Nadine seorang diri. Ia selalu berdiri di samping gadis itu. Dari hal kecil seperti, mengajaknya berbicara, memakaikannya sendal saat fokus gadis itu kembali hilang, atau mendorong sepiring nasi berisikan telur dadar, tak lupa ia juga beberapa kali mengendong tubuh gadis itu saat lemah dan saat tiba-tiba tak sadarkan diri. Tanpa Chandra sadari, rumah Nadine seperti rumah kedua baginya.

Chandra memastikan semua hal berjalan dengan baik. Nadine tersenyum adalah hal yang paling indah dan ia tunggu-tunggu. Setelah Seminggu berpulang Ibundanya, Chandra mengajak Nadine pergi ke Pantai berpikir mungkin Nadine akan menjadi lebih baik. Gadis itu seolah melupakan segala beban yang ia pikul dengan bermain dengan air laut walaupun hanya suara tertawa kecil atau senyuman kecil, Chandra sangat bersyukur karena Nadine dapat tersenyum kembali.

Memakan seafood bersama, walaupun beberapa kali gadis itu berusaha menahan tangis dihadapannya, beberapa kali juga gadis itu mengeluarkan isakan tangisan. Membuat seluruh perhatian tertuju pada mereka saat itu. Chandra tidak peduli semua orang menatapnya menuduh atau lainnya, karena Chandra hanya ingin berada disamping gadis itu. Chandra hanya ingin Nadine membutuhkannya.

Bersama Nadine menjadi kebiasaan yang tidak bisa Chandra tinggalkan. Tidak bertemu Nadine, rasanya seperti melakukan dosa besar baginya. Tidak menghubungi gadis itu seperti ia telah melalaikan kewajibannya. Nadine benar-benar menjadi dunianya.


Hari ini, setelah dirinya mengantarkan Nadine menuju rumah Ayahnya, Chandra memutuskan untuk membasuh tubuhnya—membersihkan tubuhnya dari keringat. Justru saat ia keluar dan memeriksa ponselnya, ia mendapat banyak pesan dari wanita itu—Nadine. Bahkan, Nadine menghubunginya beberapa kali yang jelas sangat jarang wanita itu lakukan.

Tanpa banyak bicara, Chandra memakai pakaiannya dan bergerak menuju rumah Ayah Nadine. Berharap bahwa wanita itu baik-baik saja—karena hatinya mengatakan tidak.

Saat dirinya sampai di rumah tersebut, ia justru menemukan Nadine berjongkok di depan rumah, menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya. Tanpa berpikir panjang, Chandra memarkirkan mobilnya asal dan berlari menghampiri Nadine. “Nad!” Teriaknya membuat Nadine mengangkat kepalanya, menatap Chandra nanar dan langsung bangkit berlari kearahnya. Nadine merentangkan kedua tangannya dan memeluk pria tersebut. Menyembunyikan tangisannya. “Chan.. please bawa gue jauh dari sini.” Mohon Nadine membuat Chandra menarik tubuh wanita itu untuk berlari masuk ke dalam mobil sebelum menatap kearah Jenar yang hanya dapat berdiri di depan pintu rumah wanita tersebut.

Nadine kembali menutup wajahnya dengan kedua tangannya, menyembunyikan isakan tangisannya yang bahkan Chandra dapat dengar dengan jelas. Membuat dirinya khawatir—sangat khawatir.

Pria itu melajukan mobilnya tidak tahu arah, intinya ia akan meninggalkan rumah tersebut karena ia yakin ada yang salah disana sehingga membuat Nadine seperti saat ini. Ia memberhentikan mobilnya di bahu jalan, lalu menarik tubuh Nadine ke dalam dekapannya erat. “Ada gue, Nad. Lo punya gue. Gue disini.” Bisiknya justru membuat wanita itu semakin terisak.

Nadine mengenggam baju pria itu erat, meremasnya seolah menyalurkan rasa kesalnya disana. “Gue gak tau lagi harus gimana. Gue nyerah. Gue nyerah, Chan..”

Chandra menepuk punggung wanita tersebut lembut—menenangkan. “Lo gak boleh nyerah, Nadine. Lo punya gue. Gue gak akan pergi. Gue disini, Nad. Gue gak kemana-mana. Lo aman sama gue.” Nadine semakin menenggelamkan wajahnya di dada pria tersebut. Mengeluarkan segala emosi yang ia tahan sebelumnya. Mencurahkan segalanya.

Dan Chandra tahu, ia tidak akan kemana-mana.

Nadine menatap Ayahnya marah lalu beralih menatap wanita yang tengah duduk di samping Ayahnya tersebut. Walaupun dengan senyuman manis atau apapun itu, Nadine tidak akan pernah luluh. Nadine benci mereka semua. Terutama wanita itu.

“Nadine gak pernah setuju pokoknya.” Gertaknya menatap nyalang pada Ayahnya. Dada bergemuruh marah, bergeloka meminta untuk dikeluarkan.

“Ayah gak minta persetujuan kamu. Ayah cuma mau kamu kesini buat denger kabar bahagia ini aja, kok.”

Nadine berdecih seolah mengejek Ayahnya lalu kembali menatap marah seolah kedua matanya tersebut dapat menusuk. “Terus maksud Ayah apa kaya gitu? Mau pamer sama Nadine? Nadine gak peduli, Ayah! Nadine gak pernah setuju pokoknya!” Teriaknya lalu berlari menuju kamarnya.

Memilih untuk mengurung diri tempat yang paling aman baginya sekarang. Namun sepertinya hari ini bukanlah hari keberuntungan Nadine. Ayahnya masuk ke dalam kamarnya dengan mudah. Menatapnya tajam.

“Ayah gak pernah ya, Nadine, ngajarin kamu teriak kaya gitu di depan tamu!”

Nadine membuang muka, tidak sudi menatap wajah pria yang selama ini ia banggakan—hanya saat ia duduk dibangku sekolah dasar saja sebenarnya. Saat ini, ia sangat membenci pria itu. “Perempuan kaya gitu pantes dibilang tamu, Ayah?!” Balas Nadine berteriak. “Perusak rumah tangga orang kali ah.” Guman Nadine masih dapat didengar jelas oleh Ayahnya.

Tanpa Nadine sadari, tangan Ayahnya melayang menuju pipi kanannya. Meninggalkan bekas merah diwajah. “Nadine mulut kamu dijaga ya! Ayah bener-bener gak pernah ngajarin kamu kaya gini. Ini akibatnya kalau kamu lebih milih bareng sama Bunda kamu terus!”

“Bunda mau dibawa juga, yah? Bunda udah dikubur masih disalahin loh. Gila kali ya..” Nadine tertawa mengejek dengan kedua mata merah menahan nangis. Ayahnya selalu seperti ini.

“Sekarang Nadine gak peduli Ayah, kalo Ayah mau nikah sama pelacur itu terserah! Ayah kan gak pernah mau dengerin apa kata Nadine selama ini. Maunya didengerin aja!”

Ayahnya menahan kedua tangannya agar tidak kembali melayangkan tamparan pada wajah anak tersayangnya tersebut. Hingga seorang wanita masuk ke dalam kamarnya dan menahan tangan Ayahnya, memberikannya beberapa kali usapan menenangkan. Membuat Nadine terdecih, mengejek.

“Jangan dipukul, mas. Diomongin pelan-pelan aja.” Bisik wanita itu pada Ayahnya, namun Nadine dapat mendengarnya dengan jelas. Membuatnya semakin dibuat muak dan ingin mengumpat pada wanita itu.

“Gak usah ikut campur lo, anjing! Gara-gara lo keluarga gue jadi kaya gini! Dan gak usah sok baik lo busuk banget sumpah!”

“Nadine!”

“Udah, mas. Jangan dimarahin, ya. Ngomongnya pelan-pelan aja.” Bisik wanita itu kembali pada Ayahnya.

Nadine meringis mellihat interaksi kedua orang tersebut di depan wajahnya. Nadine muak sekali. Rasanya ingin sekali menarik rambut wanita itu.

Dengan segala kekesalan yang membuncah, Nadine menarik rambut wanita tersebut sembari berteriak, “Balikkin Bunda gue! Balikkin Bunda gue! Balikkin Bunda gue!”

Ayahnya menarik tubuhnya, berusaha melepaskan tangannya yang berada dirambut wanita tersebut, ditambah seseorang yang masuk ke dalam kamar Nadine turut membantu memisahkan mereka berdua. Dengan kencang, Ayahnya mendorong tubuh Nadine menjauhi wanitanya. Begitu juga, Jenar yang narik tubuh Nadine menjauhi Ibunya.

