Chandra memandang Nadine yang tengah duduk disampingnya dalam diam, sesekali ia tersenyum kecil saat Nadine hampir menjatuhkan kepalanya dengan kedua matanya yang terpejam.
Pikiran Chandra melontar pada beberapa jam lalu, saat mereka memutuskan mengucapkan selamat malam, namun beberapa jam kemudia dirinya justru kembali berdiri di depan pintu unit Apartment wanita itu. Menatap kosong hingga memberanikan diri mengirim pesan dan menghubungi nya. Satu hal yang membuatnya gelisah—Nadine. Selalu Nadine.
Dini hari, Chandra memutuskan mengajak Nadine melihat matahari terbit bersama di atas bukit—bukit rahasia kalau katanya. Ia pikir dengan mengajak Nadine kemari, akan membuat perasaan wanita itu menjadi lebih baik dari sebelumnya. Setelah wanita itu memutuskan percaya padanya.
Aneh rasanya, duduk bersisian dengan seseorang yang selama ini kau kira kau mengenalnya dengan baik, hingga hal terkecil. Namun, ternyata kau tidak mengenalnya sama sekali.
“Jadi, lo ngajak gue keluar cuma buat kaya gini?” Gumam Nadine dengan kedua matanya yang hampir tertutup, ketahuilah bahwa dirinya sangat amat mengantuk saat ini. Kalau bisa, Nadine ingin sekali merebahkan tubuhnya di atas tanah saja. Ia benar-benar mengantuk.
“Iya.”
Nadine berdecak kesal, “Gue tuh ngantuk banget, Chan. Dan ini juga masih jam setengah empat pagi.”
“Sabar ya, Nad. Bentar lagi juga pagi, kok.”
Rasanya Nadine ingin mengacak-ngacak wajah Chandra saat ini, namun ia hanya dapat menghembuskan nafasnya lelah dan memilih untuk memejamkan matanya. Membiarkan dagu nya bersandar pada kedua lututnya, hingga ia merasa sebuah tangan besar mengenggam tangan kanannya. Seolah menghantarkan hawa panas pada tubuhnya.
“Sorry ya, Nad. Gue ngajak lo keluar, padahal lo ngantuk banget. Tapi gue gak bisa tidur.” Ujar Chandra dengan tangannya yang memberikan usapan pada tangannya—berusaha memberikan kehangatan.
Chandra menoleh kearahnya, “Gue gak bisa berhenti mikirin lo.”
“Setiap hari lo juga bilangnya gitu, Chan.”
“Tapi, kali ini beda.”
Nadine terdiam dan memilih untuk menatap lekat kedua mata milik pria itu. Nadine paham jelas apa yang dimaksud oleh Chandra. Ini tentang yang ia ceritakan sebelumnya. Dan Nadine sudah menyiapkan segala jawaban dari pertanyaan pria itu padanya sebenarnya.
“Gak perlu dipikirin.” Ucap Nadine justru mendapat pertanyaan yang tidak disangka olehnya.
“Lo suka Jenar?”
Alih-alih jawaban langsung dari pertanyaan barusan. Chandra disambut dengan cebikan bibir dan kening kerut berlipat. Netra kelabu bak asap bergumul mengeluh kesal. “Kenapa gue harus suka sama Jenar?” Adalah apa yang Nadine katakan setelah sukses berdiri tegap, membuat Chandra terbatuk terkejut. Membuat genggaman tangan mereka terlepas.
“Maaf..” Ujar Chandea pelan dengan garukan pada kepala sementara kedua matanya menghindari tatapan Nadine. Padahal Chandra hanya ingin tahu saja.
“Gue gak suka Jenar. Gak..” Gumam Nadine dan kembali duduk di samping Chandra.
“Iya, Nadine. Lo gak suka Jenar.” Catat Chandra dalam otaknya.
Perlahan Nadine menyandarkan kepalanya pada punggung Chandra, berusaha menyembunyikan sesuatu dari pria itu. “Lo capek gak sih, Chan?” Chandra menggeleng sebagai jawaban. “Gue capek. Banget. Pengen bebas.”
“Kalo masih ada Bunda, gue bakalan dimaki habis-habisan deh kayanya sekarang.” Nadine terkekeh pelan sembari melingkarkan tangannya pada tubuh Chandra—mencari kenyamanan dari sana. “Sayang, Bunda udah gak ada. Gue sendirian. Gue kaya..”