Nadine meringis pelan saat tubuhnya tak sengajak menabrak meja belajarnya, lalu memandang Ayahnya marah. Ia menyimpan dendam pada pria tua tersebut.

“Jenar, sejak kapan Nadine jadi berandalan kaya gini? Kamu ngawasin dia kan kalau di kampus?”

“Iya, Om. Aku awasin Nadine terus kok.”

Nadine dibuat terdiam mendengar Ayahnya mengatakan dirinya seorang berandalan. Haruskah ia tertawa sekarang? Ya, Nadine tertawa pelan hingga menjadi besar. Menertawakan dirinya, menertawakan Ayahnya dan juga kedua orang di samping pria tua itu. Hingga kedua matanya mengeluarkan setitik air mati yang turun berulang kali menjadi deras—menarik rambutnya kencang. Terdengar suara isakan tangis milik Nadine diseluruh penjuru kamar. Membuat ketiga orang yang berdiri dihadapannya terdiam. Tak ada satu pun yang berusaha mengenggamnya atau pun memeluk tubuhnya.

“Ayah, coba aja sekali dengerin Nadine. Nadine gak akan sekecewa ini sama Ayah. Sekali, yah.. sekali aja.” Nadine menatap Ayahnya sendu berurai air mata.

“Bunda butuh Ayah banget hari itu, tapi apa? Ayah malah milih pergi sama nih pelacur, kan? Padahal Bunda kesakitan banget. Rela nahan sakit cuman buat ngomong mau ketemu Ayah. Nadine dateng nemuin Ayah, tapi Ayah malah ngusir Nadine. Ayah bilang Bunda gak akan bisa bangun lagi, padahal hari itu Bunda bangun minta ketemu sama Ayah.” Nadine mengusap kedua matanya kasar.

Lalu beralih menunjuk wanita yang tengah berdiri di samping Ayahnya. “Semuanya gara-gara lo! Kalo lo gak dateng di keluarga gue, sekarang gue masih bisa meluk Bunda! Kalo lo juga gak ganggu Ayah gue, mungkin gue gak akan sebenci ini sama dia!” Teriaknya marah seraya menunjuk-nunjuk wanita tersebut yang telah berurai air mata juga.

Nadine beralih menatap Jenar yang hanya terdiam menatap Nadine prihatin. “Lo juga! Lo sama nyokap lo sama, anjing! Gak jauh beda sama-sama benalu! Gue kecewa banget sama lo. Gue kecewa banget.”

Nadine mendorong pundak Ayahnya berulang kali, “Ayah tau Nadine suka sama Jenar, seharusnya Ayah ngalah! Bukannya malah semakin egois! Sekarang Nadine gak peduli, Ayah mau nikah sama nih pelacur atau gak, terserah Ayah. Nadine gak peduli. Tapi, jangan anggap Nadine anak Ayah lagi.”

“Ayah akan tetap menikah.”

Untuk segala kebencian yang ada di dunia ini, Nadine akan menaruh semua kebenciannya pada Ayahnya. Pria yang paling brengsek yang pernah ia kenal.

Chandra memandang Nadine yang tengah duduk disampingnya dalam diam, sesekali ia tersenyum kecil saat Nadine hampir menjatuhkan kepalanya dengan kedua matanya yang terpejam.

Pikiran Chandra melontar pada beberapa jam lalu, saat mereka memutuskan mengucapkan selamat malam, namun beberapa jam kemudia dirinya justru kembali berdiri di depan pintu unit Apartment wanita itu. Menatap kosong hingga memberanikan diri mengirim pesan dan menghubungi nya. Satu hal yang membuatnya gelisah—Nadine. Selalu Nadine.

Dini hari, Chandra memutuskan mengajak Nadine melihat matahari terbit bersama di atas bukit—bukit rahasia kalau katanya. Ia pikir dengan mengajak Nadine kemari, akan membuat perasaan wanita itu menjadi lebih baik dari sebelumnya. Setelah wanita itu memutuskan percaya padanya.

Aneh rasanya, duduk bersisian dengan seseorang yang selama ini kau kira kau mengenalnya dengan baik, hingga hal terkecil. Namun, ternyata kau tidak mengenalnya sama sekali.

“Jadi, lo ngajak gue keluar cuma buat kaya gini?” Gumam Nadine dengan kedua matanya yang hampir tertutup, ketahuilah bahwa dirinya sangat amat mengantuk saat ini. Kalau bisa, Nadine ingin sekali merebahkan tubuhnya di atas tanah saja. Ia benar-benar mengantuk.

“Iya.”

Nadine berdecak kesal, “Gue tuh ngantuk banget, Chan. Dan ini juga masih jam setengah empat pagi.”

“Sabar ya, Nad. Bentar lagi juga pagi, kok.”

Rasanya Nadine ingin mengacak-ngacak wajah Chandra saat ini, namun ia hanya dapat menghembuskan nafasnya lelah dan memilih untuk memejamkan matanya. Membiarkan dagu nya bersandar pada kedua lututnya, hingga ia merasa sebuah tangan besar mengenggam tangan kanannya. Seolah menghantarkan hawa panas pada tubuhnya.

Sorry ya, Nad. Gue ngajak lo keluar, padahal lo ngantuk banget. Tapi gue gak bisa tidur.” Ujar Chandra dengan tangannya yang memberikan usapan pada tangannya—berusaha memberikan kehangatan.

Chandra menoleh kearahnya, “Gue gak bisa berhenti mikirin lo.”

Setiap hari lo juga bilangnya gitu, Chan.”

“Tapi, kali ini beda.”

Nadine terdiam dan memilih untuk menatap lekat kedua mata milik pria itu. Nadine paham jelas apa yang dimaksud oleh Chandra. Ini tentang yang ia ceritakan sebelumnya. Dan Nadine sudah menyiapkan segala jawaban dari pertanyaan pria itu padanya sebenarnya.

“Gak perlu dipikirin.” Ucap Nadine justru mendapat pertanyaan yang tidak disangka olehnya.

“Lo suka Jenar?”

Alih-alih jawaban langsung dari pertanyaan barusan. Chandra disambut dengan cebikan bibir dan kening kerut berlipat. Netra kelabu bak asap bergumul mengeluh kesal. “Kenapa gue harus suka sama Jenar?” Adalah apa yang Nadine katakan setelah sukses berdiri tegap, membuat Chandra terbatuk terkejut. Membuat genggaman tangan mereka terlepas.

“Maaf..” Ujar Chandea pelan dengan garukan pada kepala sementara kedua matanya menghindari tatapan Nadine. Padahal Chandra hanya ingin tahu saja.

“Gue gak suka Jenar. Gak..” Gumam Nadine dan kembali duduk di samping Chandra.

“Iya, Nadine. Lo gak suka Jenar.” Catat Chandra dalam otaknya.

Perlahan Nadine menyandarkan kepalanya pada punggung Chandra, berusaha menyembunyikan sesuatu dari pria itu. “Lo capek gak sih, Chan?” Chandra menggeleng sebagai jawaban. “Gue capek. Banget. Pengen bebas.”

“Kalo masih ada Bunda, gue bakalan dimaki habis-habisan deh kayanya sekarang.” Nadine terkekeh pelan sembari melingkarkan tangannya pada tubuh Chandra—mencari kenyamanan dari sana. “Sayang, Bunda udah gak ada. Gue sendirian. Gue kaya..”

Nadine menghela nafasnya pelan, “..orang yang gak diurus banget ya?” Chandra mengusap tangan wanita itu dalam diam, tak berniat sedikit pun memotong atau bertanya padanya. Topik 'Bunda' selalu menjadi topik sensitif bagi Nadine. Maka dari itu, Chandra selalu siap menjadi pendengar yang baik untuknya.

“Setiap ngeliat Jenar, gue langsung keinget sama Bunda. Rasanya mau marah banget. Gue selalu mau nyalahin ini semua ke Jenar tau gak sih? Padahal dia juga gak tau apa-apa. Dia korban, sama kaya gue.”

Nadine mengeratkan kedua tangannya. “Gue pengen bebas.”

“Bebas dari apa?”

“Dari semuanya. Tugas kuliah, bebas dari gue harus milih hari ini mau makan apa atau besok gue harus makan apa ya, bebas dari segala tingkah laku Jenar, bebas dari pemikiran gue yang harus saving money untuk bulan ini, bebas dari semua tentang Ayah, bebas dari perasaan bersalah ke Bunda, bebas tanpa perlu cari tau apa yang gue rasain, bebas dari semua beban yang gue tanggung. Gue pengen bebas, Chan. Tapi kayanya susah. Gue gak siap sama semua ini.”

Dalam benaknya, Chandra selalu berdoa untuk Nadine. Berdoa untuk kebahagiannya. Chandra pernah ada diposisi ini dulu—saat Bundanya pergi untuk selamanya. Chandra menemaninya hampir Seminggu lebih. Membuatkan makanan, mengajak wanita itu berbicara, melontarkan beberapa kalimat menenangkan, hingga mengajak wanita itu pergi ke Pantai berulang kali. Hanya untuk membuatnya menjadi lebih baik.

“Gue suka sama Jenar?” Nadine terkekeh getir, meringis memikirkan Jenar. Perasaan? Nadine tidak tahu apa itu. Ia hidup terlalu lama dengan tidak menunjukkan suatu perasaan, hingga kini ia tidak bisa menempatkan perasaannya tersebut. “Pernah. Mungkin. Gue gak tau. Jenar cuma benalu.” Gumamnya semakin menenggelamkan diri ke punggung Chandra, seolah meminta pertolongan pada pria itu.

“Nad.. Perasaan suka tuh gak bisa lo atur. Kalo hati lo milih Jenar, kenapa harus ditahan?”

“Lo gak ngerti, Chan.”

“Bagian mana yang gak ngerti, Nad? Lo yang punya rahasia sama dia atau lo yang sebenernya punya perasaan ke dia?”

Nadine berdecak kesal. “Gak dua-duanya.”

Chandra terkekeh kecil sembari mengusap tangan wanita itu perlahan, “Padahal Jenar juga baik, kan.”

“Jenar emang baik, makanya dia ngasih tau kalo lo brengsek.”

Chandra memutar tubuhnya menghadap Nadine membuat wanita itu melotot terkejut karena gerakkan tiba-tiba pria itu. Chandra menangkup wajah Nadine, “Kapan tuh anak ngomong kaya gitu?” Desak Chandra, Nadine menjauhkan tangan Chandra dari wajahnya.

“Pas awal kuliah. Katanya, lo brengsek parah.” Ujar Nadine seraya tertawa pelan.

Sialan, Jenar. Batinnya mengumpat pada Jenar.

Mereka terdiam saling melempar senyum satu sama lain. Hingga Nadine bergerak memeluk tubuh besar Chandra, menenggelamkan wajahnya di pundak pria itu. Setiap tarikan nafasnya, ia berdoa pada Tuhan tentang apa yang selalu ia inginkan. Berdoa semoga ia bisa menjalani hidup lebih baik lagi.

Pagi itu, ia mengetahui satu hal, yaitu kemana ia akan berlari sekarang. Kemana ia harus mencari. Ia sudah tahu dimana tempatnya.

Sedangkan Chandra, pria itu memang sudah tahu sejak awal bahwa Nadine yang akan selalu memenuhi pikirannya, Nadine adalah prioritasnya, namun tanpa ia sadari ketakutan itu kembali datang kepadanya.

Ketakutan saat Nadine mengetahui perasaannya sendiri dan memilih untuk meninggalkannya.

Jahat tidak, jika Chandra berharap Nadine tidak pernah menemukan jawabannya? Karena Chandra hanya ingin selalu bersama Nadine.

Mereka berdua sibuk dengan pikiran masing-masing hingga sang fajar telah menyambut hari mereka. Hari dimana semua menjadi lebih baik.

Ya, menjadi lebih baik.

Chandra berjalan lebih dahulu di depan Nadine, walau beberapa kali melirik ke belakang, apakah Nadine masih mengikutinya atau tidak. Sampai akhirnya Chandra memilih untuk mengenggam tangan wanita itu. Menuntunnya berjalan di sampingnya hingga mereka masuk ke dalam mobil.

Tidak ada bahasan soal Jenar. Walau faktanya, Chandra terlalu pengecut untuk memulai pembicaraan soal hubungan mereka berdua. Bahkan untuk sekedar menyebut namanya saja, Chandra terlalu segan—dia takut mendengar faktanya juga.

Nadine menoleh kearah Chandra yang duduk kursi kemudi, menatap pria itu yang tengah fokus melihat jalanan. “Kata lo penting. Kenapa?” Tanyanya yang justru mendapat senyuman lebar oleh pria itu.

“Gue cuma pengen ngeliat lo aja.” Ujar Chandra lagi-lagi membuat perut Nadine menghangat seketika namun segera ia tutupi itu semua. Wanita itu pun membuang wajahnya, menghindari tatapan Chandra yang sesekali menoleh untuk melihat reaksi yang ditunjukkan oleh Nadine.

Chandra pikir, dirinya akan luluh dengan omongan manis pria itu? Tidak. Lebih tepatnya biasa saja. Memang benar ia sedikit dibuat senang, namun biasa saja.

Jangan lupakan Chandra yang sering menggodanya sejak dulu.

Nadine memandang arah jalanan yang mulai tidak ia kenali, ia melirik Chandra cemas. “Ini gue mau dibawa kemana?” Chandra mengedikkan bahunya mengejek Nadine. “Rahasia.”

Tanpa Chandra sadari, Nadine mendekat kearahnya dan memukulnya kencang. Sangat kencang. Hingga membuatnya tersentak kaget dan menatap wanita itu terkejut. “Kenapa gue dipukul, Nad? Sakit ini.” Rengek Chandra justru membuat Nadine kembali bersiap memukul pria itu. “Ampun, Nad. Serius ampun.”

“Puter balik gak?!”

Chandra tidak menghiraukan perkataan Nadine dan tetap berada dijalur awalnya. Tidak berniat juga untuk memutar balik mobilnya. “Chandra! Gue bilang balik ya!” Geram Nadine justru mendapatkan usapan dirambutnya oleh Chandra—lagi-lagi dirinya dibuat terdiam oleh pria itu.

“Gak, Nad. Gue cuma mau ajak lo makan sate taichan kok. Mau kan?” Chandra tersenyum sembari menatap Nadine, meminta persetujuan wanita itu walaupun ia tidak membutuhkannya juga. Karena jika Nadine tidak setuju, Chandra akan tetap membawa wanita itu ikut makan sate taichan bersamanya.

“Gue gak suka taichan. Puter balik!”

“Boong. Lo kan suka taichan banget.” Ejek Chandra membuat Nadine mendengus kesal, dan memilih untuk mengalah pada pria itu. “Eh tapi lo kan emang suka sama semua makanan ya?”

“Berisik. Udah buruan, gue laper.”

Aye, Captain!”

Ngeselin banget jadi orang. Batin Nadine menggerutu.

11.03 p.m

Nadine memandang Chandra yang duduk dihadapannya dengan kesal, sedangkan Chandra memandang Nadine berbinar. Ia bahkan membiarkan kepalanya bertumpu pada tangannya sembari memandang Nadine. “Nad, gue udah bilang ke l—”

“Udah.”

Chandra berdecak sebal namun tidak menghilangkan senyuman dari wajahnya. “Belum selesai, Nad. Lo cantik banget hari ini.”

Nadine mengernyitkan keningnya merasa geli dengan ujaran Chandra padanya, walaupun pria itu memang sering melakukannya, namun setiap kali ia mendengarnya ia dibuat geli kembali dan rasanya ingin menghilang saja.

Chandra sebenarnya mau tertawa di depan Nadine sejak tadi, tetapi ia menahannya. Ingat tidak, wanita itu mengatakan tidak suka taichan, tapi ia menghabiskan tiga puluh tusuk sendirian—memakannya dalam diam bahkan menghindari tatapannya. Dan Chandra hanya makan sepuluh tusuk saja kalau ingin tahu.

“Balik yuk, Nad. Udah jam segini. Nanti gue diomelin sama pawang lo lagi deh.” Ujar Chandra sembari berdiri lalu mengulurkan tangannya pada Nadine. Namun, wanita itu lebih memilih untuk bangkit sendiri dan berjalan lebih dulu ke mobil. Membuat Chandra kembali tersenyum pahit akan tindakan wanita itu. Masih aja nolak, Nad. Batinnya seraya berjalan di belakang wanita itu. Namun, mendadak wanita itu berhenti, membuatnya mau tidak mau ikut berhenti melangkahkan kakinya. Menatap punggung Nadine heran hingga wanita itu berbalik dan berkata, “bisa gak nanti jangan langsung pulang? G—”

“Iya, Nadine. Gue ajak lo keliling sekali, abis itu baru balik.” Potong Chandra seolah paham apa yang akan dikatakan oleh Nadine dan mendapat anggukan kepala oleh Nadine, mereka berdua kembali berjalan menuju mobil. Kali ini beriringan.