Nadine menghela nafasnya pelan, “..orang yang gak diurus banget ya?” Chandra mengusap tangan wanita itu dalam diam, tak berniat sedikit pun memotong atau bertanya padanya. Topik 'Bunda' selalu menjadi topik sensitif bagi Nadine. Maka dari itu, Chandra selalu siap menjadi pendengar yang baik untuknya.
“Setiap ngeliat Jenar, gue langsung keinget sama Bunda. Rasanya mau marah banget. Gue selalu mau nyalahin ini semua ke Jenar tau gak sih? Padahal dia juga gak tau apa-apa. Dia korban, sama kaya gue.”
Nadine mengeratkan kedua tangannya. “Gue pengen bebas.”
“Bebas dari apa?”
“Dari semuanya. Tugas kuliah, bebas dari gue harus milih hari ini mau makan apa atau besok gue harus makan apa ya, bebas dari segala tingkah laku Jenar, bebas dari pemikiran gue yang harus saving money untuk bulan ini, bebas dari semua tentang Ayah, bebas dari perasaan bersalah ke Bunda, bebas tanpa perlu cari tau apa yang gue rasain, bebas dari semua beban yang gue tanggung. Gue pengen bebas, Chan. Tapi kayanya susah. Gue gak siap sama semua ini.”
Dalam benaknya, Chandra selalu berdoa untuk Nadine. Berdoa untuk kebahagiannya. Chandra pernah ada diposisi ini dulu—saat Bundanya pergi untuk selamanya. Chandra menemaninya hampir Seminggu lebih. Membuatkan makanan, mengajak wanita itu berbicara, melontarkan beberapa kalimat menenangkan, hingga mengajak wanita itu pergi ke Pantai berulang kali. Hanya untuk membuatnya menjadi lebih baik.
“Gue suka sama Jenar?” Nadine terkekeh getir, meringis memikirkan Jenar. Perasaan? Nadine tidak tahu apa itu. Ia hidup terlalu lama dengan tidak menunjukkan suatu perasaan, hingga kini ia tidak bisa menempatkan perasaannya tersebut. “Pernah. Mungkin. Gue gak tau. Jenar cuma benalu.” Gumamnya semakin menenggelamkan diri ke punggung Chandra, seolah meminta pertolongan pada pria itu.
“Nad.. Perasaan suka tuh gak bisa lo atur. Kalo hati lo milih Jenar, kenapa harus ditahan?”
“Lo gak ngerti, Chan.”
“Bagian mana yang gak ngerti, Nad? Lo yang punya rahasia sama dia atau lo yang sebenernya punya perasaan ke dia?”
Nadine berdecak kesal. “Gak dua-duanya.”
Chandra terkekeh kecil sembari mengusap tangan wanita itu perlahan, “Padahal Jenar juga baik, kan.”
“Jenar emang baik, makanya dia ngasih tau kalo lo brengsek.”
Chandra memutar tubuhnya menghadap Nadine membuat wanita itu melotot terkejut karena gerakkan tiba-tiba pria itu. Chandra menangkup wajah Nadine, “Kapan tuh anak ngomong kaya gitu?” Desak Chandra, Nadine menjauhkan tangan Chandra dari wajahnya.
“Pas awal kuliah. Katanya, lo brengsek parah.” Ujar Nadine seraya tertawa pelan.
Sialan, Jenar. Batinnya mengumpat pada Jenar.
Mereka terdiam saling melempar senyum satu sama lain. Hingga Nadine bergerak memeluk tubuh besar Chandra, menenggelamkan wajahnya di pundak pria itu. Setiap tarikan nafasnya, ia berdoa pada Tuhan tentang apa yang selalu ia inginkan. Berdoa semoga ia bisa menjalani hidup lebih baik lagi.
Pagi itu, ia mengetahui satu hal, yaitu kemana ia akan berlari sekarang. Kemana ia harus mencari. Ia sudah tahu dimana tempatnya.
Sedangkan Chandra, pria itu memang sudah tahu sejak awal bahwa Nadine yang akan selalu memenuhi pikirannya, Nadine adalah prioritasnya, namun tanpa ia sadari ketakutan itu kembali datang kepadanya.
Ketakutan saat Nadine mengetahui perasaannya sendiri dan memilih untuk meninggalkannya.
Jahat tidak, jika Chandra berharap Nadine tidak pernah menemukan jawabannya? Karena Chandra hanya ingin selalu bersama Nadine.
Mereka berdua sibuk dengan pikiran masing-masing hingga sang fajar telah menyambut hari mereka. Hari dimana semua menjadi lebih baik.
Ya, menjadi lebih baik.