Sebenarnya, sejak tadi mereka makan berdua, Chandra mendapati Nadine yang berkali-kali berusaha untuk berbicara dengannya. Namun seolah ada yang menghalangi wanita itu. Mungkin ada yang ingin diceritakan olehnya namun ragu ingin memberitahukan padanya atau tidak.

Apapun itu, Chandra hanya perlu bersiap diri dan menjadi pendengar yang baik untuk Nadine, bukan?

Sesampainya mereka di dalam mobil, Nadine kembali diam dan menatap lurus ke jalanan saat Chandra menjalankan mobilnya. Hening. Tak ada yang bersuara, kecuali Chandra yang sesekali berbicara namun tak kunjung mendapat jawaban dari Nadine. Ia seperti berbicara sendiri, padahal memang selama bersama Nadine ia selalu berbicara sendiri.

Hingga..

Nadine menoleh kearahnya dan berkata dengan cepat, “Gue mau cerita tentang gue sama Jenar. Tapi, lo jangan pergi.”

Jelas Chandra terkejut, namun lebih memilih untuk menganggukkan kepalanya, menyetujui ucapan wanita itu. Kedua matanya tetap menatap lurus kearah jalanan, namun tidak dengan kedua telinganya yang tetap mendengar setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Hingga ia hanya dapat menyimpulkan satu hal, kenapa?

12.57 p.m

Chandra bersandar di pintu mobilnya bersama dengan Jenar. Mereka hanya terdiam, saling memandang langit malam. Setelah mengantar Nadine pulang, Chandra langsung menghubungi Jenar. Tidak mengatakan yang sebenarnya, hanya bilang bahwa dirinya ingin bertemu. Jenar tentu tidak menolak ajakan pria itu pun langsung datang ke tempat biasa mereka kumpul.

“Nadine cerita ke gue.” Ujar Chandra justru tidak membuat Jenar terkejut. Pria itu hanya diam dan terus menghisap rokok ditangannya. “Kenapa harus rahasia gini, Jen?”

“Nadine yang mau. Gue cuma ngikutin apa yang dia mau aja.”

“Tapi, gue masih gak ngerti kenapa harus di rahasiain kaya gini?”

Jenar terkekeh pelan dan menatap Chandra. “Nadine malu.” Ujarnya lalu melempar putung rokoknya, menginjaknya hingga mati. “Padahal seharusnya gue yang malu, kan?”

Sungguh, Chandra tak habis pikir dengan Jenar. Dengan Nadine juga. Jika ditanya siapa yang aneh, maka Chandra akan menjawab dirinya.

Pesta

Chandra terdiam—mengamati sekitarnya, beberapa membawa gelas ditangan mereka, sama seperti dirinya saat ini. Ia kembali mengesap alkohol yang berada ditangannya. Juan, Jenar dan Raka sudah tidak terlihat dimana pun. Entahlah, Chandra juga tidak berniat untuk mencari mereka bertiga. Ia ingin menghabiskan waktu sendiri saja.

Ia diam-diam mengalihkan pandangannya ke arah jarum jam 3—dimana Nadine dan teman-temannya berada. Damn, umpatnya dalam hati saat melihat Nadine tertawa bersama Brisa dan Dara. Jika ia tidak sedang menghindari Nadine, ia sudah pasti akan menghampiri wanita itu dan menggodanya seperti biasa. Tapi keadaan saat ini membuatnya tidak bisa melakukannya.

Chandra tahu seharusnya ia memberanikan diri untuk mengajak Nadine terlebih dahulu bicara—namun ia sedang tidak memiliki keberanian tersebut. Chandra cukup tahu malu ternyata.

Hingga ia tanpa sengaja melihat Jenar seolah memberi Nadine isyarat untuk mengikuti pria itu, membuatnya mengernyitkan keningnya tidak suka.

Ia tersenyum kecil saat melihat Nadine pamit pada Brisa dan Dara ke kamar kecil padahal Chandra melihat jelas wanita itu dipanggil oleh Jenar. Kedua kakinya diam-diam mengikuti Nadine dari jauh—memberi jarak takut kalau wanita itu sadar diikuti olehnya.

Nadine menghampiri Jenar yang tengah bersandar ditembok belakang tempat Jay. Tempat yang cukup sepi—tidak, ini tempat sangat sepi. Tidak ada satu pun orang lewat atau berpikir untuk ke tempat ini. Tempat yang cocok untuk bertemu secara diam-diam, batin Chandra berencana menguping pembicaraan kedua orang tersebut.

“Bisa gak Jen jangan sekarang? Gue masih sama Brisa Dara loh.” Terdengar Nadine menggerutu pada Jenar. Chandra masih memasang kedua telinganya—siap mendengar kelanjutan pembicaraan dua orang tersebut. Namun, mereka berdua justru saling berbisik satu sama lain. Chandra tidak dapat mendengarnya dan hanya dapat melihat Nadine yang terlihat marah pada Jenar.

“Lo udah ngobrol sama Chandra?” Tanya Jenar berbisik. Nadine mengernyitkan keningnya karena ia tidak mendengar cukup jelas lantas mendekatkan telinganya kepada Jenar. “Lo udah ngobrol sama Chandra?” Bisik Jenar dibalas gelengan kepala oleh Nadine.

“Belum.”

“Lo harus omongin ini sama dia. Selesaiin kalo bisa.”

Nadine memutar kedua matanya jengah. “Gue juga tau kok, Jen. Nanti gue ajak dia ngobrol, oke?” Jenar mengangguk. “Sekarang gue masuk lagi ya? Please Jen, jangan panggil gue kalo ditempat banyak orang kaya gini.”

Sorry.”

Nadine meninggalkan Jenar sendiri disana. “Lo ngapain?” Panggil Jenar membuat Chandra tersentak terkejut. Chandra keluar dari tempat persembunyiannya dan menatap Jenar datar. “Nguping Chan?”

Chandra tidak menjawab. Dan tidak ingin menjawab juga. “Mending lo samperin Nadine. Ajak ngobrol. Kayanya lo berdua harus ngobrol deh.” Saran Jenar. “Sekalian anter tuh anak balik. Gue titip dia.” Pamit Jenar menepuk bahunya pelan. Ia memandang bahu Jenar heran. Sepertinya, Jenar memang bukan halangan baginya. Jalur hijau.

Chandra kembali masuk ke dalam, sedikit terkejut saat semua orang menari tak karuan ditengah ruangan. Hingga kedua matanya bertemu pandang dengan Nadine. Astaga ini momen langka, batinnya melihat Nadine berjalan menghampirinya.

Keduanya saling berhadapan, tak ada yang bicara, hanya suara detuman musik dibelakangnya. Nadine tidak pernah tahu kalau bertemu Chandra menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu olehnya. Seperti saat ini. Bahkan ia tidak tahu harus mengatakan apa pada pria itu. Sebenarnya Nadine cukup was-was dengan Chandra melihat pria itu mengenggam alkohol ditangannya. Pasti ia akan mabuk lagi.

“Nad.”

“Chan.”

Sial, kejadian yang paling Nadine tidak suka. Memanggil nama satu sama lain secara bersamaan. Seperti romansa ditelevisi yang jika Nadine lihat, ia akan langsung ingin memuntahkan makanan dalam sekejap. Menggelikan.

Chandra menggaruk kepalanya gugup. Nadine yakin pria itu hanya berusaha menghindari tatapannya. Sama seperti dirinya. “Ada yang harus diomongin gak sih, Nad?”

Nadine berdehem sebagai jawaban. “Tapi gak disini. Terlalu berisik.” Chandra mengangguk menyetujui Nadine.

“Apartment lo atau g—”

“Apartment gue.”

______________

Chandra datang dengan dua cangkir yang mengepul dikedua tangannya. Harum teh dan kopi tercampur menjadi satu. Ya, Nadine sih pecinta kopi dan Chandra sih pria anti kopi. Pergabungan yang indah. Nadine tersenyum kecil saat Chandra memberikan cangkir kopi padanya. Lalu hening.

Sejak pertama kali Nadine menginjakkan kakinya di Apartment milik pria ini. Nadine dibuat kagum dengan interiornya. Terlihat rapih. Seperti bukan khas seorang Chandra. Matanya memperhatikan sekitar hingga terhenti pada akuarium besar disudut ruangan. Pria itu memelihara banyak ikan. Satu fakta yang baru ia ketahui hari ini.

Nadine menghela nafasnya perlahan dan menatap Chandra yang sejak tadi tidak mengalihkan pandangan padanya. “Hmm.. Sebenernya gue cuman mau minta maaf sama lo.” Gumam Nadine namun masih terdengar jelas oleh Chandra.

“Soal gue minta lo buat anggap semuanya gak terjadi. Gue tau itu bikin lo sakit hati kan?” Chandra menggelengkan kepalanya, tidak menyetujui ucapan Nadine. Namun Nadine yakin sekali bahwa perkataannya yang kemarin cukup membuat Chandra sakit hati. Pria itu tidak mau membuatnya merasa tidak enak.

“Gue minta maaf, Chan. Gue udah selalu jahat sama lo. Ditambah kemaren gue ngomong kaya gitu ke lo.”

“Jadi, lo mau ngasih gue kesempatan?”

Hening.

Jujur, bukan itu maksud Nadine. Ia hanya ingin meminta maaf dan membuat semua rasa bersalahnya menghilang. Namun justru sekarang bukan rasa bersalah yang ingin ia hilangkan—tapi rasa aneh yang tiba-tiba muncul.

“Chan.. sor—”

“Lo ada hubungan apa Nad sama Jenar?”

Ucapan Nadine terhenti disela oleh Chandra. Pria itu menatapnya serius, tangan yang mengenggam cangkirnya erat, seolah menahan emosi yang akan ia keluarkan sewaktu-waktu nanti Nadine mengatakan hal yang tidak diinginkannya. Sedangkan Nadine, ia terdiam cukup lama tidak tahu harus menjawab apa.

“Gue.. gue sama Jenar gak ada hubungan apa-apa.”

“Tapi lo tidur di Apartment nya.”

Nadine diam. Begitu juga Chandra yang terdiam menatap Nadine tajam. Kemudian Nadine tertawa kecil—sangat kecil. Sampai Chandra mengira wanita itu tengah mengejeknya. Tapi memang benar Nadine menertawakan perkataan Chandra sebelumnya. “Lo sama gue juga gak ada hubungan apa-apa. Tapi kok bisa tidur bareng ya?”

Sebenarnya bukan ini pembicaraan yang Nadine inginkan. Ia pikir awalnya pembicaraan mereka akan dipenuhi dengan Nadine meminta maaf, lalu Chandra yang memaafkannya, dan semuanya kembali seperti semula. Nadine tidak perlu pusing dengan perasaan dan Chandra. Kedua hal yang sangat ia hindari. Tapi kini ia justru masuk semakin dalam.

“Lo bisa gak Chan berhenti suka sama gue? Gue ngerasa terbebani sama rasa suka lo ke gue.”

“Gak. Gue gak bisa dan gue gak mau, Nad.”

“Kenapa?”

“Karena lo gak tau butuh berapa lama gue buat bisa ada diposisi ini sama lo. Karena lo gak tau berapa kali gue berpikir buat nyerah sama lo. Lo juga gak tau berapa kali gue pikirin ulang kalo gue tuh cuma penasaran sama lo, tapi ternyata gak—gue beneran suka sama lo. Lo juga gak tau kan Nad kalo gue selalu berusaha ada buat lo. Jagain lo. Nemenin lo pas lo sedih. Tapi gak pernah lo liat. Terus setelah semuanya terjadi, gue nemuin kalo sahabat gue itu punya hubungan sama orang yang gue suka dari lama. Hubungan yang gue sendiri juga gak tau macam hubungan apa. Anjing gak sih?”

Nadine mencengkram cangkirnya melihat Chandra mengeluarkan segala keluhannya selama ini. Ya, Nadine sangat membutuhkan ini semua. Agar ia juga tidak jatuh semakin dalam.

“Gue udah gak punya apapun lagi, Nad, kalo lo mau tau. Semuanya yang di gue udah lo ambil.” Chandra berhenti saat melihat kedua mata Nadine berair, ia kembali berpikir ulang apa ada perkataannya yang membuat Nadine sakit hati. Namun ia harus mengatakannya.

“Sekarang waktunya gue buat ambil semua yang ada di lo kan?”

Nadine dan Chandra terdiam cukup lama, saling melempar tatapan satu sama lain. Hingga Nadine memajukan tubuhnya, berhenti beberapa centi dari wajah Chandra. “Kalo gitu, ambil semuanya sekarang.”

Kenapa

Chandra menunggu kedatangan Jenar sembari bersandar dimobilnya. Kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celananya. Sebatang rokok terjepit diantara bibirnya, mengeluarkan asap beberapa kali. Malam ini, Chandra memutuskan untuk menemui Jenar secara langsung. Ia dan Jenar sudah cukup lama berteman, maka ia tidak ingin adanya ketegangan diantara mereka berdua.

Chandra membuang rokoknya lalu menginjaknya hingga padam saat melihat Jenar berjalan menghampiri dengan wajah yang serius. Chandra tahu kalau Jenar mengerti apa maksudnya bertemu dengannya saat ini.

“Penting banget sampe lo belain malem kesini?” Tanya Jenar saat ia sudah sampai dihadapan Chandra. Chandra terdiam kembali berpikir apa ia harus mengatakannya langsung atau ia perlu basa-basi terlebih dahulu?

Tapi Chandra memutuskan untuk to the point pada Jenar. Lantas ia menatap Jenar serius, tak ada senyuman diwajahnya seperti biasa, begitu juga dengan Jenar yang menunjukkan wajah datar padanya.

“Sejak kapan Jen?” Tanya Chandra justru membuat Jenar mengernyitkan keningnya heran. “Sejak kapan apa Chan?”

Sialan. Batin Chandra merutuki ke pura-puraan Jenar.

Sekali lagi Chandra menatap kedua mata Jenar lekat, membaca gerak gerik kedua mata pria itu. “Lo sama Nadine.” Jenar menaikkan sebelah alisnya seolah menyuruh Chandra melanjutkan kalimatnya. “Sering ketemu dibelakang orang-orang.”

Jenar tetap diam dan tak berniat merespon apapun. Karena ia merasa Chandra tidak perlu tahu urusannya dengan Nadine.

Chandra berdecak kesal. “Lo orang yang paling tau, Jen, kalo gue suka sama Nadine dari dulu. Gue deketin dia susah payah dan gue buat dapetin perhatian dia susah, Jen. Lo paling tau itu kan.”

“Sejak kapan Jen lo suka ke Apartment nya Nadine tanpa semua orang tau?” Jenar masih tidak berniat merespon Chandra.

“Gue gak pernah ngeliat lo ngobrol sama Nadine. Kayanya malah lo berdua gak pernah ada interaksi apa-apa deh. Lo juga ngehindarin Nadine banget di kampus, eh salah lo ngehindar dari semua cewek, kan? Tapi kenapa dibelakang kaya gini, Jen?”

Jenar terkekeh pelan—mengejek Chandra sebenarnya. “Chan, lo ngomong kaya gini keliatan banget aneh loh. Lo bukan siapa-siapanya Nadine. Lo gak ada hak buat marah.”

“Tapi gue berhak marah ke lo Jen karena lo sembunyiin ini dari gue! Gue temen lo, anjir. Kenapa gak kasih tau gue, Jen?”

Jenar diam. Karena memang sejak awal ia tidak mau siapapun tahu tentangnya dan Nadine. Hubungan mereka berdua sangat sulit dijelaskan.

“Kenapa gak bilang, Jen?” Jenar mengeraskan rahangnya, merasa marah pada Chandra saat ini. “Seenggaknya lo bilang sebelum perasaan gue ke Nadine semakin jauh. Biar gue gampang ngelepas dia.”

“Tapi sekarang gue gak bisa ngelepasin Nadine. Gue gak mau nyerah juga sama dia.”

“Kenapa?”

“Gue tidur sama dia.”

Chandra dan Jenar saling bertatapan. “Bangsat.” Tanpa Chandra sadari, kepalan tangan Jenar melayang menuju wajahnya. Jenar menarik kerah pakaian Chandra, menatap pria itu marah. “Lo ngapain anjing tidurin Nadine, hah?! Lo bego atau gimana?!”

Chandra justru tersenyum mengejek kepada Jenar membuat Jenar kembali melayangkan pukulan padanya. Berulang kali tanpa perlawanan dari Chandra. Pria itu seolah sengaja menyulut emosi Jenar. Menurut Chandra saat ini sangatlah menyenangkan, karena Jenar bukanlah pria yang gampang tersulut emosinya. Namun hari ini Chandra mengetahui satu fakta tetbaru tentang Jenar. Pria itu ternyata mudah tersulut emosinya jika itu menyangkut Nadine. Jadi, ia dan Jenar adalah saingan?

“Jauhin Nadine.”

“Gue gak mau.”

Jenar mendorong tubuh Chandra hingga tubuh pria itu menabrak pintu mobilnya. “Asal lo tau, Chan. Gue kenal Nadine lebih duluan dari pada lo.”

“Lo siapanya, Jen? Pacarnya?”

Jenar terdiam. Bukan. Nadine memang bukan kekasihnya. Ia sudah mengatakan sebelumnya bahwa hubungan mereka berdua sulit untuk dijelaskan. Dan Jenar juga tidak berniat memberitahu Chandra. “Bukan kan?” Ejek Chandra lalu mendorong tubuh Jenar.

“Selagi lo bukan pacarnya dan kalo lo suka sama Nadine juga, gue gak peduli Jen.”

“Kalo mau kita bersaing. Secara sehat.”

Jenar berdecih mengejek Chandra. “Sehat kata lo? Nidurin anak orang sehat ya?”

“Nadine yang mancing duluan. Dia yang cium gue pertama.”

Jenar mengeraskan kepalan tangannya. Nadine bodoh. Batinnya merutuki Nadine.

“Gue ngerasa ngeliat masa depan sama Nadine. Jadi kalo lo nyuruh gue buat jauhin dia, sorry Jen. Gue gak mau, lebih tepatnya gue gak bisa. Gue udah jatuh terlalu dalam sama Nadine.” Ujar Chandra lalu membalikkan badannya membuka pintu mobilnya namun ia berhenti saat Jenar berkata, “Jangan kasih tau siapa-siapa soal gue sama Nadine. Jangan sampe orang tau gue sama Nadine deket.”

Chandra menoleh dan menatap Jenar datar. “Itu syarat kalo lo masih mau deket sama Nadine.”

“Nadine ada di Apartment lo kan sekarang?”

Jenar diam tidak menjawab namun Chandra tau apa jawaban dari pertanyaannya saat melihat kedua mata pria itu. Mereka mempunyai hubungan yang tidak dapat dijelaskan. Dan itu cukup membuat Chandra takut.

Takut kehilangan Nadine.

Jenar memandang mobil Chandra yang menjauhi kawasan Apartment nya. Lalu ia melangkahkan kakinya berniat kembali ke dalam Apartment. Chandra. Satu kata untuk pria itu malam ini, bajingan.

Debat

Mereka duduk bersandar di kaki sofa, Jenar berulang kali memintanya untuk mengambil minum dan makanan yang ada di dapur. Nadine merasa yang paling lelah saat ini karena dia akan menghadapi keluhan Jenar beberapa menit lagi. Ia juga memutuskan untuk menemaninya terjaga sepanjang hari karena terkadang Jenar akan sangat membutuhkan Nadine seperti saat ini.

Jenar menyandarkan kepalanya dibahu milik Nadine. Menatap kosong televisi mati dihadapannya. Ia memejamkan kedua matanya, merasa lelah dan sangat membutuhkan Nadine. “Nad?” Panggil Jenar berusaha mendapatkan perhatian wanita itu.

“Hmm..”

“Gak apa-apa. Gue cuman mau manggil lo aja.”

Di sisi lain Nadine tidak keberatan dengan apa yang Jenar lakukan, dia merasa cukup berguna jika Jenar kembali meraih sepasang tangannya dan membawa mereka ke bibir Jenar, menjadikannya sebagai rasa terima kasih telah hadir disaat pria itu membutuhkannya.

Nadine pun sangat menikmati sentuhan-sentuhan tipis yang akan diberikan Jenar padanya, dan kelak kata-kata kecil seperti “Makasih Nad,” akan melesat dari mulut pria itu.

“Saka masih gak tau ada dimana. Tapi Bang Jay marahnya sama gue.” Ujar Jenar. “Gue udah benerin motor Bang Jay sebagai rasa bersalah gue ke dia karena mungkin dia masih kesel sama gue. Secara gue dituduh yang hancurin motor dia, kan? Tapi Nad, harus banget ya marahnya ke gue?”

“Gue gak tau, Jen. Bang Jay mungkin cuman lagi banyak pikiran aja. Kan lo bilang dia mau balapan juga tapi tiba-tiba motor dia malah dihancurin, pasti kesel kan dia.”

“Tapi gak bisa dijadiin alesan buat marah sama mukulin gue kan, Nad?” Sungut Jenar. Nadine mengangkat bahunya tidak tahu. Karena ia memang tidak mengetahui jelas tentang Saka dan balapan yang dilakukan oleh Jenar dan kawan-kawan.

“Lo abis mabuk ya, Jen?” Tanya Nadine dibalas anggukan oleh Jenar. “Iya, semalem Juan ngajak minum.”

Lalu tiba-tiba Jenar mengingat sesuatu dan mengangkat kepalanya menatap Nadine. “Kemaren lo ketemu sama Chandra?”

Nadine terdiam cukup lama hingga ia menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya dari Jenar. Tentu pria itu tidak percaya dan mengeluarkan ponsel miliknya—memberikannya pada Nadine. “Gue ngechat lo, tapi tumben banget lo bilang sibuk. Jadi gue asumsiin kalo itu Chandra dari cara typing marahnya.”

Nadine memandang ponsel Jenar, pria itu benar mengirim pesan padanya—ia menatap ponselnya yang menunjukkan ruang chat dirinya dan Jenar kosong. Benar, Chandra pelakunya. Dan Nadine tidak mengetahui hal itu. Lalu ia baru sadar saat melihat nama pria itu dikontaknya, hanya Chan dan tanda love dibelakangnya. Khas pria itu sekali.

Jenar menaikkan satu alis dan menatap kedua mata Nadine lekat. “Lo ngapain sama Chandra?” Tanya Jenar seolah ia tengah menginterogasi Nadine—atau memang menginterogasi. “Hah?” Jawaban ini tidak mengejutkan bagi Jenar, karena Nadine memang seperti ini jika tidak ingin mengakui sesuatu padanya. Berpura-pura tidak dengar dan tidak tahu.

“Gue nanya sama lo, Nad. Lo ngapain sama Chandra?”

“Iya Jen, Chandra ke Apartment gue.” Jawab Nadine malas. Ia paling tidak menyukai Jenar mode menyebalkan seperti ini.

“Gue nanyanya ngapain loh Nad, bukan nanya 'Chandra ke Apartment lo Nad?' beda loh itu.” Jenar hanya ingin mengetahui apa yang pria itu lakukan di Apartment Nadine kemarin pagi. Dan ia tidak suka mendengar Chandra berada di Apartment Nadine pada pagi hari—apa lagi alasan mengapa pria itu bisa ke Apartment Nadine.

Nadine berdecak kesal lalu memandang Jenar kesal. “Tidur! Gue tidur sama Chandra.”

Mereka terdiam cukup lama. Lama sekali. Namun kedua mata mereka saling bertatapan. Seolah menyalurkan emosi yang berbeda satu sama lain. Nadine dengan tatapan marah, dan Jenar menatapnya dingin. “Bego.” Ejek Jenar lalu tertawa kecil, mengejek kebodohan Nadine.

“Gue nanya ke Chandra katanya dia balik ke Apartment nya.” Jenar tertawa—lebih tepatnya menertawakan kebodohannya. “Diboongin ya gue berarti sama dia?” Nadine menggigit pipi dalamnya, gugup.

“Dari awal gue udah kasih tau ke lo, Nad. Jangan deket sama Chandra.” Tegas Jenar.

“Kenapa?”

Jenar mendengus seolah mengejek pertanyaan Nadine padanya. “Kok kenapa? Udah jelaskan alesannya kenapa.”

“Gue gak tau, Jen! Coba lo kasih tau gue.” Gertak Nadine cukup membuat emosi Jenar naik.

Jenar memutar kedua bola matanya jengah menghadapi Nadine yang terkadang keras kepala, sangat keras kepala. “Lo sama Chandra kemaren itu emang kurang jelas, Nad?”

Nadine terdiam. Hingga Jenar mendekatkan wajahnya, menyisakan jarak beberapa centi, menatap kedua mata Nadine lalu turun ke bibirnya. “Udah jelaskan?” Nadine menghela nafasnya menahan kesal—takut dirinya akan berteriak didepan wajah Jenar saat ini.

“Gimana Nad rasanya?” Lanjutnya seolah meledek Nadine atau memang ingin membuat Nadine marah lebih tepatnya.

Nadine mengerjapkan matanya beberapa kali hingga tak terasa kedua matanya mengeluarkan air mata—menertawakan kebodohannya lagi. Ia cukup tersakiti dengan perkataan yang keluarkan oleh Jenar beberapa menit yang lalu. Betapa pria itu seolah menganggapnya bodoh walaupun memang itu semua benar.

Jenar menjauhi wajahnya lalu jarinya bergerak mengusap air mata Nadine dengan lembut. “Gue gak pernah ngajarin lo buat jadi cewek murahan ya, Nad.” Ujarnya dengan lembut walaupun dengan perkataan yang cukup kasar bagi Nadine. “Percuma gue jagain lo selama ini kalo ujungnya kaya gini juga.”

“Jauhin Chandra. Gue gak mau liat lo deket sama dia.” Ujar Jenar mutlak.

Jenar pun bangkit lalu mengusap rambut Nadine. “Malem ini lo tidur disini.” Jelas Jenar melangkah menuju kamar tidurnya. Meninggalkan Nadine yang menatap punggung pria itu marah. Tapi Jenar kembali keluar dari dalam kamar tidurnya, menatap Nadine dingin. “Lo paham kan kenapa gue gak mau lo deket sama dia?” Nadine diam tidak menjawab atau pun merespon pertanyaan Jenar. Ia masih kesal dengan pria itu.

“Kalo lo paham sekarang angkat badan lo dan masuk ke kamar. Sebe—”

Sebelum pria itu kembali menyelesaikan perkataannya dan kembali membuatnya kesal, Nadine bangkit dan berjalan masuk ke kamar pria itu, menyempatkan diri menabrak bahu Jenar sebagai tanda kekesalannya pada Jenar.

Jenar memang pria bajingan. Sungut Nadine dalam hati.

—Awas lo

Mereka semua pun telah sampai ditempat biasa Saka nongkrong bersama teman-temannya. Tian mengernyitkan keningnya, “orangnya gak ada deh kayanya.” Ujarnya.

Benar, mereka semua tidak mendapati keberadaan Saka dimana pun. Hanya ada dua orang disana dan Chandra mengenali salah satu dari orang tersebut. Haidar.

“Bang tapi itu ada sih Haidar temennya Saka. Coba tanya dia aja.” Ujar Chandra.

“Lah Jay tuh siluet yang ancurin motor lo bukan sih? Mirip anjing postur badannya.” Ucap Tian membuat Jay memperhatikan postur badan Haidar. “Anjing beneran tuh orang.” Ujar Jay langsung berjalan cepat menuju Haidar.

Pria itu, Haidar, menoleh dan terkejut saat melihat Jay berjalan menujunya. Pria itu lantas bangun dan berlari menjauhi mereka semua. “Anjing beneran tuh orang!” Teriak Tian ikut berlari mengejar Haidar. Chandra dan Jenar pun turut ikut mengejar pria tersebut. Kacau. Chandra angkat tangan melihat bagaimana Jay dan teman-temannya marah saat ini. Ia sempat melakukan kontak mata dengan Jenar, mereka berdua hanya bisa menghela nafas.

Hingga tiba-tiba Haidar telah berada ditangan Jay. “Anjing lo! Ngapain kabur, hah?!” Teriak Jay seraya menarik kerah baju Haidar. Sedangkan Yuda, Tian dan juga Joni berhenti dibelakang Jay sembari mengatur nafas mereka. Jay larinya cepat sekali.

“Gak, bang. Gue kaget aja tiba-tiba disamperin kaya tadi.” Ujar Haidar dengan nada santai namun tidak dengan gerak-geriknya. Chandra dan Jenar menatap Haidar prihatin. Jujur, Chandra dan Jenar sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Jay kembali menarik kerah baju Haidar, “Gue tanya sama lo sekali ya. Lo kan yang ancurin motor gue?” Tanya Jay justru dibalas gelengan kepala oleh Haidar. “Bukan gue, bang.” Jawabnya gelisah.

Tanpa basa-basi, Yuda merebut kerah baju Haidar dan menonjok wajah pria tersebut. “Coba lo ngomong sekali lagi.” Yuda menatap tajam Haidar. Pria itu ikut merasa marah dengan kejadian motor milik Jay. Karena motor itu hancur mereka berempat tidak bisa turun balapan dan harus menunda beberapa lagi. “Gak, bang. Seriusan bukan gue.” Ujar Haidar sembari meringis. Pria tersebut pun didorong oleh Yuda. “Lo perlu dipukul sampe boyok dulu ya baru mau ngaku?!” Tian pun menarik Yuda. “Bentar, Yud. Kalo bonyok duluan gak bisa ditanya nih anak. Sekarang nanya ini dulu.” Tian pun berjongkok didepan Haidar, “Saka kemana? Lo katanya temennya kan? Tau dong dia kemana?” Haidar menggelengkan kepalanya tidak mengetahui keberadaan Saka dimana. Tanpa aba-aba, Tian menonjok wajah Haidar kembali.

“Wah anjing malah dia sekarang yang nonjok.” Sungut Yuda.

Jay pun menarik rambut Haidar membuat pria itu menatap wajahnya, “Gue masih mau nanya baik-baik aja nih sama lo sebelum makin kacau kan semuanya.” Ujar Jay dengan tenang. “Lo yang ancurin motor gue kan? Terus kenapa temen lo keroyokin adek gue sih Jenar, hah?” Haidar kembali menggeleng.

“Anjing pukulin aja dah!” Ujar Jay langsung diikuti dengan Yuda, Tian dan juga Joni memukuli Haidar. Sedangkan Chandra dan Jenar hanya menjadi penonton dari jauh.

Chandra meringis saat melihat bagaimana brutalnya Jay, Yuda, Tian dan juga Joni memukuli Haidar. Membuatnya bergedik ngeri. “Ngeri tuh anak mati dah.” Ucap Chandra dibalas kekehan kecil oleh Jenar. “Gak mungkin mati sih dipukulin gitu doang.”

“Bisa jadi mati, Jen. Lo liat aja tuh anak udah mulai peng—” Chandra berhenti saat mendengar Haidar memohon berhenti dan mengaku bahwa dia yang menghancurkan motor milik Jay.

“Dari tadi ngakunya! Biar tangan gue gak perlu capek mukulin lo anjing!” Teriak Yuda lalu menendang pria itu untuk terakhir kalinya disusul Haidar terbatuk-batuk mengeluarkan cairan merah dari mulutnya. “Gue disuruh Saka, bang. Dia mau lo marah sama Jenar makanya dia coba adu domba lo berdua.” Ujar Haidar sesekali meringis kesakitan.

“Saka ada masalah apa sampe pengen gue marah sama Jenar, hah?! Jenar buat masalah?”

“Jenar tidur sama ceweknya Saka, bang. Gue juga gak paham bang seriusan, sih Saka cuman bilang kalo Jenar maksa buat tidur bareng sama ceweknya.”

Jenar mengeraskan rahangnya menahan marah. Chandra yang melihat itu pun berusaha menenangkan pria tersebut dan menepuk pundaknya pelan. Bermaksud membuat pria itu menjadi lebih tenang dan tidak tersulut emosi. Jay menoleh kearah Jenar, “lo tidurin ceweknya?” Jenar menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

“Gak, bang. Gue gak pernah tidur sama cewek mana pun.” Bohong. Jelas-jelas tadi pagi ia tidur dengan Nadine, namun tidur hanya tidur tidak melakukan apapun selain tidur.

“Salah paham gak sih ini semuanya, Jay?” Tanya Joni dan disetujui oleh semuanya. “Salah paham, tapi gue masih belum maafin lo ya sama sih Saka karena udah ancurin motor gue.”

“Sekarang temen lo kemana? Kita cuman pengen tau tuh orang ada dimana sekarang.” Tanya Joni.

“Gak tau, bang. Gue juga gak tau dia ada dimana sekarang. Gak ada kabar apa-apa dari dia.”

“Beneran kabur tuh orang. Udahlah, Jay. Nanti aja urusin tuh orang. Sekarang benerin motor lo dulu lagi aja.” Ujar Joni.

“Chan, Jen, lo berdua ikut ke tempat gue. Jen, bantuin benerin motor gue juga.”

“Iya, bang.” Ujar Chandra dan Jenar bersamaan. Lalu mereka semua pun meninggalkan Haidar disana sendiri tengah meringis kesakitan. Tidak peduli bagaimana keadan orang tersebut. Lagi salah ia sendiri mengapa mencari masalah dengan orang seperti Jay dan teman-temannya.

Chandra kalau jadi Haidar sudah memilih mengaku sejak awal karena ia tahu bagaimana Jay, Yuda, Tian dan juga Joni saat marah. Bukan hanya lebam, bisa juga tulang patah kalau sudah mereka berempat turun tangan.

Lagi, sejak kapan Jenar suka meniduri wanita? Apa lagi memaksa untuk tidur bersamanya. Jenar sangat menghormati wanita sekaligus anti. Alias dia tidak mau dekat-dekat dengan wanita. Maka ini terdengar aneh sekali ditelinga Chandra jika maksud Saka mengadu domba karena wanita.

“Lo ngerasa aneh gak sih, Jen? Kenapa sih Saka nuduh lo maksa ceweknya buat tidur bareng coba?” Bisik Chandra, Jenar mengangkat bahunya tidak tahu. “Udah deh, Chan. Diemin aja sih Saka bikin capek doang mending sekarang cari motor baru buat sih Juan. Gara-gara gue jadi ilang tuh motor dia.”

—Malam

Terlihat Dara dan juga Dika menuju ke tempat Nadine dan Brisa berada. Nadine melambaikan tangannya pada Dara, membuat wanita itu mempercepat langkah kakinya sembari mengenggam tangan kekasinya, Dika. “Sumpah gue sama kak Dika udah kaya orang bego tau gak sih dari tadi nyari lo berdua.” Nadine terkekeh menanggapi Dara yang terlihat sebal.

“Kayanya gue deh Dar yang kaya orang bego disini dari tadi.” Dara mengernyitkan keningnya tidak paham, “lo liat tuh sih Brisa nempel mulu sama kak Nara, gue dikacangin disini sendirian.” Sungut Nadine ditertawakan oleh Dara dan juga Dika.

“Kenapa gak ajak Chandra aja sih kesini buat nemenin lo? Tuh tadi gue di depan ketemu dia.” Nadine memutar kedua matanya malas. “Mending sendirian deh dari pada sama tuh orang.”

Nadine berdecak sebal saat melihat Dara dan Dika menahan tawa mereka, menyebalkan pikirnya. “Gak usah ya bahas-bahas tuh orang disini. Gue males banget dengernya, Dar, kak Dika.”

Tak lama, Brisa dan juga Nara menghampiri mereka bertiga. “Tumben dateng kesini, Dik. Biasanya rapat mulu kan lo.” Ujar Nara. Ya, Nara dan Dika adalah teman satu angkatan dan juga satu jurusan, hukum.

“Nemenin nih cewek doang, Nar. Aslinya mah males banget gue.” Ujar Dika dibalas cubitan oleh Dara. Nara tertawa melihat interaksi mereka berdua, “Dara aja sering kesini, Dik. Suka banget nontonin orang ribut dia.” Ujar Nara membuat Dara menatap tajam dirinya.

Sedangkan Dika, ia memandang Dara seolah meminta penjelasan dari wanita tersebut. Dara hanya menggelengkan kepalanya. Nadine dan Brisa pun menahan tawa mereka melihat temannya sendiri panik. Tamat riwayat Dara.

✧✧✧

Nadine memandang kerumuman malas. Sekali lagi, ia ditinggal sendiri oleh teman-temannya. Nadine menghembuskan nafasnya. Buat apa ia keluar kemari jika sendirian seperti ini kan?

Nadine menolahkan kepalanya saat merasa seseorang menyentuh pundaknya, lalu berdecak kesal. Chandra. Pria yang paling tidak ia inginkan lihat justru tengah berdiri dihadapannya saat ini. Chandra tersenyum padanya. “Brisa sama Dara kemana? Kok lo ditinggal sendirian disini sih. Bahaya tau, Nad.” Nadine memutar kedua matanya kesal. “Lebih bahaya lagi kalo ada lo, Chan.” Chandra tertawa mendengar Nadine kesal seperti ini padanya. Nadine marah justru terlihat lucu dimata Chandra.

Nadine memeluk tubuhnya saat dirasa udara malam berhembus menusuk kulit tubuhnya. Nadine jadi menyesal tidak membawa jaket dan menolak jaket milik Brisa tadi. Chandra yang melihat itu pun memberikan jaket miliknya pada Nadine yang dihadiahi tatapan tajam dari wanita itu. “Kalo dingin mah bilang aja, Nad. Gak usah kode-kode kaya gitu. Gue peka kok orangnya.” Goda Chandra semakin membuat Nadine kesal.

Ingat jika tidak dingin dan Nadine sangat butuh jaket saat ini, Nadine tidak akan menerima jaket milik Chandra. Pokoknya tidak mau. Nadine meraih jaket Chandra dan memakainya ditubuhnya. Membuat Chandra berdecak kagum, “Lo cocok deh Nad pake baju gue. Besok gue kasih hoodie gue ya buat lo semua.”

Nadine berniat melepaskan jaket milik Chandra saat itu juga namun Chandra menahannya sembari tertawa. “Bercanda, Nadine sayang. Gampang ngambek banget sih.” Goda Chandra dan mengacak rambut Nadine.

Ini bagian yang paling Nadine tidak suka dari Chandra. Selalu menggodanya seperti ini, selalu menganggu harinya, selalu mengikutinya kemana pun, dan yang paling ia tidak suka adalah Chandra sering mengajaknya berpacaran. Nadine sampai kesal dengan bagian tersebut.

“Gak usah pegang rambut gue ya atau lo gue tonjok, Chan.” Ancam Nadine justru membuat Chandra tertawa keras. “Nad lo tau gak sih, lo kaya gitu malah keliatan imut bukan kaya ngancem gue.” Nadine menghela nafasnya kasar dan berniat pergi dari sana meninggalkan Chandra.

“Nad! Jangan ngambek dong. Nanti gue makin sayang nih.”

Tuh lagi kan. Nadine rasanya ingin memukul wajah Chandra saat ini juga pria itu benar-benar menyebalkan. Chandra menarik lengannya, membuatnya berhenti. “Maaf, Nad. Bercanda doang kok. Jangan marah ya. Kalo lo marah gue gimana nanti?”

Tidak peduli. Itu jawaban Nadine dalam hati.

Saat Nadine menyumpahi banyak kata kasar pada Chandra dalam hati, tiba-tiba pria itu menariknya dan membuatnya menabrak tubuh pria itu. Cukup membuatnya sangat terkejut dan bersiap memukul pria itu namun ia mengurungkan niat tersebut saat melihat wajah Chandra. Datar. “Nad, kalo ngambek liat jalan juga. Hampir ketabrak loh, Nad.” Ucap Chandra masih dengan wajah datarnya. Wah.

Nadine terdiam. Tidak tahu harus membalas perkataan Chandra apa. Karena jantungnya saat ini mulai berdetak kencang. Seolah tahu apa yang tengah terjadi.

Nadine mendorong tubuh Chandra menjauh. “Suka-suka gue mau liat jalan apa gak ya, Chan. Bukan urusan lo.” Sungut Nadine dan kembali berjalan menjauhi Chandra. Hingga tiba-tiba terdengar suara teriakan dan tembakan. Semua orang berlari tidak karuan. Nadine yang belum siap dengan apa yang terjadi pun ikut terbawa arus orang-orang yang berlarian. Kacau. Sebuah tangan menariknya mendekat dan mengenggam pundaknya erat. Chandra. Pria itu memeluk pundaknya dan membawa tubuhnya mengikutinya berlari.

Brisa? Dara?

Nadine seketika merasa panik dan menatap Chandra panik. “Chan! Brisa sama Dara!”

“Nanti aja. Gue bawa lo ke mobil dulu, Nad. Selamatin diri lo dulu. Brisa sama Nara juga palingan. Dara sama Dika. Lo yang paling penting sekarang, Nad!” Ujar Chandra berteriak karena banyaknya suara teriakan.

Berbeda dengan Nadine yang terdiam mendengar jawaban Chandra. Segitu pentingnya ya dia dimata Chandra selama ini?